Share on :

Jumat, 06 Maret 2015

KRITIK SOSIAL DALAM ‘MALING KONDANG’ KARYA SYARIFUDDIN ARIFIN

Esti Ismawati


‘meluncur sejumlah galon, muncrat dari tanah
menyubsidi kemiskinan, mendesak kerongkongan
berduyun pasir menampung di telapak tangan
siapa yang mampu membunuh kesengsaraan ?
sementara kebodohan semakin dininabobokkan

bau beras menyengak kumbang
setiap hari mengorek jendela rumah mereka
daftarkan segera semua hutang primer
bengkakkan kaki mendesak kartu miskin
yang bertahun lamanya kau rindukan itu

lalu kita menari
di atas kebangkrutan negeri

(LALU KITA MENARI, halaman 17)

(Syarifuddin Arifin..., untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku ingin meminta maaf dahulu sebesar-besarnya kepadamu sebelum aku menulis. Ini pertama kali kulakukan, karena sebelumnya aku tak pernah meminta maaf kepada pengarang untuk tulisan yang akan kuulas. Mengulas ya mengulas. Begitu saja. Langsung menulis. Tetapi tidak untuk karya antologi puisi tunggal Syarifuddin Arifin bertajuk “Maling Kondang” (Teras Budaya Jakarta, 2012)  ini. Aku harus meminta maaf dulu kepada penulisnya. Bukan lantaran apa.

Pada waktu aku menulis skripsi S1 tahun 1980-an di Yogya, aku membahas “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis di bawah bimbingan Prof.Noer Toegiman yang asli Minangkabau, kala itu, aku mendapatkan segala pernak-pernik pengetahuan tentang budaya Minang. Tentang rumah gadang. Tentang ninik mamak.Tentang hukum waris. Tentang matriarchat. Tentang indahnya Bukit Barisan.Tentang apa saja. Maka, ketika aku mendapatkan sebingkai buku kumpulan puisi berjudul ‘Maling Kondang’ yang ditulis oleh Syarifuddin Arifin  dari Minang yang akrab disapa If oleh sahabat-sahabatnya itu, aku taruh saja buku ini di rak buku. Dalam benakku aku sudah mengenal Minangkabau, dan aku yakin itu yang menjadi isi dari buku ini. Dan buku elok dengan tanda tangan penulisnya serta dibubuhi tulisan ‘setulus hati, buat Esti Ismawati’ itupun tertidur pulas hingga disapa oleh penulisnya,‘sudah dibaca ?’ beberapa bulan kemudian.... dan akupun tergerak untuk membacanya.... dan ternyata... oh, aku minta maaf, If... aku telah suudzon kepadamu, mengira bahwa puisi-puisi di bukumu tak jauh-jauhlah dari apa yang kubayangkan..........Dan ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi diriku, terima kasih If......).

Terperanjat saya membaca satu demi satu puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku ini. Hampir semua puisinya itu berisi kritik sosial nan keras namun anggun penyampaiannya. Bukan puisi jika kritik sosial itu hanya ditulis deskriptif seperti berita koran. Dan bukan sastra jika kritik sosial itu tidak digubah dalam bahasa yang indah dan bermakna. Di luar itu, hampir semua puisi yang ditulisnya ini mempunyai kekuatan yang hebat atau ‘nendang’pada endingnya. Bukan itu saja, seperti yang dikatakan Pak Wahyu Wibowo, Syarifuddin Arifin gemar melakukan kolokialisme (penyandingan kata) secara tidak umum, dan ungkapan-ungkapan fenomenologis yang bisa saya temukan di semua puisinya,misalnya : mengalir mulus drama siri itu (umumnya mengalir air sungai itu),yang lapar terus dimamah (umumnya yang lapar terus makan), bagaikan sawah menuai lapar (umumnya menuai panen, menuai padi, dst), dibelainya angin itu, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun, di antara kita saling memangsa, dan seterusnya. Marilah kita baca puisi berikut ini :

RINDU YANG TERBELAH

ketika di dada ini menyala kesumat anak negeri
rindu yang lama terpendam tiba-tiba membelah
saling mencakar wajahnya
saling mengasah lidah melebihi silet
mengasah kuku mencengkeram kekuasaan
sampai berderik-derik

lalu rindu menjelma bagai seribu jarum
menusuk belulang, menghisap perih
derita anak negeri yang membatin
terbelenggu dalam tubuhnya
kenapa diam dalam zikir
jadi tak sempurna?

kurasakan salju ketika di dada ini
menyala kesumat membelah rindu
yang berderingan jatuh bagaikan kristal
(Padang, 2008).

