SAJAK 17 KURANG 3 BAGI KEMERDEKAAN
: wn
jika pun benar engkau tinggalkan beranda rumah cinta
jemputlah satu kata: "merdeka" dari penjajahan mereka
aku tahu di beranda ini angin kian santer saja
busa sabun jadi mainan anakanak sembari dolanan
nembang "sudah bebas negeri kita"
jika pun samar rasa cintaku pada tanah ini
akan kutunjukkan dada basah menggambar peta indonesia
ya, indonesia mengapung dalam gelembung
lalu pecah di udara begitu cerah
sajak 17 kurang 3 bagi kemerdekaan ini
akan terus dikali dan ditambah dengan isak tangis anak negeri
akan terus digerus arus saling berdesakan
mereka memang tak henti bermimpi di alam imaji
menerjemahkan aneka fantasi yang mesti diurai
di sini, di beranda cinta yang nganga
terbuka dan terluka!
(kutahu engkau di sepanjang jalan raya tertawa
dan aku kian tertawan oleh kenakalanmu itu)
Dimas Arika Miharda
bengkel puisi swadaya mandiri, 14 agustus 2011
_____________________
Rumahku
matahari yang berangkat dari kepalaku
kembali ke kalbu langit, meneteskan peluh
yang kuhirup berulang bersama pasir
dari badai gurun yang turun
"allah akbar, aku hanya pendatang
yang telah mengerti arti undangan
jika mesti pulang, bangunkan rumahku
di al-baqi. tak penting nisan, selain
payung-Mu agar tenteram kutuju
pangkuan paling nyaman..." doaku
sambil berlari kecil mengitari kakbah
kalau airmataku terbit, bukan sebab
aku takut pada amuk-Mu. hanya aku
bahagia bisa sampai menapaktilas
orangorang-Mu terkasih
yang pahalanya tak terperi
"bila aku seperti dia?"
jika aku harus menangis, sebab aku
telah meminum zamzam-Mu
seusai berlarilari dari safa ke marwa
..............................dari marwa ke safa
tujuh kali putaran...
jika matahari berangkat dari kepalaku
bukan ingin meninggalkan rambutku
tapi pulang ke kalbu langit
setelah menuliskan kalimat
yang selalu kunanti. bertahuntahun
"rumahmu al-baqi
adakah kau selalu rindu?"
sesuara bertanya
Isbedy Stiawan ZS
Mei 2011
Di Antara Angin Sendalu
di bawah lengkung pelangi
saat sisa hujan ritmis seperti bola kristal yang berkilau
aku mengejar sekawanan belalang cantik
mereka berloncatan dari daun ke daun
searah embusan angin sendalu dari timur
lalu kudengar suara ibu dari depan pintu seng yang karatan
"Tak usah kaukejar, Nak. Biarkanlah mereka hidup dengan cinta di sana."
suara ibuku itu lirih. ya, lirih. tapi gemanya membenamkan kenakalanku
aku pun membisu beku
dan, tiba-tiba kenangan itu lesap
sebuah tabung gas meledak
kepulan asap hitam melayang ke udara
suara isak tangis, teriakan, berdentang-dentang
tersisalah rumah-rumah hangus, dan jasad-jasad tanpa roh lagi
kini tak ada pelangi atau pun suara ibuku
yang tampak ialah sekawanan singa di senja ungu
mereka berlari seperti gulungan ombak
menerjangi pepohonan, rumah-rumah, gunung-gunung
juga menghantam tubuh-tubuh kecil
lalu memakan daging-dagingnya hingga air mata berserakan
seperti keringat yang kian menderas
membasahi pertiwi yang ranggas
o, di antara angin sendalu pula, aku teringat kembali wajah ibuku
wajah yang tak pernah mengajarkan kekerasan sekali pun
dan, wajah itu pula yang mengajarkanku tentang kelembutan
walau ombak senja menggulung dan menghantam seluruh tubuh dunia
Puisi-puisi yang kuat, berda di rumah (baca: Blog) yang indah.
BalasHapussalam lifespirit!
Begitupun dengan komentarnya: indah. Salam lifespirit juga Kawan Imron TOhari .... :)
BalasHapus