Senin, 14 November 2011

JALAN BERLIKU MENUJU INDONESIA : Tentang Tradisi Penulisan Cerpen di Kalimantan Selatan

Oleh : Jamal T. Suryanata

Dengarkanlah Kumandang Tanah Air,

tidakkah ada saling mengerti antara Maseri Matali, Suhana dan Achmad Nur

di pedalaman dan pesisir Kalimantan dengan penyair-penyair pulau Ambon

Lisapaly dan Sijaranamual dan penyair Gorontalo M.A. Kamah?

( H.B. Jassin )

/ 1 /

Saya tahu, sesungguhnya agak naif menempatkan kutipan kalimat di atas untuk mengawali tulisan ini. Kutipan tersebut tak lebih dari sebuah pertanyaan retoris yang dilontarkan H.B. Jassin dalam salah satu esainya yang bertajuk ”Seni, Seniman, dan Peminat” di majalah Mimbar Indonesia saat menyoal ketidak-mengertian banyak orang terhadap bahasa penyair (baca: puisi).[1] Lalu, apa perlunya saya mengutipkan kalimat itu? Apa relevansinya persoalan puisi dan kepenyairan dibawa-bawa ke dalam perbincangan mengenai tradisi cerpen di Kalimantan Selatan (Kalsel) ini?

Tentu saja saya punya alasan tersendiri sehingga merasa perlu menempelkan kutipan kalimat tersebut di awal tulisan ini. Dengan kutipan itu saya ingin memberikan sebuah gambaran komparatif antara tradisi penulisan puisi atawa kepenyairan dengan tradisi penulisan cerpen di Kalsel yang – minimal secara kuantitas – tampaknya cukup paradoks selama ini. Sebagaimana secara historis dapat kita lacak, sejak tahun 1930-an Kalsel niscaya merupakan lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan spesies yang bernama puisi dan atau makhluk yang lazim digelari ”penyair”. Demikianlah, sejarah telah mencatat, pada sekitar dekade 40-an sajak-sajak Maseri Matali sudah pun sahut-bersahut dengan karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Siti Nuraini, dan beberapa penyair berpengaruh lainnya yang kala itu sedang giat-giatnya meramaikan jagat sastra di tanah air melalui sejumlah majalah yang terbilang cukup prestesius semisal Mimbar Indonesia, Pantja Raja, dan Spektrum (Jakarta). Dalam kaitan inilah, disebut-sebutnya nama Maseri Matali oleh H.B. Jassin – terutama karena posisinya sebagai tokoh kritikus sastra yang paling berpengaruh, bahkan nyaris tak tertandingi, pada masa itu – tentunya dapat dipandang sebagai bentuk legitimasi tak langsung atas popularitas dan kewibawaan penyair asal Kalsel tersebut di antara sederet nama penyair nasional papan atas lainnya.

Selepas Maseri Matali, anggapan tentang kedudukan Kalsel sebagai lahan subur bagi pertumbuhkembangan puisi dan atau kepenyairan kembali dikukuhkan oleh kehadiran beberapa penyair generasi penerus yang aktif berkarya antara 1950-an hingga 1990-an semisal Hijaz Yamani, D. Zauhidhie, Salim Fachri, Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, Noor Aini Cahya Khairani, Micky Hidayat, Maman S. Tawie, Eza Thabry Husano, Burhanuddin Soebely, Tarman Effendi Tarsyad, Y.S. Agus Suseno, Ariffin Noor Hasby, Jamal T. Suryanata, dan beberapa nama lainnya yang karya-karya mereka pernah menghiasi sejumlah media sastra maupun antologi puisi bersama berskala nasional. Bahkan, jika kemudian kita merasa perlu menggunakan parameter kepenyairan yang relatif lebih longgar, maka telah tercatat tidak kurang dari 300-an nama penyair Kalsel yang pernah aktif meramaikan dunia perpuisian di tanah air (dalam lingkup Kalsel pada khususnya).[2] Belum lagi jika peta kepenyairan di Kalsel tersebut menghadirkan sederet nama baru yang mulai aktif berkarya sejak penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21 sekarang yang tampaknya lebih didominasi oleh penyair-penyair muda perempuan.