Apa yang kita rasakan dari puisi di atas adalah sebuah suasana yang sangat tidak nyaman, ‘saling mencakar wajah, saling mengasah lidah, saling mencengkeram kekuasaan’, dan inilah puncak kemarahan penyair menyaksikan negerinya yang tumbuh tak seperti yang diinginkan : menjadi negeri yang sangat dirindukan. Negerinya kini menjadi negeri yang penuh kesumat, dan rindunya kini menjelma bagai seribu jarum menusuk belulang. Sementara anak negeri menghisap perih derita dan zikir pun jadi tak sempurna. Sebuah satire yang sangat pedas untuk sebuah negeri yang dulu diberi julukan‘gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerto raharjo’. (negeri yang subur,tertib, dan sejahtera). Marilah kita baca puisi berikutnya :

BUKAN PADI BUAHNYA

bukan padi buahnya, merunduk padang ilalang
aku jadi kenyang pada lapar yang sempurna
terdengar provokasi, intrik, yel-yel
serombongan pipit mematuk-matuk ilalang
mengalahkan keperihan kehidupan,
bersarang di balik perdu
irigasi mengering, bendungan di mata ini
tak kunjung bobol juga

di tengah padang, spanduk terbentang
ada seikat padi dalam gambarnya :
‘Bila menang semua akan kenyang’
tapi seekor biawak dalam semak pun tak suka
bau kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap
sepasang puyuh yang asyik berkayuh
menyisir silet di ujung ilalang

sawah membungkuk di sepoi bayu
berserpihan bunga rumput
kekenyangan jadi lapar yang sempurna
pemilihan umum menimbun dusta
sejumlah proposal bertebaran
bagaikan sawah menuai lapar
mata ini semakin perih ditusuk ilalang

kekuasaan semakin terik
(Padang 2004)   

Sebuah puisi yang penuh dengan metafor-metafor :kenyang pada lapar, bendungan di mata tak kunjung bobol, sawah membungkuk di sepoi bayu, bagaikan sawah menuai lapar, kekuasaan semakin terik, dan seterusnya. Ada pilu dan pedih di balik metafor-metafor itu.
Selama penyair masih memiliki kepedulian untuk memberikan kritik sosial, kita masih bisa berharap akan adanya kehidupan yang‘terjaga’, kehidupan yang aman dan damai, kehidupan yang menjunjung nilai-nilai moralitas yang tinggi, kehidupan yang lebih jujur dan manusiawi. Pada puisi di atas tampak bahwa kritik sosial yang dilontarkan penyair tidak hanya berkutat di masalah ekonomi seperti kelaparan yang menyangkut sandang pangan papan, tetapi juga menyangkut masalah politik. Dalam puisi di atas penyair bersuara antang bahwa “pemilihan umum telah menimbun dusta”, sejumlah proposal bertebaran, janji-janji palsu merajalela. Berjanji jika menang semua akan kenyang, dengan simbol padi, tetapi ternyata hanya ilalang yang tumbuh subur,dengan segudang provokasi, intrik-intrik, yel-yel yang memabukkan pemilih tetapi semua itu adalah dusta. Duh....

Sebagai penyair Minangkabau, tentulah Syarifuddin Arifin sangat lekat dengan tradisi pantun yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Melayu khususnya Minangkabau secara turun-temurun. Dalam buku puisi “Maling Kondang” ini pun pantun mampu dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Sebuah simbolisme bahwa Syarifuddin Arifin tidak pernah meninggalkan akar tradisi nenek moyangnya. Bacalah puisi berjudul “Mengurai Padang” di halaman 54 dan halaman 55 yang cuplikannya antara lain sebagai berikut : tikungan tajam di mata pedang / turunan terjal licin selayang (Padang Panjang). Padi ditumbuk ke Thailand / kincir menangis terabaikan (Padang Sawah). Dan seterusnya. Marilah kita simak juga puisi bergaya pantun tetapi sudah diupdate berikut ini :

SEPANTUN DAUN UBI

sepantun daun ubi
tak berpucuk di mulut bandot
kau telanjangi ibu pertiwi
berbungkus dedaun anekdot

tak ada topeng aku merunduk
terantuk kerikil si batu aji
keringat dingin menguap di tengkuk
aku nanar menantang mentari
tersenyum juga sambil mengutuk
lalu saling mengangguk basabasi

bertamu ke rumah tetangga
nampaklah kacaunya kamarku
sepantun daun ubi
kambing dan aku
(Kualalumpur, Des 2007).

Sebuah kritik sosial yang jenaka. Jika kita lihat bahwa yang dimaksud tetangga di sini adalah negeri jiran, Malaysia, oh betapa malu kita rasanya sebagai bangsa. Tampaklah kita masih amburadul di segala sektor kehidupan, hingga sepantun daun ubi, kambing, dan manusia pun bercampur baur tak karuan. Dan kita masih juga mengembangkan budaya basa-basi, tersenyum pun sambil mengutuk. Oh betapa topeng itu telah menjadikan kita bangsa yang tidak tulus. Bangsa yang penuh kamuflage, sebagaimana ditulis oleh SyarifuddinArifin dalam puisi lain yang berjudul ‘Peratap Mayat’ yang saya cuplik berikut ini :

‘demikianlah, ia (perempuan itu) meratap menangisi setiap ada yang pergi
memeras air mata para pelayat memendungkan suasana
di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu
menyiasati irama sumbang tentang kematian

dan ketika perempuan itu meninggal
tak ada yang meratapi mayatnya
tak ada yang menangisi jenazahnya
tak ada yang melantunkan dendang sedih
tak ada yang menyesali kematiannya
tak ada airmata’  

