Kamis, 05 Maret 2015

Gumam Asa 15



Tubuh, Bukan Ruang Kosong; “ … Hei,
adakah gumam itu, Wahai Tuhanku ?!!! ”
Partikel itu. Aku sebagai jemari memisahkan diri. Aku sebagai kuku berlari menuju sunyi. Aku sebagai bulu melepaskan sepi. Jantung menatap denyut, pengakuan sefasih bening sejernih sunyi dalam tafakur sepi berselimut samadi. Sejarah tentang masing-masing fungsi sejarah masing-masing kehidupan yang terus berlari mencoba jujur kepada diri sendiri. Angin berhembus daun-daun berhenti bercakap kepada diri yang satu kepada diri yang lain. Suara lantang jerit berulang datang. Tulang-tulang terbang sebagai debu namun juga terkepung kepada pulang, rambut-rambut melayang begitu ringan namun juga terkepung dalam perjalanan pulang. Sampai setiap jengkal sejarah menawarkan dari luka sampai kepada tawa tak berkesudahan. Panorama suasana keramaian di tenda-tenda bahkan di sudut-sudut benua yang terselip dalam celah-celah karang lautan dalam, cuaca membongkar setingkat setingkat, berlapis-lapis. Jabat erat. Kabar dari orang yang paling jauh membawa ke daun telinga dengan ujung lidah bergerak dan hanya gerak saja, tanpa suara. Mata kucing bersinar malam gelap, meongnya merambat ke atas udara bertuba. Kucing jantan mencari-cari sang betina. Adakah gumam itu, wahai tuhanku. Anak-anak pun bermain dalam riangnya, panorama kolam renang dengan kecipak gelombang sebagai kumpulan riak-riak kecil membenturkan dinding pembatas kolam kepada engkau yang duduk berjuntai kaki menahan dingin dari gigil sepimu, sendiri memerah mata. Hai, kejutan apa lagi yang kalian tawarkan dalam perhelatan ini. Aku telah lama menahan mimpi agar tidak terkisahkan kepada siapa pun, ternyata tahanku adalah tahan dalam kesia-siaan dan kini pecah bersama derasnya bualan-bualan para pendusta sebagai bagian penyihir yang telah menjelmakan bencana di gunung-gunung di bukit-bukit di tanah-tanah luas di padang-padang rawa di rimba-rimba belantara di hijau-hijau di akar-akar batang sepelukan orang-orang sekampung adakah yang menitikkan air mata di antara para penyihir itu, akh tidak mereka hanya membagi tawa mereka hanya mengirimkan berjuta jenis tawa mereka hanya menciptakan tawa-tawa kepada sanak saudar, dan jiran mereka akan terkepung asap-asap sisa buangan limbah angin yang membawa-bawa. Sungai-sungai dengan kentalnya alirkan kebekuan lumpur dari hulu menuju muara. Bertahan lumpur di ambang batas di laut lepas sulit menerima dengan ketulusan, bahkan jujur saja kalau mampu akan terjadi penolakan sebagai balasan bencana yang datang dengan tidak pernah terduga, isyarat itu tercipta sejak sejarah mampu bercerita. Dan kini sejarah kehilangan daya ucapnya, bahkan ditinggalkan dalam laci-laci debu, tulang pun pulang kehilangan arah. Ini cuaca bergumpal gerimis tak sama dengan rintik hujan dari hari kemarin kurasa, aku berbalik menuju kembali. Ada curiga terhadap terkepungnya di awan menghitam dan gerimis bergumpal, hawa yang tidak lagi bersahabat, banjirkan prasangka bahwa setiap detik terselip belati bencana sekejap saja, gulung bergulung, sekap bersekap, kepung berkepung. Muara menjelma gundukan tanah sebagai tanjung-tanjung pulau dermaga baru dari singgahan kapal-kapal tak berbendera, tiba-tiba. Ya semua datang begitu saja, semua serba tiba-tiba. Lelah bukan sebagai alasan untuk selalu memanjakan, di perjalanan. Paling tidak begitu engkau sampai nanti di seberang sungai itu maka akan diterima dengan sambutan sewajarnya, tidak berlebihan, laporanmu juga tidak mengada-ada dengan berbagai alasan agar terlihat sangat sempurna. Ada cela katakan memang ada cela, ada kendala katakan memang ada kendala. Tak perlu katakan bahwa semua dapat dikendalikan kalau kenyataan lain. Jangan katakan sempurna bila di sana sini masih ada saja kemiskinan masih ada saja kemelaratan masih ada saja kesusahan masih ada saja pembohongan. Wajah tuan guru yang terpampang, wajah tuan guru yang sengaja di pajang, wajah tuan guru yang selalu