oleh Darman D. Hoeri
Prolog
Hujan deras, anakku. Redam isak yang menyesak. Hanyutkan airmata yang tumpah ruah sebab hati yang dirajam getir makin ngilu oleh ingatan tentangmu. Sudah benar-benar siapkah engkau, kala detik yang dikabarkan bertalu-talu itu iris jejak Ayah kian tipis, sedang lagumu suarakan kerlip gemintang di tangan baru saja mulai? Ayah masih ingin mendengarnya, Nak hingga koda yang kaulantun mengajak semua berdiri dalam tepuk sarat makna -kelak.
Sudahkah, Nak? Engkau siap?
09 September 2011 pukul 4:26
Kelahiran #1
Telah kurasa. Ketika malam memapahmu menemuku. Peta usang yang tergambar di bola matamu tampak bersilangan jalan. Titik-titik kota yang dikaburkan waktu jelas-jelas tak bernama. Belum lagi kabut pekat yang berarak tak terduga. Tersimpul dalam diamku, Nak -geletar cemas hari depanmu. Kau bukan lagi engkau kala itu. Hanya segaris senyum tipis tempatmu sembunyi dari badai yang gusar mengamuk. Oleh sebab besar rasaku pada-Nya, maka lekas kukata: masuklah, anakku!
10 September 2011 pukul 8:26
Kelahiran #2
Kuberi nama kelahiran pertama: Api. Dan engkau menyusul, Nak: Air. Tepat ketika ia berkobar-kobar menjilat segala, pun asa, yang susah payah kutata dengan meninabobo lebih dulu -ragu, yang sempat merajuk dibujuk mata-mata yang tak rela aku memandangnya sepenuh jiwa. Mata-mata yang segigihnya isyaratkan kemungkinan, ketulusanku 'kan terbakar tak bersisa. Oleh sebab aku merasa ada Dia di sebalik kisah itu dan menyilakan. Maka pastilah aku. Pasti. Siap mengabu.
16 September 2011 pukul 23:47
Kelahiran #3
Dengan Api pernah mengabu. Teronggok dikepung sangit. Dengan Air pernah terisap hingga palung gelap terdalam. Impian menatapnya bak geliat lilin raib dihardik waktu, memerah ia berkobar-kobar. Khayalan melihatnya ngalir gemericik pupus diempas masa, menderu ia bergulung-gulung. Selembar tanya kini kuucap dengan hati berdesiran. Adakah mungkin kau mewujud guruh dalam gerak berlipat daya? Aku merindu tipis embusmu mainkan anak-anak rambutku. Kau: Udara!
17 September 2011 pukul 18:26
Api #1
Apakah kencang angin masih terbangkanmu, Nak? Singgah di mana sekarang? Jerami kering? Ladang gersang? Sungai penuh jeram bergelombang kehitaman? Ataukah perapian di mana kayu-kayu telah rapi ditata, dan menunggu, wajah-wajah gelisah oleh beku? Pendaran hangat yang melesat dari geliat lembutmu semestinya mencairkan, Nak. Kapan bisa melihatmu menjilat-jilat angkasa ditingkahi riuh tepuk paras-paras gembira bernyanyi? Luas, Nak tanah rata berumput hijau, untukmu ciptakan unggun nan merah menyala.
23 September 2011 pukul 5:02
Api #2
Masih ada, Nak. Sisa asap menyelubung tubuh Ayah. Menelikung kesadaran dan nyaris menguncinya di garis batas permaafan. Namun gerimis yang turun pelan dalam kelam pagi serta merta kirimkan basah. Jelaga yang menyungkup puing-puing perlahan lumer. Dan ketika tampak tersangkut di pilar bata -sisa senyummu yang menebar janji akan pasti hari depanmu, Ayah pungut lalu menerbangkan ke langit, berharap deru angin melesatkannya. Tak kembali. Akan Ayah bangun, Nak. Kediaman sederhana dengan gemericik yang cipratkan nada-nada tak pekak di gendang.
23 September 2011 pukul 15:31
Api #3
Kabar yang Ayah dengar, kau terjebak di tungku batu tempat berlimpah air mesti dididihkan, sementara kau tinggal bara kecil yang panasnya terhisap deru hujan tengah malam. Tak ada lagi angin kering yang terbangkanmu. Hanya angin basah siap padamkanmu dengan setiupan kecil. Dan kenangan tentangmu 'kan segera mendingin bersama air yang urung menguap, membawa serta sisa asap yang sekian lama uarkan apak. Jika Ayah diminta mengguratkan sekalimat tentangmu, maka inilah yang terbaca: Teruslah belajar, Nak -menjadi sebijak-bijaknya Api!
24 September 2011 pukul 17:49
Air #1
Hanya semata lubang jarum celah itu disisakan api yang mengamuk tak lama berselang. Tak lagi bening ketika ia datang, bahkan lelumutnya menjelma serpih-serpih mengering. "Tak salahkah kau ada di sini?" pecah tanyaku dalam cucur peluh pori-pori melepuh. "Jika kujawab 'tidak' apa menurutmu benar?" mengombak jawabnya, memakuku pada keheningan yang giris. "Akankah kaubiarkan aku dihadang angkuh batu-batu lalu habis diisap nganga rekah tanah? Aku mencarimu. Dan sekarang temukanmu. Maka izinkan kuseka peluhmu meski tetesku tak lagi bening. Izinkan. Aku ingin adaku tak percuma."