Eksistensi dan kontinuitas tradisi kepenyairan sebagaimana tergambar di atas bukan saja telah mengukuhkan posisi Kalsel sebagai lahan yang sangat subur bagi pertumbuhkembangan puisi, tetapi boleh jadi juga menunjukkan bahwa Kalsel selama ini memang merupakan salah satu “lumbung penyair” terbesar atau bahkan sebagai daerah yang “surplus puisi dan penyair” di tanah air. Kondisi tersebut tampaknya masih berlanjut hingga memasuki dasawarsa pertama di awal alaf baru sekarang ini. Namun, tidak sebagaimana maraknya penulisan puisi dan bejibun-nya jumlah penyair, sejarah pun telah mencatat bahwa sepanjang perjalanan sastra Indonesia modern ternyata Kalsel senantiasa tampil sebagai daerah yang minus karya dan penulis prosa (cerpenis, apalagi novelis).

Sejak dimulainya tradisi penulisan sastra Indonesia modern di Kalsel pada sekitar awal 1930-an – sejauh yang saya ketahui – hingga kini tak ada satu nama pengarang pun dari daerah ini yang pernah disebut-sebut – apalagi sampai dibahas secara mendalam dan panjang-lebar dalam karya-karya kritik dan sejarah sastra – sebagai tokoh cerpenis nasional semacam A.A. Navis, Yusach Ananda, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Korrie Layun Rampan, Seno Gumira Ajidarma, atau Gus tf Sakai – untuk menyebut beberapa nama saja. Jadi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? Apa yang terjadi dalam jagat kepengarangan di Kalsel selama ini?

/ 2 /

Sebelum lebih jauh memasuki pembahasan tentang tradisi cerpen di Kalsel, sekarang mari kita tengok sebentar sejarah awal tradisi penulisan prosanya secara umum. Masa-masa awal tradisi penulisan prosa (fiksi) di daerah ini setidak-tidaknya ditandai sejak lahirnya karya-karya Merayu Sukma, khususnya dalam bentuk roman, yang terbit pada sekitar dasawarsa 30-an hingga 40-an. Beberapa romannya yang telah diterbitkan antara lain Kunang-kunang Kuning, Berlindung di Balik Tabir Rahasia, Menanti Kekasih dari Mekkah, Teratai Terkulai, Yurni Yusri, Sinar Memecah Rahasia, Putera Mahkota yang Terbuang, Jurang Meminta Korban, Dalam Gelombang Darah, Gema dari Menara, Mariati Wanita Ajaib, dan Kawin Cita-cita.

Pada kurun waktu berikutnya, tradisi penulisan roman atau novel kemudian dilanjutkan oleh Artum Artha, Anggraini Antemas, dan Ian Emti. Antara akhir 1940-an hingga penghujung 1970-an, Artum Artha antara lain menerbitkan roman Kumala Gadis Zaman Kartini, Tahanan yang Hilang, Kepada Kekasihku Rokhayanah, Putera Mahkota yang Terbuang, dan Kartamina. Sementara itu, kendati Anggraeni Antemas sudah memulai karier kepengarangannya sejak tahun 1940-an, tetapi sejumlah karyanya baru terbit pada awal tahun 1980-an. Beberapa romannya yang sudah diterbitkan di antaranya Melamar Puteri Purnama, Si Bunglon Jadi Detektif, Menghindar dari Telaga Kematian, Tunas-tunas Mekar Pagi, dan Mendulang Intan. Sedangkan Ian Emti telah menerbitkan empat novel pada tahun 1978, masing-masing berjudul Dosen Komersiel, Pada Sebuah Kapal, Perawan Tapi Hamil, dan Insan-insan Pop. Setelah itu, penulisan novel nyaris tak ada gaungnya lagi selama hampir dua dasawarsa sebelum hadirnya Burhanuddin Soebely dengan tiga karyanya yang (ketiganya) pernah meraih penghargaan sebagai Pemenang II dalam sayembara penulisan novel yang digelar majalah Femina (1997, 1998, 2001) dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di majalah tersebut.[3]

Sampai saat ini, barangkali, Aliman Syahrani dan Farah Hidayati adalah dua novelis Kalsel generasi terkini. Aliman ”eksis” berkat keberhasilannya menerbitkan novel Palas (2004), sedangkan Farah dengan novel Rumah Tumbuh dan Alexandria. Sebab, selepas keduanya tak tampak lagi cikal-bakal penulis novel baru yang lebih menjanjikan. Namun begitu, jikapun catatan ini ingin dilengkapkan lagi (tentu dengan melepaskan parameter kesastraan yang agak njelimet dan bersifat normatif), tak pula dapat diabaikan nama-nama seperti Ajamuddin Tifani, Y.S. Agus Suseno, Alipir Budiman, dan Tajuddin Noor Ganie karena pada dasarnya mereka pun pernah menulis novel (yang masing-masing naskah novelnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di koran lokal).

