Oleh : Ali Syamsudin Arsi
Berharap agar sebuah evaluasi akan mampu menayangkan harapan-harapan cerdas untuk segala sesuatu, – untuk yang telah dilakukan dan sebagai bagian untuk yang akan dilaksanakan – tidaklah berlebihan apabila semua orang memperhatikan materi-materi evaluasi itu sendiri.
Beberapa agenda dalam Aruh Sastra perlu ditinjau kembali, dibahas, dikritisi, ujung-ujungnya ada yang dapat dipertahankan dan ada kemungkinan dihilangkan. Menurut saya Festival Pergelaran Sastra itu perlu dibahas ulang karena dari segi pembiayaan ternyata sangat besar dan itu dapat dialihkan kepada agenda lain yang lebih bernuansa sastra.
Burhanuddin Soebly mencoba ‘membuka dialog’ tentang ini, ia merasa ada yang lain dalam Festival Pagelaran Sastra, katanya kurang lebih demikian menurut tafsiran saya,”Apakah kita selalu menyaksikan Aruh Sastra menjadi ajang “Teater” ?.” (Atau boleh jadi nanti yang tampil adalah para penyanyi, para penari bahkan para badut dengan nuansa lawakannya, ini semua berkaitan dengan fokus tampilan di atas pentas). Hati saya digelitik dengan pernyataan itu, dan setelah dipikir-pikir benar juga adanya. Semula ajang festival itu bermaksud agar sastra dapat menerobos keluar dan menjadi tontonan masyarakat luas. Saya lalu berpikir sepakat memodifikasi – baik dari sisi pembiayaan maupun untuk segi tontonan – dengan ‘rancang ulang’, begini: Festival Pergelaran Sastra kini kita upayakan sebagai ruang tampil bagi para sastrawan. Konsep yang ditawarkan boleh saja beragam nantinya, mereka yang tampil adalah para orang-orang pilihan dan akan mendapatkan ‘honor tampil’. Kita banyak memiliki penampil handal dalam pembacaan puisi, pun untuk pembacaan cerpen, pembacaan syair. Para penampil pilihan tentu saja jauh-jauh waktu telah dikontak oleh panitia dan disepakati untuk mempersiapkan penampilannya, misalnya 1 atau 2 bulan sebelumnya sudah ditawarkan kepada mereka bentuk kerja sama. Dalam referensi saya ada nama: Burhanuddin Soebly, Micky Hidayat, Rudi Karno, Y.S. Agus Suseno, Yadi Muryadi, Abdus Syukur, Isuur Loeweng sebagai pembaca puisi handal dan bila diberikan kesempatan untuk tampil maksimal maka panitia tidak akan keberatan memberikan ‘honor tampil’ itu kepada mereka.
Kita pun memahami, biasanya dalam ajang ini akan banyak datang mendaftar para pembaca yang menganggap dirinya ‘handal, mantap dan memukau’, tetapi sekali lagi, penilaian untuk itu kita serahkan kepada publik secara luas dan terbuka atau kita serahkan kepada beberapa orang sebagai tim penilai. Kepada yang tidak terpilih maka harus menerima kenyataan bahwa untuk saat itu ia belum mendapat tempat, tetapi akan lebih baik untuk mengasah kemampuannya agar menjadi yang terpilih. Atau ada perkecualian bagi penampil-penampil tertentu dengan alasan tertentu, dan ini haruslah dalam jumlah yang sangat terbatas. Yang jelas dalam setiap perayaan Aruh Sastra menjadi wajib ruang tampil para sastrawan, baik dalam format sendiri-sendiri maupun berkelompok dan ada ‘honor tampilnya’. Besaran honor tampil itu boleh saja berkisar Rp. 250.000,- sampai pada Rp. 1.000.000,- mengapa tidak (?). Honor itu sangat positif dan di masa sekarang memang diperlukan terbuka dan biasa-biasa saja.
