Ali
Syamsudin Arsi
Halaman rumah yang
lengang. Sesekali melintas juga pejalan kaki dengan suara alas sandal
bersentuhan permukaan bumi. Engkau menatap ke luar kaca jendela. Senja
memiringkan bias sinarnya, celah-celah daun sebagai sapuan kuas di kanvas
cahaya,.sekarang apa mau dikata telah menjadi keputusan bersama, pembunuhan
terhadap pembunuhan. Tali gantungan sebagai pilihan dan orang-orang sepakat
untuk mengubur kenangan pahit yang menyakitkan. Pembantaian kalian lakukan di
hadapan banyak penonton pada suatu malam. Bukan penyesalan karena ruang yang
kalian ciptakan bukan kekosongan tetapi jelas itu merupakan lukisan penuh darah
dari gelimpangan tubuh-tubuh berhamburan dengan bagian demi bagian terlepas
dari keseluruhan dan keutuhan yang begitu sempurna sebagai ciptaan. Tali dari
serat terburuk sebagai pilihan. Diamlah wahai anak-anak yang nakal. Mereka
telah tiada. Memilih mati dengan caranya sendiri. Dan pada sebuah pulau
berlingkar laut berlingkar gelombang berlingkar kabut berlingkar duri-duri di
rimbun gelap di rimbun hitam.
Pada sebuah pulau, gema
Allahu akbar berkumandang. Di sebuah pentas, pada titik bumi yang lain,
berjarak puluhan centi meter pada
skala-peta dari pulau tersebut dengan sorot mata seluruh penonton menyaksikan
tiga orang terpidana sedang berhadapan dengan putusan sidang. Pada sebuah pulau
gema allahu akbar berkumandang. Di atas pentas segala upaya hukum telah sampai
batas akhir yang paling menentukan. Pada sebuah pulau gema itu terus saja
berkumandang, tanpa ada keraguan di tatap mata mereka, tanpa ada ketakutan di
raut wajah mereka. Jauh dari pulau itu, berjarak puluhan centi meter pada
skala-peta, adalah para penonton drama sebuah sidang dengan tingkah polah lucu
bercampur haru dan menegangkan. Ketiga terpidana akhirnya ditanya tentang
permintaan terakhir dari masing-masingnya. Pada sebuah pulau, dengan segala
kekuatan, orang-orang bersiap siaga, ini upacara untuk semua bangsa di dunia,
tanpa kecuali, seluruh mata setiap manusia tengah memandang dengan penuh
perhatian semua pemberitaan menjadi sangat menentukan bahwa ada peristiwa dunia
yang tengah dijalankan. Di atas pentas dengan sorot lampu yang lumayan bagus
dan ketenangan para penontonnya, ketika ditanya kepada terpidana satu, sedang
terpidana yang lain tidak ada ditampilkan ( rupanya masih saja sempat meraih
segelas air putih di belakang layar, karena memang sangat haus maka lahap
sekali diminumnya, sementara menunggu giliran tampil berikutnya untuk menjawab
beberapa pertanyaan tentang permintaan terakhirnya nanti, di sebelahnya berdiri
terpidana yang lain dengan selalu mencoba santai tetapi terlihat jelas bahwa ia
belum hapal benar naskah yang akan ia bawakan saat-saat terakhir nanti, dapat
dilihat dari komat-kamit bibirnya mengucapkan dialog-dialog yang cukup lumayan
panjang ), “Saya hanya ingin membacakan sebuah puisi,” jawabnya lantang penuh
keyakinan. “Hanya itukah permintaan terakhir kamu, wahai terpidana satu?”.
Tanpa keraguan, tegas dan lantang, dijawabnya pula,” Ya. Saya hanya ingin
membacakan sebuah puisi, dan setelah itu saya tidak mau bicara lagi, dan
setelah itu saya tutup mulut terhadap semua, ya, semuanya saya serahkan kepada
yang maha kuasa.” Musik terdengar syahdu mengiringi langkah bergerak pelan dari
arah panggung sebelah kanan bagian belakang menuju titik tengah terdepan, sorot
lampu mengikuti langkah pelan itu untuk memberikan efek keheningan dan proyeksi
permainan agar menjadi lebih dapat dirasakan segenap isi ruangan pentas. Pada
sebuah pulau gemuruh berkumandang menusuk asma tuhan dan orang-orang saling
sama menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya ketika di waktu yang bersamaan
pula sebuah putusan telah ditetapkan akan secepatnya mengakhiri perjalanan
segala titian doa dari orang-orang yang merasakan langsung bahwa derita dan
luka telah pula terjadi kepada banyak tubuh bergelimpangan. Perlahan
diangkatnya tangan sebelah kanan dengan kepal jemari penuh penghayatan, wajah
pelan tengadah tepat setajam tusukan mata elang bertemu sasaran di semak-semak
dalam padang. Getar-getar tubuh telah melahirkan isyarat bahwa ia akan berbuat
dengan maksimal, musik mendukung penuh disertai sorot pencahayaan warna perak
dan hijau bergantian, tiba-tiba segaris cahaya turun tepat dari atas kepalanya
warna ungu dan menjadi sangat berwibawa.