dalam ingatan, wajah tuan guru yang tak bosan-bosan mengingatkan. Sekelebat matanya menatap tajam seisi ruang. Penghuni rumah melangkah kaki berjalan keluar sementara wajah tuan guru tetaplah bertahan baik dalam ruangan maupun dalam ingatan; bukan ruang kosong. Tak ada beban. Tubuh turut kembali dan segala bentuk pertanyaan akan selalu mampu teruraikan. Dipaparkan. Tanah pijak. Lelaki tersungkur di pembaringan. Lunglai tanpa penutup badan. Kecoa mengajak bicara. Bantal guling tak saling menyapa. Engkau perempuan tengadah mata ke atas berkipas cuaca. Angin berpencar menuju ke hampa udara. Mimpi pun sekuat tenaga melepaskan jerat pengikat dari pikiran-pikiran sebagai beban, hidup tak mungkin duduk-duduk saja. Ada ruang kosong tak bernama ketika benak menjadi tidak hanya sekedar lelap. Mimpi terkepung. Kota yang hamil atas persetubuhan malam itu kini telah memastikan dirinya sebagai ibu dari orang-orang, ibu dari anak-anak pejalan malam, ibu dari bangkai-bangkai batu, ibu dari segala macam serangga dan binatang, ibu dari keresahan setiap sudut kota-kota, ibu dari semua jerit yang selalu saja hadir di setiap persoalan yang menimpa. Sampai penat kucari di mana disimpan suara-suara hening itu, suara-suara sepi itu, suara-suara gaduh itu, suara-suara pikuk itu. Dan wajahmu, wahai ibu, itu bukan sunyi yang hadir ketika belaimu, wahai ibu. Ibu, dia adalah anak yang setia kepada cahaya. Sejauh ini sebatas yang kita ketahui bersama bahwa segala macam demonstrasi itu diakibatkan adanya lorong-lorong buntu untuk menyalurkan muntahan lahar dan lumpur atau pun kandungan potensi yang berada di bawah alam pikir setiap orang atau kelompok orang; dan memperlakukan manusia sebagai manusia adalah hal yang harus selalu digelorakan sebagai perjuangan tanpa kahir sampai ke yang paling sulit untuk dijelaskan karena keberlangsungan tanda-tanda adanya pengekangan, penindasan, pemasungan dan segala macam belenggu pikiran-pikiran serta tindakan-tindakan nyata adalah sebuah gelinding batang-batang kayu di hutan, mengapa tak pernah akan selesai, tetapi terus berjalan sampai ujung tak menemu ujung. Yang menindas tidaklah jauh dari diri sendiri, dari lingkungan, dari pihak-pihak yang bernama kekuasaan. Menguasai diri sendiri agar tidak menjadi penguasa atas diri orang lain adalah sesuatu yang harus selalu menjadi titik sentral sebuah perjuangan. Simbol-simbol yang hadir di pelupuk mata ketika baru saja bangun sepagi buta ketika embun masih dapat dibaca di setiap daun jendela adalah hal yang mampu melunturkan setiap langkah-langkah dari jejak kaki penuh lumpur dan duri-duri yang menancap pada malam-malam sebelumnya hingga sampai petang singga sampai kembali siang sampai berjumpa pula dengan pagi menjelang. Apa yang menjadi tidak mungkin bila memang lorong-lorong keterbukaan itu selalu siap membuka dan dibuka oleh siapa saja walau yang namanya rahasia itu selalu mampu bersemayam di lubuk-lubuk paling dalam walau pada akhirnya. Ruang kosong tak bernama. Sebagaimana mimpi yang terjebak di dalam arus pikiran adakah orang-orang yang saling mengarahkan tuding-tuding mereka ke langit; pengaduan semacam apa bila sudah sampai tak ada lagi yang percaya kepada yang telah dipercaya. Akh, jadi mimpi seketika. Orang-orang mulai menghindar bila sudah ada yang mendekati tujuan demi tujuan, mematahkan ruang kosong dari setiap penciptaan. Belalang pun melentik di kehampaan cuaca mulai pula bertuba, ada yang melibaskan aroma wangi tubuhnya, siapa di mana dan bagaimana. Bulan terang, kepompong ranum dalam genggam. Lelatu menari-nari di ketinggian waktu itu ada yang terbakar di bilik bagian dari jantung sebelah kiri. Engkau turut pula menari di atas jalanan beraspal di tengah terik matahari. Ketika pulang ke rumah kembali menghadapi sepi. Bukankah ada pertanda dari sebuah mimpi bahwa kita jangan lepas dari diri sendiri dan jangan sampai menjadi orang yang selalu dikebiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!