Berikutnya kita lihat agenda Safari Sastrawan ke Sekolah-sekolah. Agenda ini jelas masih perlu dipertahankan bahkan dikembangkan lebih jauh lagi, mungkin masalah waktu diperpanjang dengan menambah ruang diskusi khusus, setelah para sastrawan menyebar maka perlu didengar laporan masing-masing baik dari pihak sekolah, guru bahkan siswanya sendiri. Semua mengacu kepada peningkatan dan ketercapaian tujuan, apa yang masih kurang dan apa yang perlu ditingkatkan lagi. Safari Sastrawan ini tentu saja akan semakin menggairahkan bagi para sastrawan, guru-guru, siswa-siswa bahkan bagi kepala sekolahnya masing-masing. Dinas Pendidikan selayaknya mengapresiasi agenda ini sebagai dasar yang kuat bagi motivasi minat baca, memperkenalkan para sastrawan, menayangkan banyak karya, motivasi menulis bagi siswa. Semoga Dinas Pendidikan memandang aktifitas ini bukan sebagai agenda yang biasa-biasa saja karena ini adalah sesuatu yang sangat luar biasa.
Penerbitan buku. Berharap agar penerbitan buku bukan sekedar menerbitkan saja, tetapi dibicarakan secara khusus; didiskusikan, diseminarkan. Semisal pada buku puisi berupa hasil dari sumbangan para sastrawan se-Kalsel. Buku ini dirancang lebih awal, diterbitkan 3 bulan sebelumnya. Kemudian buku dikirim kepada calon pembicara atau narasumber (baik pembicara dari Kalsel atau juga pembicara di luar Kalsel) maka ketika diseminarkan buku ini akan menjadi ajang pembicaraan, kuat dan mendalam sesuai dari sisi mana kupasan yang diinginkan. Boleh dari sisi teknik penulisan, dari sisi kekuatan tema, motivasi atau bahkan isu hangat kesastraan. Dari diskusi itu akan terbaca kecenderungan apa yang terjadi pada sastra dan kesastraan di banua kita ini. Begitu pula bila ada buku cerpen, ada buku novel dan seterusnya.
Selanjutnya kemungkinan pihak sponsor yang bersedia masuk di arena Aruh Sastra. Festival Pagelaran Sastra dan Safari Sastrawan ke Sekolah-sekolah adalah agenda yang sebenarnya dapat dilirik oleh pihak swasta/sponsor, juga agenda seminar. Nah, penjajakan untuk ini akan membuka paparan yang lebih kuat agar Aruh Sastra secara pelan dan bertahap memulai keberlangsungan acaranya dengan biaya dari upayanya sendiri, sebab diharapkan tidak melulu menopang pada bantuan pemerintah. Pelan dan bertahap, karena untuk saat ini masih terlalu dini, tetapi sekecil apapun dicoba semampunya. Selain pihak swasta tentu saja kepada beberapa instansi pemerintah dapat masuk di ajang ini.
Dewan Sastra Kalimantan Selatan
Dewan Sastra Kalimantan Selatan sebagai lembaga advokasi dan konsultasi keberlangsungan agenda Aruh Sastra di Kalimantan Selatan diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam ruang lingkup Aruh Sastra. Setahu saya ada dugaan plagiat pada beberapa karya sastra, baik sebagai materi lomba maupun bukan dalam materi lomba yang ada di ajang Aruh Sastra. Siapa yang akan memberikan ‘putusan’, karena hal ini bila dibiarkan terus-menerus terjadi maka akan sangat mengganggu Aruh Sastra itu sendiri. Boleh jadi dari ‘putusan’ yang sifatnya intern mampu memberikan kekuatan bahwa karya itu bermasalah atau tidak bermasalah. Tentu saja tata-cara untuk mengambil ‘keputusan’ itu harus dimatangkan konsepnya oleh Dewan Sastra sendiri. Bagaimana nasib para juara ketika mereka tidak mendapatkan hak-juaranya. Kemana mengadukan setiap usulan, setiap gagasan, setiap ide-ide cerdas, yang mengarah kepada suksesnya sebuah Aruh Sastra dilaksanakan. Bahkan ketika rekomendasi itu tegelontorkan kemana dan bagaimana mengawalnya. Apakah hanya