Ia pun mulai membaca,
“Indonesia
dalam kaca mata luka; serapah apa yang memang pantas untuk dijadikan umpan
kepada ulat-ulat daun yang dengan sangat tidak sengaja tersangkut di
jaring-jaring, mengatasnamakan kenistaan berjubah luka, wahai, katakanlah
kepada kami, dari bilik hati ke bilik nurani, katakanlah kepada kami, wahai
selembar daun kering yang masih melekat di dahan lapuk ini, tak sepantasnya
kami dan tak sepantasnya harus melepaskan agar gugur daun dengan empuk sebelum
daun menjadi retak sebelum dahan bertambah lapuk katakanlah kepada kami, wahai
daun-daun busuk yang masih tersangkut di ketiak cabang-cabang retak, jangan
menunggu badai jangan menunggu topan jangan menunggu, angin puting-beliung di
tangan kami mengepal di kaki kami derap segala nyali berangkatlah ke tepi
sebelum menjadi sunyi ditikam belati, adalah lidah kami yang kosong, kami tak
perlu janji yang menjadi kunyahan dari tulisan sejarah di batu-batu waktu,
serapah apalagi yang harus dijadikan santapan sarapan pagi dan setiap pagi,
sementara semua telinga selalu dan selalu dikunci, serapah apalagi, ya tuhan
serta tuhan-tuhan yang lain genap sudah rasanya kepercayaan yang Maha Penuh ini
ada di sini sekaranglah saatnya kami kembalikan Indonesia kami kepada-Mu, kami
tak mampu lagi menjaga kepercayaan yang diberikan sebelum kembali dengan sangat
terpaksa maka ambillah, sempurnakanlah seperti ulat-ulat pemakan daun itu tak
pernah mau tahu semua berjalan seakan apa adanya di balik pernyataan demi pernyataan
yang dilontarkan, itu bukan atas nama siapa-siapa, yang ada adalah dendam
segenggam ulat, yaa tuhan terimalah penyerahan Indonesia kami ini,
tenggelamkanlah Indonesia ini ke dalam laut-Mu yang Maha itu agar tak ada lagi
yang mencaci maki untuk Indonesia, kelak bila tersebut sebuah nama, maka tak
ada lagi nama Indonesia yang dahulu dan sekarang; yang ada adalah yang akan
datang, Indonesia dalam kaca mata luka,
katakanlah kepada kami, wahai kilau tajam mata
belati,
tari !!! menari !!! di sini, tikam getah ngilu
katakanlah
kepada kami, wahai kilau tajam mata belati,
tari !!! menari !!! di sini, tikam getah ngilu
katakanlah
kepada kami, wahai kilau tajam mata belati,
tari !!! menari !!! di sini, tikam getah ngilu
katakanlah
kepada kami, wahai kilau tajam mata belati,
tari !!! menari !!! di sini, tikam getah ngilu
(tiba-tiba
seekor kecoa menampakkan senyum manisnya dan di belakang kecoa itu ada
gerombolan tikus, babi, singa, macan, rayap, belatung, kumbang, kutu busuk
tertawa-tawa, tertawa) Indonesia dalam kaca mata luka; yang menjerit sekarang
bukan hanya pesakitan, indonesiaku sudah gila, syaraf-syarafnya kusut masai tak
ada ujung tak mampu menemukan pangkal, bagai duduk di kursi listrik kematian,
otot tulang jantung mata dan angan-angan serta gairah seksualnya bergetar tanpa
aturan, indonesiaku sudah tidak punya peta, di gugusan pulaunya hanya ada
mimpi, mimpi yang menghadirkan keluhan dusta tangis dan darah; peluh
keringatnya sudah keluar dari jalur ketidak-beraturan indonesiaku tidak mampu
mengatakan bulan sebagai bulan indonesiaku tidak mampu mengatakan cahaya