Berdasarkan data historis di atas, tradisi penulisan prosa di Kalsel pada masa lampau sesungguhnya sudah cukup menggembirakan. Kemudian, khusus dalam bidang penulisan cerpen, sejarah pun telah mencatat ”prestasi masa lampau” yang mesti diperhitungkan. Secara pasti, sejarah awal tradisi penulisan cerpen di Kalsel setidak-tidak telah dimulai sejak tahun 1950-an dengan tampilnya Masrin Mastur yang kala itu aktif memublikasikan karya-karyanya (tercatat 7 cerpen) dalam Mimbar Indonesia antara 1951—1953. Prestasi serupa juga telah ditunjukkan oleh Ramtha Marta dengan keberhasilannya menembus sejumlah media nasional dalam kurun waktu 1953—1974. Beberapa cerpennya antara lain dimuat dalam Mimbar Indonesia (11 cerpen), Kisah (2 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Mimbar (1 cerpen). Selanjutnya, pada kurun waktu antara 1955—1960, Syamsiar Seman juga telah berhasil memublikasikan karya-karya cerpennya di empat majalah berskala nasional; masing-masing di majalah Star Weekly (1 cerpen), Pantjawarna (1 cerpen), Indonesia (1 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Lalu, antara 1955—1959, Hijaz Yamani telah pun mencatat prestasi tersendiri dengan sejumlah cerpennya yang berhasil menembus beberapa media nasional seperti Pahatan (1 cerpen), Minggu Pagi (2 cerpen), Roman (3 cerpen), Tjerita (3 cerpen), Indonesia (2 cerpen), dan Konfrontasi (1 cerpen). Selain itu, karya-karya Darmansyah Zauhidie juga telah berhasil menembus Roman (1 cerpen), Tribun (1 cerpen), dan Zaman (5 cerpen) dalam kurun waktu antara 1955—1981. Sementara itu, Artum Artha hadir dengan 7 cerpen yang semuanya dimuat di majalah Senang antara 1976—1984.[4]

Selanjutnya, sejak pertengahan 1980-an sampai sekarang, beberapa nama yang karya-karya cerpennya pernah menembus media dan atau masuk dalam suatu lomba penulisan berskala nasional antara lain Ajamuddin Tifani, Ahmad Fahrawi, M. Rifani Djamhari, Y.S. Agus Suseno, Jamal T. Suryanata, Sandi Firly, Joni Wijaya, dan Zulfaisal Putera. Karya-karya mereka di antaranya pernah dimuat dalam majalah Horison, Matra, Jurnal Cerpen Indonesia, Selarong, SKH Jawa Pos, Surya, dan beberapa media lainnya. Di samping mereka, memang masih ada sejumlah nama lagi yang pantas dicatat dalam deretan cerpenis Indonesia asal Kalsel; sebutlah A. Rasyidi Umar, Syukrani Maswan, Zain Noktah, Eddy Wahyudin SP, Maman S. Tawie, Aliman Syahrani, M. Fitran Salam, Harie Insani Putra, Sainul Hermawan, Dewi Alfianti, Rismiyana, Ratih Ayuningrum, dan Syafieqotul Machmudah – sekadar menyebut beberapa nama yang pernah cukup produktif berkarya.

Berdasarkan pemetaan di atas, pada tataran tertentu tampak bahwa dari dasawarsa ke dasawarsa tradisi penulisan prosa (termasuk cerpen) di Kalsel terus mengalami penurunan. Lebih-lebih jika patokannya terbatas pada publikasi berskala nasional, jelas penurunan itu akan sangat terasa selepas dekade 80-an. Maka, atas dasar itulah, jika dibanding dengan tradisi penulisan puisinya yang dari masa ke masa selalu ramai dan terus tumbuh subur, satu hal yang dapat dikatakan bahwa hingga sejauh ini Kalsel memang tak ubahnya ibarat lahan gersang bagi persemaian genre cerpen atau prosa pada umumnya. Di antara sederet nama cerpenis yang disebutkan di atas ternyata pula hanya ada beberapa nama yang terbilang cukup produktif dan relatif konstan dalam berkarya. Kemudian, di antara jumlah yang sedikit itu, lebih terbatas lagi yang karya-karyanya mampu menembus media massa berskala nasional.

