Jum`at tanggal 9 September saya transfer uang sejumlah Rp.50.000 untuk pembelian buku yang berjudul Lelaki Lebah, karya Adinda Mahmud Jauhari Ali. Kemudian saya konfermasi ke penulis melalui inbox fb, dijawab buku baru bisa dikirim paling lambat hari Rabu tanggal 14 September. Sampai saatnya, saya diberi tahu bahwa buku sudah dikirim. Ya tinggal menunggu kehadirannya, hehe. Seperti gimana gitu, soalnya penasaran.
Malam Jumat saya dapat informasi dari Mahmud bahwa pengiriman sudah di cek lewat Pos online, katanya buku sudah sampai di kantor pos Amuntai, tapi belum dikirim ke alamat pemesan. Siangnya Jumat, 23 September 2011, saya ke kantor pos Amuntai untuk mengambil kiriman tersebut. Ternyata benar, barang sudah ada. Saya tanda tangani surat tanda terima barang, dan kiriman itu pun sudah berpindah ketangan saya.
Repot juga kalau kita mencantumkan alamat rumah, kalau tidak cukup dikenal. Sebenarnya, sebelumnya mestinya jadi pelajaran, ketika saya memesan buku karya saya sendiri Mudah Menulis Cerpen dialamatkan ke rumah, ternyata pihak jasa pengiriman kesulitan mencari alamat saya, untung saja di pihak pengirim mencantumkan no. HP saya di paket tersebut, sehingga mereka dengan mudah menghubungi saya. dan mereka menanyakan alamat rumah saya. Namun, kebetulan mereka masih berada di Alabio, ya, langsung saja saya meminta agar paket itu diantar ke tempat kerja saya saja, Ponpes Darul Ulum Amuntai.
Mengingat hal tersebut saya konfermasi lagi ke Mahmud Jauhari kalau mengirim buku ke alamat Ponpes Darul Ulum saja, ih ternyata ia sudah mengirim ke alamat rumah. Begitu ceritanya.
O, iya, mengapa saya kepincut memesan buku karya Adinda Mahmud ini? Pertama saya ingin lebih mengenalnya melalui karyanya. Kedua, karena ia orang banua. Saya bangga sekali ada penulis-penulis asal Kalimantan. Artinya oh ada juga anak Kalimantan yang membuat novel, begitu. Ketiga, siapa tahu dengan banyak membaca novel, siapa tahu suatu saat saya juga bisa menulis novel, begitu. Bermimpi dula ahh, Hehehe.
Membaca novel Lelaki Lebah ini, saya menebak-nebak, ini Mahmud banget ya?. Ih memang di kover novel ini tertulis, Sebuah novel yang terinspirasi dari kisah nyata. Kisah nyata siapa? Mungkin kisah nyata penulisnya sendiri.
Membaca novel ini, ada kebanggaan tersendiri bagi saya. Dengan novel ini penulis berhasil memperkenalkan potensi daerah, dari tempat wisata sampai hazanah budaya terutama bahasa daerah Kalimantan, Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Bakumpai, seperti kuman helo. Novel ini dibangun Dengan latar Banjarmasin dan Palangkaraya, tanpa harus menutupi kenyataan bahwa Kalsel dan Kalteng sebagai penyumbang asap.
Dari awal cerita, cerita mengalir begitu tenang. Sang tokoh sangat beruntung. Disaat sahabatnya seorang gadis, teman sekantornya memendam cinta kepadanya, namun Hafiz justru tidak mencintainya dan mencintai gadis lain yang tidak lain adalah teman dari teman sekantornya itu. Beruntung tidak ada dendam dari sahabatnya. Ini yang saya maksud sang tokoh dikelilingi orang baik.
Semua itu adalah buah dari kebaikan yang ditanam tokoh sendiri. Hal ini jelas tergambar dari analogi lebah yang mendidikasikan dirinya sebagai makhluk yang sangat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Kalau ia berada di ranting yang rapuh sekalipun, tidak akan mematahkan ranting tersebut. Yang diambilnya yang baik dan yang ditinggalnya pun sesuatu yang baik pula, plus banyak memberikan manfaat buat orang lain.
Menariknya novel ini terletak pada liku-liku perjuangan sang tokoh, sebagai anak perantauan. Liku-liku sebagai penulis dan sekaligus sebagai pengemban tugas negara, ia rela berjauhan dengan orang tua satu-satunya, ayahnya yang menderita strok, bahkan belakangan ayahnya terkena usus buntu. Di saat-saat seperti itulah sang tokoh memerlukan pertolongan. Tidak salah, pertolongan pun datang dari berbagai pihak, itulah buah dari kebaikan sang tokoh selama ini. Siapa yang menanam kebaikan, ia pun pasti menuai kebaikan. Barangkali inilah pesan yang bisa saya tangkap dari novel ini.
Menyinggung soal cinta, novel ini menyajikan cinta yang berlandaskan syariah. Artinya tidak ada istilah pacaran dalam kamus cinta sang tokoh. Ini juga yang ingin diapungkan penulis di saat orang-orang mendewakan pergaulan bebas. Artinya masih ada orang yang mengagungkan cinta yang berlandaskan kesucian dan keagungan syariah. Intinya kembali pada keimanan.
Novel ini awalnya memang mengalir perlahan, ibarat bahtera berlayar tanpa hambatan. Namun, ketika berada di tengah lautan, ternyata ada badai yang begitu dakhsyat menyerang batin sang tokoh. Coba saja bayangkan, di saat impian cinta yang menggelora, disaat cinta akan berbalas di jenjang lamaran, sang tokoh harus menerima kenyataan bahwa gadis yang dicintainya tidak lah seperti yang ia hayalkan selama ini. Keputusan apa yang diambil sang tokoh? Di sinilah pembaca akan tersentak, sekaligus kagum dengan sang tokoh. Penulis berhasil memberikan kejutan-kejutan pada pembaca. Apa kira-kira yang terjadi dengan gadis yang dicintai sang tokoh? Penasaran? Silakan baca dan miliki novel Lelaki Lebah ini. Buku bisa dipesan langsung pada penulisnya ya. Di akun fb Mahmud Jauhari Ali Full, atau langsung ke nomor HPnya, 087815594940.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!