Oleh: HE. Benyamine
Sastra mampu menggambarkan peristiwa dengan sempurna, menjadi sempurna, dan menyentuh diri secara sempurna. Melalui sastra, kehidupan ini lebih dapat dinikmati dengan menghadirkan pemaknaan yang mengarah pada penemuan hikmah pada setiap peristiwanya. Berbicara tentang sastra, begitulah bupati Kabupaten Barito Kuala, H. Hasanuddin Murad, SH., pada acara pengukuhan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Barito Kuala dan Pagelaran Sastra (26 Desember 2011: 20.00) di Panggung Terbuka yang menghadap sungai Barito.
Ungkapan bupati tersebut menunjukkan suatu pemahaman yang luar biasa atas sastra, meski beliau mengaku tidak begitu mengerti dengan sastra, yang memberikan harapan dan spirit pada pertumbuhan dan perkembangan sastra di Batola khususnya. Apa yang dikatakan bupati itu, mungkin dipengaruhi masa kecil beliau, yang memang hidup dengan kegembiraan sastra lisan sebagaimana masa kecil sebagian anak semasa beliau, karena masih sering terdengar senandung syair dan pantun juga bentuk sastra lisan lainnya.
Pada pengukuhan KSI Batola, yang dihadiri beberapa tokoh sastra dari Batola sendiri; Iberamsyah Amandit, H. Roeck Syamsuri Saberi (Ketua DKD Batola), Syarkian Noor Hadie, AA. Ajang, Maskuni, SPd (Ketua KSI Batola terpilih) dan lainnya, juga dari kota Banjarbaru seperti Hamami Adaby, Ali Syamsuddin Arsi, dan Iberamsyah Barbary, dan dari kota Banjarmasin seperti YS. Agus Suseno, Micky Hidayat, Syarifuddin R., dan Burhanuddin Soebely, sungguh terasa suatu perhelatan yang meriah dan menghibur. Dengan panggung sederhana, beberapa tampilan pagelaran sastra tampil memukau, yang seakan mengusik ketenangan arus sungai Barito yang sedang menahan beban pergerakan tongkang batubara yang juga merambat pelan-pelan.
Penampilan penari yang membuka pagelaran sastra membawa hadirin pada pengukuhan percikan keindahan yang terbentang di banua Barito Kuala, penari-penari yang mengalirkan kekuatan dengan cara kelembutan dan keindahan. Para penari mengerti bahwa Barito Kuala mempunyai kemampuan untuk berperan aktif dalam seni budaya, yang saat ini merupakan bagian dari 14 sektor ekonomi kreatif, dengan penampilan mereka yang bertenaga namun lembut.
Tampilan musikalisasi SMAN 1 Marabahan sungguh merasuk dan mengalun dengan lembut, dengan membawakan Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra, terutama saat vokal perempuan (maaf namanya tak tahu; suaramu merdu) menyenandungkan balada tersebut, ada suatu aliran yang tenang dan menjadikan puisi tersebut terasa indah dan terkuat pesannya.
Sedangkan tampilan dramatisasi SMAN 1 Marabahan, yang mengangkat cerpen Sandi Firly berjudul Senja Kuning Di Sungai Martapura, dengan kelemahan sound system sehingga dialognya banyak yang tidak terdengar, secara keseluruhan mampu menghadirkan pertunjukkan yang menarik dan menghibur dengan sesuai dengan cerpennya. Penafsiran yang dramatis dan ditunjang dengan pilihan properti yang baik, tentu saja apa yang mereka tampilkan merupakan harapan yang cerah bagi pertumbuhan dan perkembangan pagelaran sastra di Batola.
Penampilan pembacaan syair, pantun, dan puisi oleh Sanggar Seni MAN 1 Marabahan, juga mampu menunjukkan bahwa sastra lisan tersebut juga menarik untuk ditampilkan sebagai suatu hiburan. Begitu juga dengan seni tradisional Madihin, yang merupakan sastra lisan juga, yang ditampilkan mahasiswa Unlam asal Batola.
Pagelaran sastra yang mengiringi pengukuhan KSI Batola, merupakan suatu petunjuk dan seakan gayung bersambut dengan gagasan Kepala Pariwisatan, Dinas Pemuda dan Olah Raga untuk menyelenggarakan pagelaran seni budaya, termasuk sastra, di panggung terbuka sebulan sekali setiap malam Selasa yang bertepatan dengan Pasar Malam Batola. Gagasan ini merupakan suatu petunjuk bahwa pemerintah daerah menyadari pentingnya memberikan dan menyediakan panggung pertunjukkan seni budaya dalam upaya menghidupkan seni budaya tradisional yang sebenarnya masih menjadi bagian kehidupan warga masyarakat. Apalagi, panggung tersebut di samping rumah dinas bupati, yang memungkinkan bupati berhadir pada waktu tertentu untuk menikmati pertunjukkannya.