Dibanding karya-karya puisinya yang relatif banyak atau sering dimuat dalam sejumlah buku antologi puisi bersama yang juga berskala nasional, sampai saat ini hanya ada dua cerpen yang beruntung ikut diterbitkan dalam dua buku berskala nasional yang cukup monumental, yakni cerpen berjudul “Petaka Teluk Mendung” karya Ajamuddin Tifani (dengan nama-pena Laila Fakhriani) dalam buku Cerita Pendek Indonesia, Jilid IV (Editor: Satyagraha Hoerip, 1984) dan cerpen “Sebelas” karya Jamal T. Suryanata dalam buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Editor: Korrie Layun Rampan, 2000). Akan tetapi, boleh jadi ada orang yang beranggapan bahwa dimuatnya kedua cerpen tersebut lebih bersifat kebetulan belaka (baca: kebetulan ada editor yang ”secara tidak sengaja” menemukan kedua cerpen itu saat ia melakukan penelitian atau pengumpulan naskah untuk penerbitan bukunya). Namun, lepas dari persoalan tersebut, pada akhirnya harus diakui bahwa sampai saat ini Kalsel memang belum punya seorang tokoh cerpenis nasional yang popularitas dan kewibawaannya setaraf, misalnya, dengan Danarto, Kuntowijoyo, Budi Darma, Umar Kayam, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Korrie Layun Rampan, Taufik Ikram Jamil, Harris Effendi Tahar, Ratna Indraswari Ibrahim, Seno Gumira Ajidarma, Gus tf Sakai, Agus Noor, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut EA, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, atau Raudal Tanjung Banua (maaf, juga hanya untuk menyebut beberapa saja). Maka, sekali lagi, ada apa sebenarnya dengan tradisi cerpen di Kalsel?

/ 3 /

Sebagaimana telah disinggung di atas, prestasi masa lampau yang telah ditunjukkan oleh para penulis roman asal Kalsel sebenarnya sudah cukup membanggakan. Akan tetapi, mengapa selama ini nama-nama serta karya-karya mereka tak pernah disebut-sebut dan atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia? Adakah sesuatu yang salah dalam sejarah masa lalu itu? Padahal, lewat karya-karya mereka, kita tahu bahwa Merayu Sukma, Anggraeni Antemas, maupun Artum Artha telah memberikan sumbangan yang cukup besar dalam rangka membentangkan khazanah penulisan roman di Indonesia. Dengan begitu, boleh jadi pengungkapan data historis mengenai sastra Indonesia yang ada selama ini memang masih bermasalah .[5]

Jika persoalan di atas kita telusuri lebih jauh, tampak bahwa dalam istilah “bermasalah” tersebut setidak-tidaknya mengandaikan terdapatnya tiga kemungkinan yang menjadi faktor penyebabnya. Pertama, dari segi kualitasnya, kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel tersebut memang dinilai kalah penting dibanding dengan karya-karya penulis kenamaan Indonesia lainnya. Hal ini, misalnya, berkaitan dengan konsep pembaruan yang seringkali dijadikan tolok ukur utama dalam pembahasan kritik sastra. Kedua, mungkin pula persoalannya lebih dilantarankan oleh perbedaan sudut pandang para kritikus atau sejarawan sastra mengenai parameter kesastraan yang berlaku ketat pada masa itu; bahwa kedudukan karya-karya para pengarang Kalsel itu secara normatif digolongkan sebagai roman picisan atau sastra populer, sementara para kritikus dan sejarawan sastra secara kaku hanya memasukkan karya-karya yang lazim disebut sastra serius. Dengan kata lain, ruang lingkup penelitian mereka pada akhirnya hanya terfokus pada buku-buku dan media massa yang memuat karya-karya yang dianggap serius dan dengan sendirinya akan mengesampingkan semua objek yang berbau populer. Ketiga, mungkin akibat kedua faktor di atas, boleh jadi tradisi kepengarangan di Kalsel pada saat itu memang belum dianggap “ada” oleh para kritikus dan sejarawan sastra Indonesia. Sebab, orientasi pemetaan sastra pada masa itu – bahkan jejak-jejaknya masih tampak hingga sekarang – tampaknya punya kecenderungan untuk terfokus pada titik-titik tertentu yang sejak lama telah dianggap sebagai kantong-kantong sastra utama di tanah air atau karena telah punya tradisi sastra yang baik (misalnya Padang, Jakarta, dan Yogyakarta).