sebagai cahaya, pernyataan demi pernyataan hanya sebatas ejaan dan kumpulan
kosa kata perbuatan demi perbuatan hanya sebatas peran aktor badut pemain
sandiwara, terkadang indonesiaku dapat menguraikan tapi sebenarnya indonesiaku
buta pada akar persoalan sebab yang ada hanyalah pembenaran di otak indonesiaku
sudah tidak ada lagi kebenaran terselubung oleh khianat dan pembohongan
indonesiaku dalam kaca mata luka sejarah semakin menjauh sambil menutup
wajahnya, ada sejumlah nama tak mampu berbuat apa-apa ada seonggok bangkai kata
yang tak mampu membangun kerangka baut demi baut engsel demi engsel lepas dan
berkarat indonesiaku paling canggih meruntuh-lantakkan pilar-pilar kebudayaan
dan peradaban namun tak mampu menjaga kilau cahayanya indonesiku adalah
keping-keping kapal si Malin Kundang atau kebisuan dinginnya batu gunung Raden
Pengantin indonesiaku tak lagi dijaga datu-datu indonesiaku memendam dendam
tajamnya kilau belati,
iris mengiris koyak mengoyak tikam menikam
iris
mengiris koyak mengoyak tikam menikam
iris
mengiris koyak mengoyak tikam menikam
iris
mengiris koyak mengoyak tikam menikam
indonesiaku
indonesiaku indonesiaku
o,
indonesiaku
dalam
kaca mata luka
berlari
aku yang berdiam di tempat tak menentu mengejar sesuatu, entah dari entah ke
mana entah di sol sepatu berlapis debu-debu; engkau indonesiaku berapa sudah
kata jarak sejak kaki bayi pertama menginjak
aku
bukan bulan pemantul cahaya itu aku bukan
aku
bukan bumi penyerap derita itu aku bukan
aku
bukan cahaya pembelah debu itu aku bukan
Indonesia,
oo indonesiaku berbaring dan pejamkan matamu
urailah
kusut masainya syaraf-syaraf di otak mesummu nikmati desir nikmati desau
nikmati sepoi nikmati hadirkanlah mantra-mantra penolak bala itu hadirkan
hadirkan dalam pejam keleburan antara bagian kepala antara bagian tangan dan
kaki antara bagian bahu ke perut sebelum matimu mencapai kesempurnaan yang
sesungguhnya dari setiap tarikkan napas di antara napas-napas yang lain
mengejar aku yang terpana di batu pijak tak menentu tertangkap jejak belalang
di lentingan titik-titik embun berlalu dan sirna bersama naiknya terik di
sejengkal ubun-ubun mempesonakan kelentikan gemulai ketiak daun jambu
aku
bukan penebang getah galau itu aku bukan
aku
bukan penikam bau dendam itu aku bukan
aku
bukan penembak kepak sayap garuda retak itu aku bukan, Indonesia, oo
indonesiaku
baringkan
titik renungmu sampaikan setiap salam ke dalam catatan langit biru lembar demi
lembar helai demi helai mari kita tempatkan unsur demi unsur itu engsel demi
engsel itu pada bilik-bilik tak bersekat baja mempesona datang dari arah mata
angin tak bertuan, “mampuslah engkau dikoyak-koyak sepi !!!”
Indonesia,
oo indonesiaku seperti risau anak pipit;
…
umai-umai
kada
pang sampai hati
malihat
anak pipit kaciakan, ambili anak pipit
jangan biarkan anak pipit, dalam
sangsara
aku
alunkan segerobak luka di antara hembus-hembus
aku
bukan aku bukan aku bukan aku bukan aku bukan
sebab
aku hanya seorang penyair yang terselip di rumpun sarai…
ambili anak
pipit, jangan biarkan anak pipit
dalam sangsara
dalam
kaca mata luka
dan
kita
pun
!!!
