Pagi itu, matahari masih memanjangkan bayang-bayang. Aku tak sedang menuang secangkir kisah pagi yang manis ataupun mengunyah sepotong muffin. Tapi aku berencana menikmati angin Teluk Wondama karena telah beberapa hari ini aku ingin ke sana.
Namun, tiket manis datang. Tiket ke tanah Borneo! Ya, Borneo, aku telah lama mengagumi nama itu. Sejak pertama kali kudengar beberapa tahun lalu. Maka, hanya sedikit berkemas saja, aku menuju ke sana.
Sebenarnya bukan tanpa tujuan juga aku ke Borneo. Ada sebuah nama yang ingin aku temui di sana. SELIA.
“Selia, sudikah, jika tanganmu yang bagai kelemayar kugandengan mesra?” baru saja aku menjejakkan kakiku di laluan retak, ketika kudengar rayuan manis itu. Namun aku tak menemukan pemilik suara itu, juga sosok Selia. Aku mencoba mengejar Selia dengan menyusuri tanah-tanah huma, riak sungai dan gambut legam.
“Selia belum datang, dia masih menari dan menenggak anggur wangi di kursi sutera megahnya”
Aku diam, terus melangkah tanpa kata. Kutemui satu persatu jejak Selia. Tentang Perahu Layarnya yang belum usai di Ujung Daratan yang menyisakan Luka pada Malam. Aku juga melihat Kucing Kuning yang riuh ramai di antara Bulan Bumi. Serta Cela di Ujung Daun pada Pohon Tandus di Senja yang Merah Saga.
Lalu aku mempercepat langkahku pada jalan-jalan yang bergenang luka. Sekilas kulihat bayangan Lelaki Senja, tapi Mungkin hanya Selaku Burung di Pucuk Cemara. Aku terus mengejar jejak Selia hingga sampai pada Sebuah Cerita dari Sebuah Memory yang membawaku menaiki bus trans Kalimantan yang meraung-raung. Menyusuri pertunjukan yang membuat dadaku sesak.
Ketika matahari telah berada di atas ubun-ubun, aku tersentak saat kutemukan Fenomena Ujung, Runduk, terlebih Pisau Tanpa Mata di Kepala. Aku bergumam lirih, kudengar bisikan Ada Cinta di Hatinya Yang menggores Kabut. Mungkin Di Balik Tubuhnya yang Temaram, atau hanya pada Selembar Daun Michelia Alba. Dan hatiku seperti tersayat ketika kutemui Lubang Luka yang Menganga
Kuusap peluhku dengan sapu tangan merah dari Selia. Aku singgah sebentar di Kotabaru. Namun aku segera bergegas menuju Ibu Kota di Ujung Tanah,Marabahan. Sejauh apapun aku mengejar Selia, tapi aku tak ingin melewatkan jembatan Rumpiang yang katanya mirip Harbour Bridge itu. “Waw, keren, keren banget!” aku bersorak riang seperti anak kecil yang melihat mainan. Beberapa saat aku bersandar pada jembatan, melihat sungai Barito yang luas dan pohon hijau di sepanjang bibirnya, juga kapal-kapal pengangkut batu bara.
“Selia, Tanah ini Basah, tapi Kering.” Aku tersentak. Itu suara perayu Selia. Aku kembali berkemas agar tak tertinggal jejak Selia. Sekilas kudengar bahwa akan ditaruh patung Nasalis larvatus di tengah kota. Namun aku tak sempat bertanya. Aku segera menaiki kapal yang tiba-tiba membawaku ke Muara tungkal.
“Hari telah senja, di manakah kau, Selia?” aku bergumam lirih
“Aku di sini, Brin.” Reflek aku menoleh ke arah suara merdu itu. Dan kulihat Selia tersenyum manis di sana. Di atas pucuk cemara yang megah.
***
Huaa, luar biasa! Satu nama, Selia, tokoh manis yang diciptakan Mahmud Jauhari Ali ini telah membawaku berkeliling di tanah Borneo, bahkan terakhir melemparku ke Muara Tungkal di Jambi. Aku tak hendak memuji, aku juga tak bisa mengulas puisi. Tapi bagiku buku ini sangat sayang untuk dilewatkan oleh penikmat puisi, ataupun yang sedang belajar menulis puisi.
Kalau pak Isbedy Setiawan ZS mengatakan,”seperti Ebit G Ade yang ‘memiliki’ Camelia, maka Mahmud Jauhari Ali ‘mempunyai’ Selia.” Lalu Pak Dimas Arika Miharja mengatakan bahwa puisi-puisi Mahmud Jauhari Ali, dengan meminjam istilah Chairil Anwar, “Layak di catat dan mendapat tempat!”
“Selamat ya, Mahmud, atas terbitnya Selia, seperti kata mbak Hana Franssisca, bahwa Selia dalam puisi-puisimu telah menjelma keindahan pedih yang pantas untuk direnungkan.” :)
oleh Shabrina WS
Gadingkirana, 031-231119211
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!