Lepas dari keinginan untuk menghakimi atau sekadar melakukan pembelaan, pada sisi lain tampak pula bahwa tradisi penulisan cerpen di Kalsel sebenarnya juga tidaklah terlalu buruk (minimal jika dibandingkan dengan tradisi kepengarangan di tiga wilayah Kalimantan lainnya). Berdasarkan data historis di atas, selama rentang waktu antara 1950-an hingga 1980-an (sekitar empat dasawarsa) sejumlah cerpenis Kalsel jelas telah menunjukkan prestasi yang cukup signifikan melalui karya mereka masing-masing yang mampu “berbicara” di pentas nasional. Namun, kendati demikian, tetap saja masih terasa ada yang kurang. Sebab, sebagaimana tradisi penulisan novelnya yang selalu terdengar sayup sampai, sampai saat ini juga tak pernah ada seorang cerpenis Kalsel pun yang nama dan karya-karyanya dicatat atau dibahas dalam buku-buku sejarah dan kritik sastra Indonesia. Jadi, sekali lagi, ada apa sesungguhnya dengan tradisi cerpen di Kalsel? Apakah persoalannya sama dengan yang berlaku dalam tradisi penulisan roman? Adakah ia telah mengidap semacam penyakit kronis, cukup akut, atau bahkan sudah bersifat epidemis?

Kalau tradisi penulisan cerpen ini kita coba cermati, persoalannya mungkin sangat berbeda dengan yang berlaku dalam tradisi penulisan roman atau novel sebagaimana tergambar di atas. Dalam konteks ini, relevansi masalahnya hampir tak ada gayutannya dengan perbedaan paradigma kesastraan yang bersifat dikotomis itu: “sastra serius” versus “sastra populer”. Pertanyaan tersebut tampaknya lebih merupakan representasi (mungkin pula sebagai akumulasi) dari sebentuk kegelisahan yang seyogianya menjadi kegelisahan bersama. Jawabnya pun bisa jadi bersentuhan dengan segepok persoalan, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah teknis kesastraan maupun nonkesastraan. Di sini, sederet persoalan yang mungkin mengemuka di antaranya menyangkut faktor-faktor ketiadaan bakat, rendahnya minat, kurangnya semangat, minimnya pengetahuan, miskinnya pengalaman, tak cukupnya penguasaan bahasa, rumitnya teknik penulisan, ketatnya seleksi media massa, rendahnya honor tulisan, kondisi lingkungan yang kurang kondusif, gagap teknologi, kemalasan pribadi, pertimbangan popularitas pengarang, tumbuh suburnya koncoisme, atau lantaran sikap apriori para editor penerbit nasional (di Jakarta dan Yogyakarta pada khususnya) yang sudah terlanjur tak sudi menengok potensi para penulis dari luar kantong-kantong sastra tanah air (Kalsel pada khususnya).[6]

Terkait dengan masalah di atas, akibat berbagai faktor atau alasan-alasan yang seringkali justru lebih mengandalkan pertimbangan-pertimbangan non-kesastraan juga cukup menyempitkan peluang bagi para pengarang Kalsel untuk memublikasikan karya-karya mereka di media sastra nasional. Diakui atau tidak, para redaktur kita pada umumnya masih tak bisa melepaskan sikap mereka dari kuatnya pengaruh ungkapan klasik “tak kenal maka tak sayang”. Oleh karena itu, akibat yang muncul kemudian adalah sebentuk kalimat peringatan, “Kalau engkau belum mengenal dekat redaktur sebuah media, maka karyamu tak akan pernah bisa dimuat di media tersebut!” Dengan demikian, dalam upaya menyikapi problem semacam itu sedianya kita harus melazimkan ayat-ayat cinta, “Wahai para pengarang, jika karyamu ingin dimuat dalam sesuatu media massa, maka kenalilah redakturnya terlebih dahulu sebelum engkau mengirimkan karya-karyamu. Akan tetapi, ingatlah pula olehmu bahwa dengan modal mengenal para redaktur saja tidaklah cukup bagimu sebagai jaminan atas pemuatan karya-karyamu. Maka pikirkanlah olehmu agar engkau termasuk golongan orang-orang yang beruntung!”