29 September 2011 pukul 4:26
Air #2
Nak, terlalu kencang rasanya, gusar yang meribut asal delapan penjuru mata angin. Entah kapan diam-diam kaugali mata-mata air baru. Sealir kecil yang kukenal sebagai adamu seketika melaut menggelombang. Lambai pun teriakan Ayah karam tertelan derumu yang tiba-tiba, menjelma fosil di dasar terdalam palung. Sehelai lagi, Nak catatan badai dibukukan masa. Belum lagi sanggup Ayah mengejanya sekarang. Sebab, deret aksara yang berjajar di situ menuntut rerumus yang kini masih samar. Sedang engkau makin jauh menyusur padang berbatu-batu. Tak bertuju.
1 Oktober 2011 pukul 16:16
Air #3
Lamat-lamat derumu masih kudengar. Menatap puing yang tertinggal, aku hanya diam menata kepingan kemungkinan. Esok tak perlu lagi kubangun lorong-lorong melingkari kediamanku. Tak perlu berjaga di beranda ditemani harapan akan kedatangannya kembali dalam rupa bening gemericik. Kolam dengan barisan rupa-rupa ikan cukup kulukis saja di lembar kanvas lalu kusemat di dinding putih ruang tamu. Ya, mungkin memang lebih indah demikian saja kisah tentangmu kuabadikan. Ia pasti bisa bercerita sendiri. Aku, cukup menimpalinya dengan gelengan dan helaan napas sesekali.
2 Oktober 2011 pukul 17:10
Udara #1
Semilirnya mungkin tak terasa jika mata terlalu jauh menembus ruang pandang. Ia datang tanpa tahu segala yang terjadi. Tak tahu sunyi yang menghangus terbakar panas, pun leluka yang memuing tergerus deru deras bah. Pun ia tak tahu bahwa yang tersisa kini hanyalah sepetak ruang yang tak menjanjikan keluasan untuknya menarikan rasa kehilangan. Entahlah, jika kelak kupapar segala cerita. Akankah ia berbalik arah? Sebab, sempit ruang yang ada nyata juga pengap menyesak. Sekalimat ini, semoga ia tahu, kuucap dalam geletar harap, "Singgah dan menetaplah, jika ini semua bermakna bagimu!"
2 Oktober 2011 pukul 3:40
Udara #2
Apa yang mencegatmu di jalan? Kabar kau akan selalu mampir untuk jinakkan gerah -menguap dihisap terik sebelum menyata. Katamu dua telapak tangan ini adalah tempat terhangat untukmu mencipta angin-angin kecil yang kubutuh. Dan sesak yang kerap membekap dada ini pasti kausirnakan demi terikatnya seutas nyawa pada badan nan kian melapuk. Tolong, jangan biarkan aku berpikir kau akan menjelma badai. Segala mulai tenang. Aku hanya butuh kepastian. Jika benar kau selalu ingin singgah, telapak yang tak lelah menadah ini masih setia tiupkan doa, agar perjalananmu tak berhalang rintang. Cermatilah. Sekarang. Kemarau nyaris bosan menjerang akal sehatku.
3 Oktober 2011
Udara #3
Nak, waktu yang terus menipis sudah barang tentu harus diyakini sebagai tanda bahwa garis itu memang ada dan berujung. Seperti Ayah, teruslah tetapkan hati. Besar nilai sejarah tak selalu berbanding lurus dengan panjang waktu yang kaurentang. Kekerashatianmu memerah kisah-kisah tanpa keluh kesah, tak mustahil akan terbukukan juga sebagai catatan bernilai. Tak perlu menjelma badai, Nak, sebab kenangan tentangmu pasti menyembilu hati. Setiup-tiup kecil yang menjaga seutas nyawa ini tetap lentur terentang, sudahlah cukup untuk bekal mahal kelak nuju keabadian. Dan, kau, tegaklah selalu. Tancapkan pandang pada tiap titik yang kaugurat. Jika namaku kaurasa penting sebagai tinta, semoga kian tegas garis yang kaulukis. Sejarahmu, Nak. Catat selayaknya emas!
4 Oktober 2011
Epilog
Depan perapian. Terpasak. Sendiri. Api telah lama padam. Meniup-serta hangat. Cawan mengering. Dahaga mendera. Tersisa hanya selembar ilir, diraihnya dengan jari gemetar. "Aku butuh udara," desisnya. "Napasku. Nyawaku." Waktu tak lagi beri kemungkinan bertawar harga. Jika ada sedikit saja kesejukan menyelusup jalan napas, telah cukup baginya menjemput sunyi tersunyi dengan senyum. "Ya, aku butuh udara," lagi, desisnya. Dicobanya menggerakkan benda itu, namun tiba-tiba segalanya lunglai. Pekat menjemput. Hening bersaksi. Melepas sisa gema keluh rindunya. "Aku butuh udara. Udara." Lamat-lamat terdengar. Lalu melenyap. Sunyi. Tersunyi!
5 Oktober 2011
Terima kasih, saudaraku. Semoga persaudaraan kita abadi!
BalasHapus