(PERATAP MAYAT, halaman 24)

Meski agak bias gender, (karena yang kematiannya tidak ada yang menangisi itu bukan monopoli perempuan; yang suka menunjukkan perilaku munafik dan perilaku kamuflage itu juga bukan monopoli kaum perempuan), namun puisi berjudul ‘Peretap Mayat’ di atas betul-betul mampu mencapai efek yang meletup-letup di dada pembaca karena jijik melihat perilaku yang demikian. Perilaku yang penuh dengan tipuan. Perilaku yang tidak tulus. Perilaku yang sulit diduga. Perilaku munafik. Naudzubillahi mindzalik. Masih banyak puisi-puisi berisi kritik sosial yang disampaikan dengan elegan olehSyarifuddin Arifin di buku ini, semisal puisi berjudul ‘KOMISI DI SECANGKIR KOPI’ berikut ini :

‘mobil esemka kebanyakan emisi
pakar bertengkar, emosi
kerangka mobil membenam
motivasi pun dikebiri

mencari komisi di secangkir kopi
ditenggelamkannya nalar
menjerat upeti

mencari kerja
sogok menyogok
payah membanting tulang’
(Padang, 010312).

Juga pada penggalan puisi di bawah ini :

‘berapa banyak yang kita laparkan
lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot
dan bayi-bayi pun menipu kita dengan tajin

busung lapar, rawan gizi membawa keranda
lalu diarak ke sebuah upacara
mematikan potensi yang bernas
dan membuangnya ke laut lepas

ada senyum yang tak kita inginkan
mayat terapung-apung dibelai gelombang
dan terdengar pernyataan :
semuanya tersalurkan’.

(BAYI PUNMENIPU TAJIN, halaman 3)  

Keistimewaan lain dari puisi-puisi Syarifuddin Arifin adalah terletak pada endingnya, di samping gaya pengucapannya yang blak-blakan, dengan metafor-metafor segar dan kolokialisme. Beberapa ending yang mencengangkan pada puisi-puisi Syarifuddin Arifin dapat dibaca di bawah ini :

‘tuhan, berkahi aku kentut yang lebih busuk lagi,agar
orang-orang tak suka dan hambaMu akan merdeka dinegeri
yang menjijikkan ini’
(AKU BUKAN  MERAMPOK, halaman 74).

‘sabay terkapar di depan lemari
yang menyimpan rahasia hidupnya
“jangan habisin papa, nak”
amat lirih suaranya’.
(HAMIL TIKUS,halaman 72).

‘kau pun terbang melayang meninggalkan jejak
dalam proposal kemiskinan
duh’
(RINDU YANG  TERBANG, halaman 21).

‘kurasakan salju ketika di dada ini
Menyala kesumat membelah rindu
Yang berderingan jatuh bagaikan kristal’
(RINDU YANG TERBELAH, halaman 32).

‘orang orang gagu
menyewa lidah si bisu
dengan senyum kau suburkan
penderitaan ini’.
(MURKA YANG MENDESAK, halaman 20).

‘semakin banyak yang kehausan, semakin membludak yang
merindukan kasih sayang, semakin tinggi angka kemiskinan,
semakin jauh fatamorgana, semakin meregang jantung dan hati’
(KERINDUAN   YANG PECAH, halaman 13).

Dan masih banyak lagi. Semuanya menyajikan ending yang tajam, setajam pisau jagal korban Idul Adha. Dan terakhir, seolah tak mau tertinggal dengan perkembangan puisi dunia yang lagi gandrung dengan haiku, Syarifuddin Arifin menggunakan haiku juga sebagai sarana penyampaian kritik sosialnya yang elegan. Perhatikan puisi berikut ini :

HAIKU : GALAU

jaring terurai
dipeluknya bayangan
mengharap gabah

suara badai
gelisahkan nelayan
tak pernah kalah

jatah si miskin
obat-obat generik
macam kerikil

anak perawan
bergaya di jalanan
cari pembalut

(Padang, 2012).

Demikianlah ulasan saya tentang puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku puisi tunggalnya berjudul “Maling Kondang”, semoga menjadi motivasi bagi kita semua untuk ikut mengkritisi apa yang terjadi dalam kehidupan di sekeliling kita, juga kehidupan bangsa dan negara kita, Indonesia.Teruslah menulis, If... teruslah memberikan rasa indah dan bermakna, teruslah berpuisi, teruslah bersastra.

Klaten, 4 – 5 Maret 2015.
Esti Ismawati
Dosen Pengajaran Sastra Program Pascasarjana UnwidhaKlaten.