/ 4 /

Tumbuh suburnya koncoisme dan sikap keberpihakan dalam aktivitas berkesusastraan, juga masih bertahannya pemikiran sentralistik yang mengandaikan pemisahan dan atau perbedaan pusat—daerah, hingga kini tampaknya masih begitu kuat mewarnai tradisi penerbitan maupun publikasi karya sastra di media massa kita. Bertolak dari kondisi yang tidak kondusif semacam itulah tampaknya yang kemudian memunculkan tradisi atau trend baru dalam konteks publikasi karya sastra di tanah air dewasa ini. Dimaksudkan sebagai bentuk penentangan, setidak-tidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah penulis akhirnya mencoba menempuh jalan pintas dengan menerbitkan “sendiri” media sastra alternatif atau menempuh penerbitan buku secara swakelola (self-publisher). Akan tetapi, sebagai konsekuensi selanjutnya, hanya individu atau komunitas yang punya modal cukuplah yang akan mampu bertahan lama (survive) di tengah persaingan yang semakin ketat. Sebaliknya, mereka yang tak punya modal pada akhirnya tetaplah sebagai penonton.

Akan tetapi, benarkah masih rapuhnya bangunan tradisi penulisan cerpen di Kalsel selama ini dilantarankan oleh faktor-faktor tersebut? Benarkah semua itu merupakan problem utama yang dihadapi para cerpenis Kalsel sehingga tampak begitu sulit untuk menemukan jalan ke Indonesia? Saya kira, persoalannya justru terlebih dahulu harus dikembalikan kepada pribadi-pribadi pengarang Kalsel sendiri. Mari kita instrospeksi diri sejenak, apakah selama ini para pengarang Kalsel sudah melakukan hal yang sama sebagaimana yang telah ditempuh oleh kawan-kawan cerpenis lain semisal Gus tf Sakai, Taufik Ikram Jamil, Joni Ariadinata, Triyanto Triwikromo, Puthut E.A, Zen Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Linda Christanty, atau Lan Fang? Jawabnya, rasanya, emang belum sih!

Bukankah selama ini kita lebih banyak jadi penonton saja? Bukankah selama ini kita lebih banyak berbicara daripada menulis? Bukankah tradisi lisan kita masih lebih dominan tinimbang tradisi keberaksaraan? Kita seringkali lebih tergiur untuk ikut-ikutan membentuk berbagai komunitas sastra, tetapi kita masih suka lupa bahwa tujuan utama pembentukan wadah adalah untuk memompa semangat berkarya. Kita juga sudah begitu banyak menggelar diskusi-diskusi kesastraan, tetapi kita toh tetap saja tak begitu mengindahkan bahwa puncak berbagai perbincangan itu adalah meningkatnya produktivitas dan kreativitas dalam berkarya.

/ 5 /

Beberapa faktor di atas tampaknya merupakan sederet alasan yang menyebabkan tradisi penulisan cerpen di Kalsel selama ini seakan-akan masih menemukan jalan buntu untuk menuju Indonesia. Dan pada tataran tertentu, celakanya pula, pengertian “Indonesia” itu agaknya masih berkiblat dan atau berkonotasi pada Jakarta (kini mungkin juga plus Yogyakarta karena tradisi penerbitannya yang semakin kuat). Dengan kata lain, sebelum seorang penulis daerah berhasil menembus Jakarta atau Yogyakarta, maka ia belum “menjadi” penulis Indonesia. Sebab, tanpa bermaksud meremehkan, cobalah tanyakan: seberapa luaskah jangkauan pembaca untuk karya-karya yang sekadar dipublikasikan di media lokal? Jadi, dalam pengertiannya yang sangat spesifik, “penulis Indonesia” berarti para penulis yang – lantaran karya-karyanya dibaca oleh banyak orang dari hampir seluruh pelosok Indonesia – popularitasnya sudah mengindonesia.