merenunglah
aku di semak-semak pemikiran
indonesia
dalam kaca mata luka
apakah
harus semua orang mengirimkan caci maki ini
apakah
harus semua kucing yang berbentuk binatang itu selalu menghadirkan cakar dalam
meong panjang mengendap dalam pengintaian yang teramat sabar
apakah
harus semua ombak dan gelombang menjelmakan badai sementara pantai tak
bersahabat-karang siput dan kerang terusik selalu dari sarang paus dan
lumba-lumba tak tampat bercanda riang
apakah
harus semua akar yang malu-malu itu bermunculan, “getahku tak berdaun getahku
tak berdaun getahku, apalagi yang dapat aku serap di lorong tanah ini, tanahku
bau darah tanahku bau darah tanahku bau…”
apakah
harus semua sungai tak lagi mengenal kemana arusnya dan muara selalu
mempersalahkan hujan dan hujan selalu mempersalahkan angin dan angin selalu
mempersalahkan hembus dan hembus selalu mempersalahkan desah dan desah selalu
mempersalahkan gundah dan gundah selalu mempersalahkan wahai
apakah
harus semua kompor menutup lubang-lubang sumbu sementara minyak merindukan
nyala
apakah
harus semua zikir menuliskan fonem-fonem persukuan sementara kata merinduklan
kalimat dan kalimat sangat berharap untuk menjadi paragraf
apakah
harus semua apakah harus apakah
menunggu
bukan kata yang paling tepat bukan mimpi yang tak bersambung; indonesiaku
bukanlah mimpi indonesiaku adalah semua orang indonesiaku adalah semua kucing
indonesiaku adalah semua ombak dan gelombang
indonesiaku adalah semua akar indonesiaku adalah semua sungai
indonesiaku adalah semua kompor indonesiaku adalah semua zikir indonesiaku
adalah semua tak ada yang tersisa sampai debu tak lagi berdebu
lihatlah
wahai indonesiaku rindu bukan sekedar rindu
lihatlah
wahai indonesiaku luka bukan senganga luka
(menyaksikanlah
aku pada bingkai awan berkaca bening di permukaan danau riak gemericik dan
kecipak liuk ikan menari geliat sisik pantulan bulan; mari ke mari kita sikut
itu sunyi, mari ke mari kita pasung itu sepi; taman hijau taman hati kembali
kepada Sang Nurani, sambut kelingking jari-jemari, wahai indonesiaku, di tepi
kolam ikan aku berdiri)”
Pada sebuah pulau tiga
anak manusia berjalan menuju tiang-tiang panjang. Derap langkah yang penuh
keyakinan bahwa memang garis hidup telah ditentukan. Pada sebuah pulau tiga
anak manusia dengan tatap mata bersinar dengan senyum selalu saja menebar
dengan kepal tangan mencoba meruntuhkan kawat berduri dari kokohnya
pagar-pagar. Pada sebuah pulau sejarah kemanusiaan saling mewarta saling
berkabar. Pada sebuah pulau percik api berkobar dan menjalar membakar. Pada
sebuah pulau, malam dan embun semakin menjadi-jadi. Dan pada sebuah pulau yang
lain lagi banyak tengadah telapak tangan, berbaur bau asap di dupa-dupa, kepada
apa saja tuhan dan dewa sebagai pengharapan untuk mengabulkan segala doa. Pada
pulau yang lain ini telah pula lembaran sejarah memperingatkan bahwa
nilai-nilai kemanusiaan, bagaimana pun dan untuk apapun juga, tanpa kecuali
adalah harus tetap dipelihara dan dijaga. Tangis bukan jalan yang termudah,
tetapi darah di pelupuk mata bukanlah satu-satunya cara.
Di atas pentas, puisi
baru saja tuntas dibacakan, dengan hapalan yang sangat memukau. Penonton tak
bisa menahan gemuruh tepuk tangan bersamaan dengan seorang aktor diam
tersungkur rebah tersandar lemah lunglai di tiang pancang. Satu pemain dibawa
ke belakang layar pertunjukan, orang-orang bersuara membahana dengan
bayang-bayang kepal tangan. Engkau tuhan kami yang maha pemurah pengampun dan
maha damai. Terimalah ia sebagaimana layaknya sebagai anak manusia. Ciptaanmu
jua. Amin. Izinkan ia mencium mesra bau tanahnya sendiri karena tanah itu
engkau yang memiliki. Tuhan, telah tercatat tiga anak manusia dengan tangan
mengepal menuntaskan apa yang memang seharusnya dituntaskan.
Pada sebuah pentas,
berjarak puluhan centi meter pada skala-peta dari sebuah pulau, para pemain
berkumpul untuk melakukan pemakaman terakhir bagi seorang aktor yang dengan
sangat manis dan meyakinkan telah mampu menghadirkan sebuah cermin besar
kehidupan menjadi nyata dalam genggaman, di atas pentas dan pada sebuah pulau,
semuanya bisa saja terjadi tanpa dapat diduga-duga sebelumnya, adalah keliaran
imaji di kepala para penonton sebagai
saksi dalam setiap persidangan. Gerimis mempercepat sinar berlindung di balik
kelam. Hujan akan datang, ketika orang-orang berduyun tanpa dapat menahan rasa
ingin rasa mau rasa yang telah dijanjikan bahwa segalanya akan dilakukan dengan
penuh sepenuh keterbukaan. Sekarang, orang-orang menjadi lupa karena sibuk
dengan tampilan di pinggir-pinggir jalan, wajah-wajah membosankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!