Kamis, 05 Maret 2015

Gumam Asa 15



Tubuh, Bukan Ruang Kosong; “ … Hei,
adakah gumam itu, Wahai Tuhanku ?!!! ”
Partikel itu. Aku sebagai jemari memisahkan diri. Aku sebagai kuku berlari menuju sunyi. Aku sebagai bulu melepaskan sepi. Jantung menatap denyut, pengakuan sefasih bening sejernih sunyi dalam tafakur sepi berselimut samadi. Sejarah tentang masing-masing fungsi sejarah masing-masing kehidupan yang terus berlari mencoba jujur kepada diri sendiri. Angin berhembus daun-daun berhenti bercakap kepada diri yang satu kepada diri yang lain. Suara lantang jerit berulang datang. Tulang-tulang terbang sebagai debu namun juga terkepung kepada pulang, rambut-rambut melayang begitu ringan namun juga terkepung dalam perjalanan pulang. Sampai setiap jengkal sejarah menawarkan dari luka sampai kepada tawa tak berkesudahan. Panorama suasana keramaian di tenda-tenda bahkan di sudut-sudut benua yang terselip dalam celah-celah karang lautan dalam, cuaca membongkar setingkat setingkat, berlapis-lapis. Jabat erat. Kabar dari orang yang paling jauh membawa ke daun telinga dengan ujung lidah bergerak dan hanya gerak saja, tanpa suara. Mata kucing bersinar malam gelap, meongnya merambat ke atas udara bertuba. Kucing jantan mencari-cari sang betina. Adakah gumam itu, wahai tuhanku. Anak-anak pun bermain dalam riangnya, panorama kolam renang dengan kecipak gelombang sebagai kumpulan riak-riak kecil membenturkan dinding pembatas kolam kepada engkau yang duduk berjuntai kaki menahan dingin dari gigil sepimu, sendiri memerah mata. Hai, kejutan apa lagi yang kalian tawarkan dalam perhelatan ini. Aku telah lama menahan mimpi agar tidak terkisahkan kepada siapa pun, ternyata tahanku adalah tahan dalam kesia-siaan dan kini pecah bersama derasnya bualan-bualan para pendusta sebagai bagian penyihir yang telah menjelmakan bencana di gunung-gunung di bukit-bukit di tanah-tanah luas di padang-padang rawa di rimba-rimba belantara di hijau-hijau di akar-akar batang sepelukan orang-orang sekampung adakah yang menitikkan air mata di antara para penyihir itu, akh tidak mereka hanya membagi tawa mereka hanya mengirimkan berjuta jenis tawa mereka hanya menciptakan tawa-tawa kepada sanak saudar, dan jiran mereka akan terkepung asap-asap sisa buangan limbah angin yang membawa-bawa. Sungai-sungai dengan kentalnya alirkan kebekuan lumpur dari hulu menuju muara. Bertahan lumpur di ambang batas di laut lepas sulit menerima dengan ketulusan, bahkan jujur saja kalau mampu akan terjadi penolakan sebagai balasan bencana yang datang dengan tidak pernah terduga, isyarat itu tercipta sejak sejarah mampu bercerita. Dan kini sejarah kehilangan daya ucapnya, bahkan ditinggalkan dalam laci-laci debu, tulang pun pulang kehilangan arah. Ini cuaca bergumpal gerimis tak sama dengan rintik hujan dari hari kemarin kurasa, aku berbalik menuju kembali. Ada curiga terhadap terkepungnya di awan menghitam dan gerimis bergumpal, hawa yang tidak lagi bersahabat, banjirkan prasangka bahwa setiap detik terselip belati bencana sekejap saja, gulung bergulung, sekap bersekap, kepung berkepung. Muara menjelma gundukan tanah sebagai tanjung-tanjung pulau dermaga baru dari singgahan kapal-kapal tak berbendera, tiba-tiba. Ya semua datang begitu saja, semua serba tiba-tiba. Lelah bukan sebagai alasan untuk selalu memanjakan, di perjalanan. Paling tidak begitu engkau sampai nanti di seberang sungai itu maka akan diterima dengan sambutan sewajarnya, tidak berlebihan, laporanmu juga tidak mengada-ada dengan berbagai alasan agar terlihat sangat sempurna. Ada cela katakan memang ada cela, ada kendala katakan memang ada kendala. Tak perlu katakan bahwa semua dapat dikendalikan kalau kenyataan lain. Jangan katakan sempurna bila di sana sini masih ada saja kemiskinan masih ada saja kemelaratan masih ada saja kesusahan masih ada saja pembohongan. Wajah tuan guru yang terpampang, wajah tuan guru yang sengaja di pajang, wajah