diserahkan begitu saja kepada yang bersangkutan, ya kalau surat itu sampai, bagaimana bila surat itu hanya tergeletak di bibir bak sampah. Rekomendasi Aruh Sastra adalah sebuah pergulatan yang jangan diabaikan begitu saja. Proses pemikiran yang tertuang di dalamnya adalah suara kuat dari perjalanan hidup para pelakunya dan ia menjadi sangat penting, serta bukan dihasilkan dalam bentuk bermain-main. Bahkan ia boleh jadi menuju sakral dan terpuji. Bila ada satu kalimat terbaca bahwa ‘rekomendasi itu disampaikan kepada Yang Terhormat Bapak Gubernur Kalimantan Selatan’ maka pertanyaannya adalah, melihat langsungkah Bapak Gubernur Kalimantan Selatan tersebut, membaca langsungkah ia, memahamikah ia, adakah pemikirannya untuk sesegera mungkin melakukan strategi, melakukan langkah-langkah positif terhadapnya. Selama ini pernahkah Bapak Gubernur Kalimantan Selatan melakukan dialog langsung kepada para sastrawan di Kalimantan Selatan ini, atau hanya kepada segelintir orang yang mengaku sebagai wakil sastrawan tetapi sama sekali tidak bicara tentang sastra. Pembicaraan itu boleh saja formal dalam kedinasan bahkan lebih akrab lagi bila dilakukan dalam tatanan informal yang sastrawi, enjoy dan tanpa batasan-batasan, apalagi bila ada yang sengaja untuk membatasi.
Sastra di Kalimantan Selatan ini adalah sebuah potensi yang luar biasa. Ia mampu mencerdaskan dan sekaligus menjaga dengan sangat kritis setiap kebijakan pemerintah, karena dengan kecerdasan itu akan mampu menjadi tuan rumah di rumah sendiri, dan dengan sikap kritis itu akan mampu menjaga agar setiap kebijakan bukan atas dasar semena-mena apalagi menggunakan aji-mumpung berkuasa dan kekuasaan.
Dewan Sastra Kalimantan Selatan yang di dalamnya menempatkan “Orang-orang Pilihan” akan bergerak kepada membangkitkan semangat bersama dan terbuka. Membuka jalan agar Rekomendasi Aruh Sastra benar-benar dapat dipahami oleh yang bersangkutan, diserahkan langsung oleh yang bersangkutan, melakukan dialog langsung dengan pihak-pihak dari tingkat tertinggi sampai kepada masyarakat luas, bahwa sastra itu sesuatu yang sangat positif dengan uraian-uraian mencerdaskan. Bahwa sastra adalah mata rantai pembangunan yang tidak bisa diabaikan. Sastra akan banyak bicara pada tatanan pondasi Sumber Daya Manusia handal, energik dan potensial.
“Orang-orang Pilihan” yang berada di dalam Dewan Sastra hendaknya membuktikan bahwa ketika ada persoalan yang dirasa mengganggu keberlangsungan Aruh Sastra segera merespon dan mencoba menawarkan solusinya.
Dalam catatan saya, ada beberapa tawaran fungsi kepada Dewan Sastra, yaitu: - memberikan sumbang saran kepada panitia Aruh Sastra bila ada persoalan yang dianggap perlu sesuai dengan masalah yang dihadapi, - membuka ruang dialog khusus dengan panitia Aruh Sastra untuk membicarakan konsep rancangan agenda, - melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Aruh Sastra dengan tata-laksana yang disepakati bersama, - mengawal setiap putusan hasil rapat pleno dalam bentuk rekomendasi Aruh Sastra, - melakukan lobi-lobi ke semua lapisan masyarakat, terutama kepada pihak pemerintah, tokoh masyarakat, dunia usaha dan sebagainya, - menerima segala bentuk masukan, ide-ide, gagasan-gagasan demi kelancaran dan kesuksesan Aruh Sastra.
Tawaran di atas dapat saja ditambahkan oleh pikiran-pikiran baru, semua akan berpulang kepada kita sebagai pelaku langsung dan saksi pada zaman ini, tentang sastra yang ada dan perkembangannya.
Banjarbaru, 23 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!