Rabu, 31 Agustus 2011

Membaca "kedangkalan" logika Dr. Ignas Kleden? (catatan masih pentel bagian X, ketiga dari paragraf kedua-nya)

oleh Nurel Javissyarqi


Saya awali dengan Bismillah. Sebelum jauh memasuki bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang merasai menjadi penyair, tetapi ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradatnya (insan), oleh sangking berperasaan terlalu menggumuli kata, seakan kata menjelma sekutu terbaiknya, pula seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat, bahasa dari kekuasaan di atas hidup dengan pandangan sebelah mata, karena tak melihat profesi lain juga memakainya. Atau pun hilaf tak merasai suatu gerakan paling lembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet dan peredaranya, tak terkecuali menghadiahi nafas bagi tukang-tukang syair.

Sepengetahuan saya, ungkapan bombastis apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah atau hal-hal keterlaluan lain, biasanya diusung bersegenap gegugusan wacana argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan, sekiranya ucapan sedari orang ditokohkan tampak kebiasaannya membuat gosip, atau pendapat asal-asalan dekat hati keangkuhan, karena merasa ampuh sampai lepas sebagian dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal karena diiukuti generasi bermental penurut, nerimo eng pandum cepat-cepat puas, tidak menyelidik jauh yang hendak dikunyah, pembodohan ini berantai sejauh kekuasaan penguasa itu, entah dari kekuatan modal atau jargon lain terlihat mentereng angker bertuan, namun tidak bertuah.

***

Kebetulan semalam saya menemukan artikelnya dosen Sastra Inggris dari Universitas Sanata Dharma, Elisa Dwi Wardani berjudul "Sastra dan Identitas" terbit di koran Kedaulatan Rakyat 10/05/2008, yang mengundang daya ganggu saya dan kayaknya sesuai alur jika diilustrasikan pada bacaan menguak SCB sedari IK, sejenis guyonan namun tidak lepas daripada minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.” Selengkapnya di sini, kalau mau ngeklik: http://sastra-indonesia.com/2011/08/sastra-dan-identitas/

‎***

Sebelum berlanjut, sungguh saya kagum pada orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkap nan mengatur baik irama kata, sampai batas tertentu mengaburkan kata demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak, dengan mengurangi tumbuhnya bibit protes, oleh tekanan musik dipunyai berlipat makna tergantung indra penerimanya. Tetapi sangat menentukan jatuh-naiknya kalimat si penggurat, keberhasilannya dalam menuangkan kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, yakni membuka kalbu seluas-luaskan menuju hawa kemungkinan atau rahmat nan terbuka.

Kini marilah mencermati yang membentuk pola-pola paragraf di atas, tentu tak lepak sejarah, riwayat kata serta kekisah orang yang berada di dalamnya, untuk memahami seluk-beluk kenapa hal itu hadir?

Sosok Taufiq Ismail (TI) itu pribadi ta'at dari awal berkarya hingga kini, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore alias pasti didukung bacaan-bacaannya, dan gerak daripada peribadatan di rumah tuhan juga pengabdian ke masyarakat. Dalam dunia sastra seminimalnya turut menjaga gawang majalah sastra Horison. Muslim baik hati tentu terpaut sungguh keyakinannya, memiliki benteng ampuh dikala menyikapi goda rayuan sejenisnya.

Kita tak lupa ada makolah; perang terbesar memerangi hawa nafsu sendiri yang tergantung profesi diembanya sebagai jalanan memakmurkan hasana hayatnya. Dan pengalaman TI mengalir dibagi-bagikan bagi mau terima berlapang dada, tiada ketulungan pengurbananya di alam sastra Indonesia, menyumbangkan dinaya nalar-perasaan; puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal tebalnya, selain ceramahnya menyegarkan kalbu sesamanya. Sampai saya mencurigai, jangan-jangan dia termasuk Islam garis keras yang mengharamkan rokok.

Pengabdian besar tak lepas kehilafan dan semoga yang diungkap Elisa Dwi Wardani, hanyalah keterlepasan tak pakem masanya, entah sehabis mendapat menghargaan atau sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, ataukah teringat sudah melahirkan banyak para penyair hebat sedari majalah sastra dipandeganinya, seperti SCB misalnya. Lantas angin bertiup kencang mengaburkan faham meninggikan drajat kepenyairannya, seolah penguasa kata-kata di alam jagad raya dengan nada:

"penyair adalah penguasa kata-kata" dengan menurunkan melodinya "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.”"

***

Bagi saya yang awam mengenai agama, istilah kata "penguasa" dari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsir, yakni Tuhan (juga berhubungan rasul-Nya Muhammad SAW), dan sultan atau raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedangkan kedua mengalami pergeseran, bisa jadi sosok intelektual sebagai penggerak laju keadaban? Namun yang tak habis pikir kata-kata ini: "penyair adalah penguasa kata-kata."

Kata "penguasa" di hadapan saya sungguh agung, jika ditimpakan kepada sebutan Tuhan, maka yang mengatur (penguasa) terbitnya fajar hingga bertemunya senja, mentari serta gemintang, disamping kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Sementara kuasa pemerintah, raja, sultan itu bersegenap tanah air sebatas garis kerajaannya, ini diwarnai pergolakan intrik jegal tidak sedap dipandang.

Penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya punya rasa cinta kepada tanah airnya, meski kalimatnya mampu menembus belahan bangsa-bangsa, juga abad-abad lain di depannya, tetaplah manusia mengabdi pada kata, seperti pedagang mempunyai kata sepakat di dalam pertukaran barang dagangannya, profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan sebagai rangkaian menjelma panji-panji peradaban di masanya. Jadilah bukan penyair saja, kalau kata "penguasa" adalah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya, dan sungguh sembrono seperti bola ditendang melambung tinggi, jikalau teringat pendapat TI di atas.