tuan guru yang selalu dalam ingatan, wajah tuan guru yang tak bosan-bosan mengingatkan. Sekelebat matanya menatap tajam seisi ruang. Penghuni rumah melangkah kaki berjalan keluar sementara wajah tuan guru tetaplah bertahan baik dalam ruangan maupun dalam ingatan; bukan ruang kosong. Tak ada beban. Tubuh turut kembali dan segala bentuk pertanyaan akan selalu mampu teruraikan. Dipaparkan. Tanah pijak. Lelaki tersungkur di pembaringan. Lunglai tanpa penutup badan. Kecoa mengajak bicara. Bantal guling tak saling menyapa. Engkau perempuan tengadah mata ke atas berkipas cuaca. Angin berpencar menuju ke hampa udara. Mimpi pun sekuat tenaga melepaskan jerat pengikat dari pikiran-pikiran sebagai beban, hidup tak mungkin duduk-duduk saja. Ada ruang kosong tak bernama ketika benak menjadi tidak hanya sekedar lelap. Mimpi terkepung. Kota yang hamil atas persetubuhan malam itu kini telah memastikan dirinya sebagai ibu dari orang-orang, ibu dari anak-anak pejalan malam, ibu dari bangkai-bangkai batu, ibu dari segala macam serangga dan binatang, ibu dari keresahan setiap sudut kota-kota, ibu dari semua jerit yang selalu saja hadir di setiap persoalan yang menimpa. Sampai penat kucari di mana disimpan suara-suara hening itu, suara-suara sepi itu, suara-suara gaduh itu, suara-suara pikuk itu. Dan wajahmu, wahai ibu, itu bukan sunyi yang hadir ketika belaimu, wahai ibu. Ibu, dia adalah anak yang setia kepada cahaya. Sejauh ini sebatas yang kita ketahui bersama bahwa segala macam demonstrasi itu diakibatkan adanya lorong-lorong buntu untuk menyalurkan muntahan lahar dan lumpur atau pun kandungan potensi yang berada di bawah alam pikir setiap orang atau kelompok orang; dan memperlakukan manusia sebagai manusia adalah hal yang harus selalu digelorakan sebagai perjuangan tanpa kahir sampai ke yang paling sulit untuk dijelaskan karena keberlangsungan tanda-tanda adanya pengekangan, penindasan, pemasungan dan segala macam belenggu pikiran-pikiran serta tindakan-tindakan nyata adalah sebuah gelinding batang-batang kayu di hutan, mengapa tak pernah akan selesai, tetapi terus berjalan sampai ujung tak menemu ujung. Yang menindas tidaklah jauh dari diri sendiri, dari lingkungan, dari pihak-pihak yang bernama kekuasaan. Menguasai diri sendiri agar tidak menjadi penguasa atas diri orang lain adalah sesuatu yang harus selalu menjadi titik sentral sebuah perjuangan. Simbol-simbol yang hadir di pelupuk mata ketika baru saja bangun sepagi buta ketika embun masih dapat dibaca di setiap daun jendela adalah hal yang mampu melunturkan setiap langkah-langkah dari jejak kaki penuh lumpur dan duri-duri yang menancap pada malam-malam sebelumnya hingga sampai petang singga sampai kembali siang sampai berjumpa pula dengan pagi menjelang. Apa yang menjadi tidak mungkin bila memang lorong-lorong keterbukaan itu selalu siap membuka dan dibuka oleh siapa saja walau yang namanya rahasia itu selalu mampu bersemayam di lubuk-lubuk paling dalam walau pada akhirnya. Ruang kosong tak bernama. Sebagaimana mimpi yang terjebak di dalam arus pikiran adakah orang-orang yang saling mengarahkan tuding-tuding mereka ke langit; pengaduan semacam apa bila sudah sampai tak ada lagi yang percaya kepada yang telah dipercaya. Akh, jadi mimpi seketika. Orang-orang mulai menghindar bila sudah ada yang mendekati tujuan demi tujuan, mematahkan ruang kosong dari setiap penciptaan. Belalang pun melentik di kehampaan cuaca mulai pula bertuba, ada yang melibaskan aroma wangi tubuhnya, siapa di mana dan bagaimana. Bulan terang, kepompong ranum dalam genggam. Lelatu menari-nari di ketinggian waktu itu ada yang terbakar di bilik bagian dari jantung sebelah kiri. Engkau turut pula menari di atas jalanan beraspal di tengah terik matahari. Ketika pulang ke rumah kembali menghadapi sepi. Bukankah ada pertanda dari sebuah mimpi bahwa kita jangan lepas dari diri sendiri dan jangan sampai menjadi orang yang selalu dikebiri.

