Sabtu, 13 Agustus 2011

Puisi

SAJAK 17 KURANG 3 BAGI KEMERDEKAAN

: wn


jika pun benar engkau tinggalkan beranda rumah cinta

jemputlah satu kata: "merdeka" dari penjajahan mereka

aku tahu di beranda ini angin kian santer saja

busa sabun jadi mainan anakanak sembari dolanan

nembang "sudah bebas negeri kita"


jika pun samar rasa cintaku pada tanah ini

akan kutunjukkan dada basah menggambar peta indonesia

ya, indonesia mengapung dalam gelembung

lalu pecah di udara begitu cerah


sajak 17 kurang 3 bagi kemerdekaan ini

akan terus dikali dan ditambah dengan isak tangis anak negeri

akan terus digerus arus saling berdesakan

mereka memang tak henti bermimpi di alam imaji

menerjemahkan aneka fantasi yang mesti diurai

di sini, di beranda cinta yang nganga

terbuka dan terluka!

(kutahu engkau di sepanjang jalan raya tertawa

dan aku kian tertawan oleh kenakalanmu itu)


Dimas Arika Miharda

bengkel puisi swadaya mandiri, 14 agustus 2011

_____________________

Rumahku


matahari yang berangkat dari kepalaku

kembali ke kalbu langit, meneteskan peluh

yang kuhirup berulang bersama pasir

dari badai gurun yang turun


"allah akbar, aku hanya pendatang

yang telah mengerti arti undangan

jika mesti pulang, bangunkan rumahku

di al-baqi. tak penting nisan, selain

payung-Mu agar tenteram kutuju

pangkuan paling nyaman..." doaku

sambil berlari kecil mengitari kakbah


kalau airmataku terbit, bukan sebab

aku takut pada amuk-Mu. hanya aku

bahagia bisa sampai menapaktilas

orangorang-Mu terkasih

yang pahalanya tak terperi

"bila aku seperti dia?"


jika aku harus menangis, sebab aku

telah meminum zamzam-Mu

seusai berlarilari dari safa ke marwa

..............................dari marwa ke safa

tujuh kali putaran...


jika matahari berangkat dari kepalaku

bukan ingin meninggalkan rambutku

tapi pulang ke kalbu langit

setelah menuliskan kalimat

yang selalu kunanti. bertahuntahun


"rumahmu al-baqi

adakah kau selalu rindu?"


sesuara bertanya


Isbedy Stiawan ZS

Mei 2011

____________________________________

Di Antara Angin Sendalu



di bawah lengkung pelangi

saat sisa hujan ritmis seperti bola kristal yang berkilau

aku mengejar sekawanan belalang cantik

mereka berloncatan dari daun ke daun

searah embusan angin sendalu dari timur

lalu kudengar suara ibu dari depan pintu seng yang karatan

"Tak usah kaukejar, Nak. Biarkanlah mereka hidup dengan cinta di sana."

suara ibuku itu lirih. ya, lirih. tapi gemanya membenamkan kenakalanku

aku pun membisu beku

dan, tiba-tiba kenangan itu lesap

sebuah tabung gas meledak

kepulan asap hitam melayang ke udara

suara isak tangis, teriakan, berdentang-dentang

tersisalah rumah-rumah hangus, dan jasad-jasad tanpa roh lagi


kini tak ada pelangi atau pun suara ibuku

yang tampak ialah sekawanan singa di senja ungu

mereka berlari seperti gulungan ombak

menerjangi pepohonan, rumah-rumah, gunung-gunung

juga menghantam tubuh-tubuh kecil

lalu memakan daging-dagingnya hingga air mata berserakan

seperti keringat yang kian menderas

membasahi pertiwi yang ranggas


o, di antara angin sendalu pula, aku teringat kembali wajah ibuku

wajah yang tak pernah mengajarkan kekerasan sekali pun

dan, wajah itu pula yang mengajarkanku tentang kelembutan

walau ombak senja menggulung dan menghantam seluruh tubuh dunia


Mahmud Jauhari Ali

Tanah Borneo, 14 Mei 2011

2 komentar:

  1. Puisi-puisi yang kuat, berda di rumah (baca: Blog) yang indah.

    salam lifespirit!

    BalasHapus
  2. Begitupun dengan komentarnya: indah. Salam lifespirit juga Kawan Imron TOhari .... :)

    BalasHapus

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!