Kehadiran bupati Batola pada pengukuhan KSI Batola dan Pagelaran Sastra, dan beliau mengikuti acara hingga selesai yang berakhir pada tengah malam (24.00), menjadikan acara malam itu sebagai sesuatu yang spesial dan bermakna, apalagi kehadiran beliau bukan untuk melantik atau mengukuhkan pengurus terpilih, dan tidak seperti yang umum dalam hajatan sastra yang mana pejabat publiknya pulang setelah acara pembukaan atau setelah mengukuhkan atau melantik. Bupati Batola mengikuti acara pagelarannya terlihat menikmati, dengan rokok kretek yang terus mengepul, dan mungkin saja membayangkan bahwa pagelaran yang sedang beliau saksikan merupakan pertunjukkan yang layak untuk diselenggarakan secara kontinue dan lebih intens; pejabat publik juga butuh mengisi waktu luangnya dengan seni budaya.
Pada jelang tengah malam, para penyair hebat, tampil membacakan puisi, mereka adalah Iberamsyah Amandit dengan puisi beliau sendiri; Mamang Borneo, yang menghentak relung-relung hati penonton, bait terakhirnya, “Usir maling-maling itu, usir maling-maling itu/usir maling-maling itu” sebagai penutup yang menyergap jiwa untuk melawan perampokan tanah Borneo oleh keserakahan, lalu dilanjutkan Hamami Adaby dengan membawakan karya Hanna Fransisca, berikutnya Ali Syamsuddin Arsi si “Gumam” yang terlihat agak ringan dan santai namun tetap menyentak, lalu Mecky Hidayat dengan puisi adaptasi dari novel Rumah Debu, yang begitu kuat dan penuh daya dalam melihat kondisi pertambangan yang serakah dan tak berhati, dan ditutup oleh YS. Agus Suseno dengan syair tentang Batola dan harapannya ke depan dengan suara yang mengalun layaknya aliran sungai Barito; tenang dan damai.
Pembacaan puisi berlanjut dengan didaulatnya Bupati, Sekda, dan Kepala Dinas yang telah dipersiapkan beberapa puisi untuk mereka pilih sendiri. Bupati Batola ternyata memilih puisi dengan judul Petani karya Iberamsyah Amandit, itupun tebakan bupati karena dibuatnya di Tamban sebagai tempat tinggal penulisnya. Pilihan bupati atas puisi itu dijelaskan beliau karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Batola, dan peradaban awal saja dimulai dengan pertanian, yang merupakan suatu harapan dirinya untuk kemajuan Batola berbasis pertanian yang lebih maju, baik untuk petani sendiri maupun produk yang dihasilkannya. Di sini, bupati perlu mempertimbangkan kembali perluasan perkebunan sawit skala besar, karena akan berhadapan petani-petani dengan penghidupannya, tentu saja hal ini menjadi pemikiran beliau dalam hal sawit ini.
Sedangkan Sekda membacakan dengan penuh semangat, dan ternyata beliau dapat dikatakan sebagai pembaca puisi yang berbakat, ada kejutan yang menghentak dan menyentak kesadaran penonton. Begitu juga dengan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga yang dengan tenang menyelusup dengan suara beratnya. Mungkin, para pejabat publik seperti di atas perlu berhadir dan membacakan puisi, yang menjadi pelepasan beban pekerjaan dan tugasnya sebagai pejabat publik, selain tempat hiburan yang umum seperti karaoke atau lainnya.
Akhirnya, apa yang dikatakan Bupati dalam sambutannya di atas merupakan angin kebahagiaan bagi dunia sastra khususnya di Batola, apalagi beliau menambahkan bahwa melalui sastra membuat kritik lebih mudah diterima, sekeras apapun kritik itu, karena hal itu dilakukan oleh orang-orang yang penuh perenungan dan intelektual yang lurus. Apa yang disampaikan bupati merupakan suatu hal menarik untuk direnungkan bersama, karena sastra memang lebih sempurna dalam menggambarkan peristiwa dan keadaan, dan kritik dengan tulisan adalah peradaban yang maju.
(Media Kalimantan, 28 Desember 2011: C5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!