PESONA HAIKU, DARI AFORISMA HINGGA METAFORA

Catatan Kecil Dimas Arika Mihardja*)


“Hai, salam jumpa.”

Begitu salam dan sapaku, “haiku”, kepada Anda pencinta haiku. Tahukah Anda awal tahun 2015 ada peristiwa budaya yang layak dicatat dan diberi tempat? Peristiwa budaya itu terkait lahirnya Newhaiku—sebuah grup facebook yang dimaksudkan memperkenalkan haiku versi Indonesia. Maksudnya? Ya, haiku itu tergolong sajak pendek, padu, padat milik bangsa Jepang. Dan  Newhaiku yang dilahir-hadirkan oleh Kurniawan Junaedhie (KJ) dan Esti Ismawati(EI)—sepasang mempelai sastra Indonesia yang tiada mati ide dan kreativitasnya berusaha menawarkan haiku versi Indonesia, Newhaiku.

Newhaiku, haiku baru versi Indonesia ini diakui atau tidak merupakan upaya membumikan haiku di persada nusantara sebagai satu alternatif pilihan di antara pilihan lainnya: puisi 2koma7 (dua lariktujuh kata) grup yang telah eksis lebih dulu, puisi PADMA 4444 yang dipandegani oleh Imron Tohari, puisi Persagipuisi Sonian, dan lainnya. Kelahiran dan kehadiran genre puisi-puisi ini mengundang dan mengandung kontroversial, pro dan kontra. Namun,grup-grup puisi ini tetap eksis dan diminati banyak orang. Rupanya grup-grup puisi ini selain memberikan tawaran alternatif berekspresi, juga mewadahi interaksi interpersonal di antara anggotanya. Jika grup puisi 2koma7 telah menerbitkan 4 (empat) buku: “Puisi 2koma7Apresiasi dan Kolaborasi”, “Mendaras Cahaya”,” Nyanyian Kafilah”, dan “Jalan Terjal Berliku Menuju-Mu” (semua diterbitkan oleh Bengkel Publisher tahun 2014 dan 2015), kini grup Newhaiku dengan motor Kurniawan Junaedhie dan Esti Ismawati menerbitkan buku ini: “Ayo Menulis Newhaiku: Teori, Aplikasi, dan Apresiasi”.

Hai, sahabat haiku dan pencinta buku,

Saya diminta memberikan apresiasi 100 Newhaiku karya KJ dan 100 Newhaiku karya EI. Saya menawarkan judul apresiasi ini “Pesona Haiku: Dari Aforisma hingga Metafora”. Apresiasi puisi, meminjam istilah S. Effendi merupakan kegiatan menggauli puisi dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta puisi(2002:6). Apakah saya sanggup “menggauli” 200 haiku karya KJ dan EI? Tentu saja saya tidak sanggup, tetapi dalam “mengauli” puisi diperlukan juga teknik amandan nyaman, yakni menangkap momentum puitik, hal-hal yang estetik, dan menggelitik. Hal terakhir, “menggelitik” ini menjadi penting dalam apresiasi. Hal yang saya anggap menggelitik itu ialah pesona haiku. Hal yang memesona haiku—terlebih newhaiku dalam buku ini ialah persoalan aforisma dan metafora.

Dengan sederhana aforisma dapat diberi pengertian sebagai ungkapan puitik, estetik, berisi pemikiran menggelitik yang tampil secara kharismatik. Mungkin berupa ungkapan kearifan, kebijaksanaan, pemikiran dan lebih jauh refleksi filosofis penyair. Hampir mirip dengan aforisma, puisi pendek yang disebut newhaikuini ditandai oleh berkelelebatnya pemakaian metafora. Metafora, dan variannya seperti simile, sinekdoki, personifikasi dan ungkapan kias lainnya menjadikan puisi memiliki daya tarik memantik rangsang tanggap pembaca.

Hai pencinta haiku dan newhaiku,

Yuk sama kita baca newhaiku berikut ini. Saat membaca newhaiku, kita cermati perilaku puisi seperti larik dan pertalian maknanya, makna lugas, pengimajian, pengiasan, pelambangan, makna utuh, nada dan suasana,kemanisan bunyi dan makna ya? KJ menulis newhaiku seperti ini, yuk kita nikmati percik pesonanya :

AJAL

Di pundak kura
Kita beringsut maju
Sampailah ajal.

2015

Haiku “Ajal” dilihat dari perilakunya sungguh memesona, pelan tetapi pasti semua makhluk menuju ajalnya dan perjalanan kubur itu, ajal itu dibandingkan dengan kura-kura, sehingga newhaiku “Ajal” ini tidak membuat pembaca ngeri, melainkan dapat menikmati dan menghikmatinya berdasarkan pemahaman dan penghayatan. Makna lugas, makna kias, perlambangan, makna utuh,dan nada serta suasana puisi ini melahirkan aforisma dan metafora memesona.

KAFILAH

Tak pernah letih
Arungi hari-hari
Seperti kafilah.

2015

Newhaiku “Kafilah” lebih menonjol makna lugas dan kurang mengeksplorasi pengiasan, perlambangkan, akibatnya “pernyataannya” kurang mengekspresikan perilaku puisi yang lazimnya menggunakan ungkapan tidak langsung seperti newhaiku “Ajal”.Newhaiku “Berbatu” berikut ini menampilkan perilaku puisi yang komplit: makna lugas,makna kias, makna utuhnya menampilkan aforisma dan metafora memesona. Yuk sama kita baca:

BERBATU

Hawa dingin
Jalan berbatu
Antar aku ke rumah-Mu.