Saya kira lebih tepatnya, penyair menggunakan kata-kata ke dalam kerja kepenyairannya, mereka yang mengaduk kata-kata tak hanya indah, namun juga menyembul makna di kedalaman syair-syairnya, dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba, ungkapan TI muncul, mungkin tersebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain penyair atau sebaliknya. Maaf jika salah dalam menduga wujudnya kata-kata keblinger itu.

Kini mari menyusuri turunan melodinya yang saya bagi menjadi tiga belahan: "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).”"

***

Kala ungkapan "penyair adalah penguasa kata-kata." Lalu mengalami turunan nilai kata-kata, atau mendapatkan awalan kata "mungkin" di belakangnya adalah sudah terkena pembatalan, sebab kata penguasa (kuasa) merupakan hal tidak tertolak dengan apapun. Karena kata kuasa berdekatan dengan kata mutlak, yang (maha) berkehendak (perintahnya). Jika nada ini saya rendahkan sedikit menerima kata "penguasa" sekadar pemanis, menjadi tak penting atau abang-abang lambe, gincunya perayu bagi orang-orang tidak jeli menyelidiki drajat suatu kata, sebagai pribadi yang mandiri maknanya.

TI, sepertinya mengajak bercanda, kalau tidak mau menerima saya sebut sebagai yang angkuh karena berfaham penyair ialah penguasa kata-kata. "mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tak sekadar tukang syair saja memiliki kemampuan demikian lihai berujaran, kalau kata kuasa sebagai turunan sedari perihal kedua saya sebut di atas (tuhan dan sultan). Lalu semakin menggelikan, membaca cermat kalimat dalam tanda petik itu serupa daya tarikan mengelak dari kesombongan awal daripada profesi lain, gerakan suatu kata yang meluncur dari orang-orang berkemampuan piawai pun tak "secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata)." Para sejarahwan, filsuf, psikolog sampai akuntan, kerja kata-katanya tidak lebih mendialogkan yang menjadi permasalahan diunggahnya, malah terkadang menjadi titik temu kefahaman yang mengutarakan dengan para penerimaannya, sebagai bentuk ukuran tertentu, yang memang tiada mutlak sama keadaannya.

"namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2)." Sungguh geli ungkapannya yang saya kira lebih dekat seorang guru atau pendidik yang memilliki kuasa kata-kata jikalau dimaksud penguasa kata sekadar pada tataran insani. Betapa sang pengajar di suatu kelas misal, "membiarkan kata-kata mengukur emosinya" dan sedapat mungkin para murid menerima dengan kadar keinsfaannya pada keilmuan yang tengah direguk. Kalau TI mengelak, berfaham penyair sama persis profesi lain, kenapa pula mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini saya sebut pribadi menutup diri pada belahan bidang kehidupan lain di luar keahliannya, sehingga membentuk undukan pasir aneh atau kacamata kuda tidak tengak-tengok pada luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair lebih agung dari pedagang klontong contohnya (ini saya tulis sambil senyum-senyum karena teringat sewaktu berdialog dengan pembeli di pracangan).

“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).”" Saya terbayang seorang ibunda, atau bapak menggendong anaknya untuk ditidurkan pada ayunan tangannya, mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan yakni ruang-ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan berkasih sayang pada anak-anaknya, sebagai wujud menghidur diri juga demi sang anak ialah pencerah sejuk berdaya kekuatan atas kerja selanjutnya, dan kumandang lagu tidur dapat terjadi spontanitas orang tua tersebab rindunya menggebu sehabis seharian berpeluh keringat mencarikan nafkah. Atau sosok pelajar ingusan yang mangalami jatuh cinta, bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan, lewat surat-surat digubahnya untuk kekasih tersayang. Begitukah si penyair? Ahai, ternyata kasir toko juga bernikmat-nikmat dengan kata-kata (angka-angka) untuk mendapat pencerahan, meski uang yang dihitung milik majikannya, dan seterusnya.

Demikian nikmat diberikan Sang Penguasa, tak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog saling menyepadankan faham sama-sama menghargai, menunjukkan betapa indahnya kehidupan dengan tidak membentuk jejalur kekuasaan menindas profesi lain, meski dengan nada-nada santun, nada dan dakwa kata Roma Irama. Atas musik ini, alunan berkehidupan lebih harmonis, seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tidak kembang-kempis yang kerap mendekati nasib kolap. Dan sebagai penutup, terlihat di cermin ajaib saya, bahwa jika pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai penguasa kata-kata, maka turunannya mengalami kemalangan menjadi penyair yang suka beralibi. Wallahualam bi shawab.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

(I) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150282141281469

(II) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150282892716469

(III) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150284562116469

(IV) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150295398106469

(V) http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=10150299700406469

(VI) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150305300251469

(VII) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150314121161469

(VIII) http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=10150325483386469

(IX) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150333331686469

==========================================

Link tulisan Dr. Ignas Kleden

http://ignaskleden.blogdrive.com/archive/10.html

==============================

4 komentar:

  1. Rupanya, harus dibaca juga perihal surat Asy Syauara tentang penyair-penyair...

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah berkenan membaca esai di atas, Mbak Chye. Untuk lebih jelasnya, silakan tenyakan langsung ke penulisnya, Nurel Javissyarqi, yang bisa Anda hubungi lewat akun fb: Nurel Javissyarqi.

    BalasHapus
  3. http://nurelj.blogspot.com/2011/09/short-vs-kasparov-speed-chess-challenge.html :)

    BalasHapus

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!