Kini, dalam perspektif masa depan, akankah pemetaan sastra Indonesia itu masih terus berkutat dalam zona Jakartasentris atau Yogyasentris? Kalau begitu, sampai pertengahan abad mendatang pun para penulis Kalsel akan terus teralienasi di tengah keramaian lalu-lintas sastra Indonesia jika mereka masih saja berkutat dalam lokalitas dunianya sendiri. Namun, sekali lagi, marilah kita instrospeksi diri. Tak adil rasanya kalau kita hanya pandai menyalahkan orang lain atau menjadikan keadaan sebagai kambing hitam. Bagaimanapun, semua itu pastilah tidak layak dijadikan sebagai alasan pembenaran kemalasan pribadi sehingga tetap saja tidak berkarya pada akhirnya.[7]

CATATAN KAKI :

[1] Lihat H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hlm. 2. ”Kumandang Tanah Air” adalah nama rubrik puisi di majalah Mimbar Indonesia saat itu.

[2] Baca, misalnya, biografi para pengarang Kalsel yang telah dihimpun Jarkasi dan Tajuddin Noor Ganie dalam buku Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (Banjarmasin: Balai Bahasa Banjarmasin, 2001). Lepas dari soal kurang jelasnya kriteria penyusunan yang digunakan, dari 307 nama pengarang yang berhasil dikumpulkan, hampir semuanya bisa dikelompokkan sebagai penyair (karena pernah menulis puisi, tentu saja). Akan tetapi, hanya beberapa nama di antaranya (mungkin tidak lebih dari 10 %) yang disebut-sebut pernah menulis fiksi (novel atau cerpen), di samping kegiatan utamanya menulis puisi.

[3] Dalam konteks ini, dimasukkannya nama Burhanuddin Soebely sebagai penulis novel terutama jika kita mengacu pada konsep kesastraan yang lebih luwes mengenai batasan novel. Dalam batasan ini, istilah novel tidak saja merujuk pada karya-karya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, tetapi juga mengakomodasi karya-karya dalam bentuk cerita bersambung yang dimuat di media massa. Lihat misalnya Sapardi Djoko Damono, Priayi-Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000).

[4] Sebagian data didasarkan pada catatan Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988). Untuk karya-karya Artum Artha dapat dilacak dalam 7 edisi majalah Senang pada kurun waktu tersebut.

[5] Mengenai peran kepengarangan Merayu Sukma, dalam salah satu esainya Maman S. Mahayana tampak sangat menyesalkan keterlanjuran para peneliti dan penyusun sejarah sastra Indonesia sebelumnya – antara lain H.B. Jassin, A. Teeuw, Ajip Rosidi, Bakri Siregar, Zuber Usman, dan Jacob Sumardjo – yang begitu saja mengabaikan empat nama penting: M. Dimyati, Yousouf Sou’yb, Andjar Asmara, dan Merayu Sukma. “Inilah ’blunder’ para peneliti yang hanya mengandalkan satu sumber saja,” ungkapnya agak ketus. Lihat Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia (Jakarta: Bening Publishing, 2005), hlm. 437—438.

[6] Paling tidak, dalam konteks ini, saya pribadi telah merasakan pengalaman pahit dalam upaya ”menjajakan” beberapa naskah buku (antologi puisi, kumpulan cerpen, dan telaah sastra) dengan menempuh jalur formal ke beberapa penerbitan di Jakarta dan Yogyakarta. Dan, sebagaimana sudah saya duga, setelah lelah berkelana ke sana-kemari pada akhirnya hasilnya memang nihil. Padahal, tanpa mengesampingkan kemungkinan subyektivitas pribadi, saya bisa menilai kualitas karya-karya saya dengan karya-karya beberapa teman tertentu dari luar Kalsel yang beruntung bukunya telah diterbitkan. Akan tetapi, menyebut Kalsel saja mungkin bukanlah pernyataan yang tepat. Sebab, pengalaman yang sama tentunya juga pernah dirasakan oleh kawan-kawan dari berbagai daerah lainnya.

[7] Saya kira masih begitu banyak persoalan yang sama layaknya untuk diangkat dan didiskusikan dalam forum kongres seperti ini. Perkembangan estetik dan masalah eksplorasi budaya lokal, misalnya, merupakan dua topik yang sangat menarik tinimbang sekadar aspek historisnya saja. Akan tetapi, hal itu dengan sangat terpaksa harus saya abaikan lantaran berbagai keterbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!