2015

Newhaiku “Berbatu” mengingatkan saya pada buku “Jalan Terjal dan Berliku Menuju-Mu”—sebuah buku puisi 2,7 yang didedikasikan kepada penyair Diani Noor Cahya yang mendharmabhaktikan hidupnya sebagai admin grup puisi 2koma7 hingga ajal memengekalkan cintanya. Jalan yang ditempuh untuk memjukan sastra, memasyarakatkan puisi, memang penuh batu dan berliku, tetapi jalan puisi itu insha Allah mengantarkannya kepada-Nya, amin. Sebuah Newhaiku KJ yang mengajak memeras air mata haru bertajuk “Ingat Ibu”. Yuk sama menangis haru membaca puisi ini:

INGAT IBU

Menghirup sunyi
Teringat ibu
Neteslah air mata.
2015

Newhaiku “Ingat Ibu”merupakan representasi kerinduan, cinta, kasih sayang yang sakral dan tak mengenal pamrih. Ketika seseorang disergap sunyi, sendiri, lalu teringat padaibu nun jauh di sana, maka wajarlah air mata menetes haru penuh rindu dansendu. Rupanya, newhaiku selain memesona dengan aforismanya, rima dan iramanya, juga dapat tampil dengan kelugasannya seperti “Belajar pada Laut ”berikut:

BELAJAR PADA LAUT

Luas dan dalam
Terima baik buruk
Tetap legowo.

24.02.2015

KJ yang lugas, tidak ingin menceramahi, mendikte, otoriter dalam mendidik dengan lugas ia nyatakan “terima baik buruk/Tetap legowo”. Makna belajar pada lautialah terkait dengan luas dan dalamnya. Keluasan wawasan dan kedalaman penghayatan keilmuan hingga pada akhirnya dapat menerima baik dan buruk secaralegowo. Pada “Pagi Berbinar” KJ mengajak kita memasuki khasanah ambiguitas dengan diksi yang segar dengan mengeksplorasi rima “ar”. Yuk kita nikmati bersama:

PAGI BERBINAR

Pagi berbinar
Hati tergetar-getar
Merasa nanar.

23.02.2015

Newhaiku yang lebih mengekplorasi suasana hati tampil melalui “Bulan Sabit”. Suasana hati itu menjadi karakteristik haiku seperti juga hadirnya lanskap alam. Ayo sama kita nikmati:

BULAN SABIT2

Bulan yang sabit
Bikin hati merindu
Saat sendiri.

2015

BULAN SABIT3

Rembulan sabit
Kobarkan rasa rindu.
Nyala di mimpi

2015

BULAN SABIT4

Dibening kolam
Kita, dan bulan sabit
Pantulkan rasa damai.

2015

Filosofi “Dimana Bumi Dipijak Di sana Langit Dijunjung” meronai newhaiku KJ berikut ini. Cermati metafora dan aforisma yang memesona:

JALAN 

Sudah menghilang
Bersama angin lalu
Jalan berpintu.

2015

KERING 

Sudah terlanjur
Lewati persimpangan
Kering air mata.

2015

TAK SAMAR

Cinta yang kekal
Slalu berpendar-pendar
Tak pernah samar.

23.02.2015

MUSNAH

Kubilas kata
Rindu kusaring
Keraguan pun musnah.

20.02.2015

BERANI

Menatap langit
Cintai bumi
Hidup harus berani.

20.02.2015

Newhaiku yang ditulis KJ rata-rata memesona oleh adanya aforisma dan metafora. Masuknya aforisma dan metafora pada newhaiku merupakan upaya kreatif memberikan sentuhan estetis dan filosofis dalam perkembangan seni puisi haiku. Itulah sebabnya lalu disebut newhaiku. Haiku yang diberi ruh dan sentuhan baru. Bagaimana kreasi EI terkait newhaiku? Berikut ini saya turunkan beberapa karyanya.

Newhaiku Esti Ismawati yang istimewa dapat kita baca, di antaranya:

BERSEMBUNYI

di ufuk barat
cahaya gelap pekat
bulan sembunyi

28-02-15

Pada “Bersembunyi” EI mengeksplorasi menanisan bunyi “at” dan mengeksekusi kesan perasaannya pada larik terakhir “bulan tersembunyi”. “Di ufuk barat/ cahaya gelap pekat” Ini selain memiliki makna lugas juga bermakna kias “Negara-negaraBarat” mengalami kegelapan syariat. Sebagai wanita penyair, akademisi yang telah bergelar hajah, ia menyampaikan “Pesan” secara halus, tersamar, danelegan: “tolong sampaikan/pada bunga flamboyant/jangan jatuh”. Saat seseorang mendapat kedudukan, posisi, peran elegan, diberi pesan “jangan jatuh”.

PESAN

tolong sampaikan
pada bunga flamboyan
jangan terjatuh

28-02-15

Pada puisi “Doa” EI mengorbankan bahasa demi tercukupinya jumlah suku kata haiku yang berpola 5-7-5, akibatnya kata “selamat” ditulisnya dengan sengaja “slamat” sebagai bentuk licentia poetica—kebebasan penyair menggunakan bahasanya secarasadar. Saya selaku pembaca benar-benar dapat menangkap keindahan cinta pada puisi “Indah” berikut:

INDAH 

menyelam aku
ke dalam palung hati
indah cintamu

28-02-15

Pada “Singa Tua” saya teringat KJ. Newhaiku EI ini sepertinya didedikasikan pada KJ yang dimetaforakan sebagai singa tua yang tak kenal lelah, mengaum dalam sunyi,torehkan karya.

SINGA TUA

tak kenal lelah
mengaum dalam sunyi
torehkan karya....
28-02-15

Membaca newhaiku karya EI terasa “Damai” sebab ditulis secara “Ikhlas”. Sama kita simakkedamaian dan keikhlasan itu.

DAMAI

hati tenteram
pikiran sejuk tenang
alam tafakur

Klaten, 20-02-15

IKHLAS

di unggun malam
sepotong senyum
hangatkan jiwa raga

Klaten,20-02-15

Hal yang menarik, seperti dilakukan oleh penyair sebelumnya seperti Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG, EI memaswukkan dunia pewayangan dalam newhaiku. Di “Kurusetra” seperti Mahabarata—merupakan medan laga antara kebenaran, kejujuran, kebaikan, dan keserahanan, ambisi, nafsu berkuasa.Ungkapan right or wrong my country, menjadi terkenal dari mulut “Radeen Kumbukarno”—seorngraksanaa berjiwa kesatria yang gigih bela Negara. Kita diperkenalkan dengan“Raden Puntadewa” raja Amarta yang dikenal berdarah putih, jujur, dan tidak mauberbohong.

KURUSETRA

di medan laga
hitam putih berperang
demi martabat

Klaten,20-02-15

RADEN KUMBAKARNO

semboyan hidup
'baik buruk negriku'
kan ku bela

Klaten,20-02-15

RADEN PUNTADEWA

tubuhnya putih
hati dan pikir bersih
langkahpun lurus

Klaten,20-02-15

Membaca newhaiku karya KJ dan EI ada beberapa catatan kecil sebagai berikut. Pertama, makna lugas dipakai oleh KJ dan EI dalam newhaiku. Makna lugas inilah yangpertama-tama dipahami oleh pembaca. Pembaca harus memahami makna lugas ini untuk memahami makna utuh newhaiku. Kedua, penggunaan kata kongkret dan khas serta penataan kata-kata itu dalam tiga larik newhaiku sedemikian rupa sehingga menggugah timbulnya imaji disebut pengimajian atau pencitraan. Ketiga,pengiasan dalam newhaiku merupakan penggunaan kata atau ungkapan dalam sajak demikian rupa sehingga timbul makna kias yang dapat memperkongkret,memperlengkap, mempercermaat, dan memperkhas imaji sesuatu yang diungkapkan dalam sajak, yang hasilnya berupa aforisma atau metafora yang memesona. Keempat, oleh karena newhaiku tergolong puisi pendek, padu, padat, maka diperlukan perlambangan. Perlambangan adalah penggunaan kata atau ungkapan dalam sajak sedemikian rupa sehingga timbul makna lambang yang dapat  memperkongkret, memperlengkap, mempercermat, dan memperkhas imaji sesustu yang diungkapkan dalam sajak. Kelima, makna utuh newhaiku dapat dipahami, dihayati dan diapresiasi apabila makna tersurat dantersirat memiliki hubungan yang terjelma karwna adanya  hubungan saling menentukan antara pengimajian, pengiasan, dan pelambangan.

Haisobat newhaiku,

Makna keseluruhan sebuah sajak pada hakikatnya adalah sebuah pengalaman penyair,pengalaman indra maupun pengalaman nalar, yang diungkapkan dengan bahasa yang khas (dengan pengimajian, pengiasan, pelambanan) sehingga pengalaman itu hadir utuh-menyeluruh pada sajak yang dapat ditangkap oleh pembaca sebagai sesuatu yang kongkret, padat, dank has serta sugestif atau menggugah nalar dan batin pembaca. Keseimbangan antara perasaan nikmat dan perenungan perlu tetapterpelihara ketika kita membaca dan berusaha memahami makna utuh sebuah newhaiku.

Sampai di sini, Anda telah secara aktif dan intensif berusaha menyelami dan mengapresiasi newhaiku karya KJ dan EI untuk memahami makna lugas, kias, lambang, sesuai dengan perilaku penampilan newhaiku. Newhaiku dengan nada yangtersurat dan terang-terangan mengajari biasanya tidak bias meyakinkan bahwa ajarannya itu benar. Newhaiku dengan nada tersirat dan tidak mengajari pembaca dapat meyakinkan kita selaku pembaca. Kita selaku pembaca tahu, pelambangan atau pengiasan yang tidak tepat dapat mengaburkan makna utuh newhaiku, dan dapat menghilangkan kemaampuan nada dan suasana newhaiku mengugah hati pembaca.Pengiasan atau pelambangan yang tepat dapat mengungkapkan makna yang jelas dan menjelmakan nada serta suasana  newhaikuyang menggugah hati pembaca serta memesonanya. Terakhir, penggunaan kata-kata abstrak dan muluk dalam newhaiku dapat menggagahkan nada dan suasana. Kegagahan biasanya tidak meyakinkan pembaca, ridak menggugah atau memikat. Sebaliknya,pengunaan kata-kata sederhana dan kongkret dalam newhaiku dapat mewajarkan nadadan suasana. Kewajaran biasanya meyakinkan pembaca, mengugah dan memikat.Newhaiku—seperti haiku asli Jepang sangat menonjolkan nada dan suasana.

SalamBudaya

Dimas Arika Mihardja
Penyair, akademisi, pencinta budaya