Oleh: Ali Syamsudin
Arsi
Ada
sejumlah nama pengarang, katakan saja penyair, mereka tergerak menuliskan
puisi-puisi untuk sebuah buku kumpulan yang diberi judul “Puisi Menolak
Korupsi”.
Penyair
Indonesia yang kini bermukim di tanah Banjar, Tanah Banua, mereka adalah: Abdurrahman El Husaini, Ali Syamsudin Arsi,
Arsyad Indradi, dan Sumasno Hadi.
Buku
yang hadir dengan cara lain dari yang lain, sebab dengan Sosiawan Leak sebagai
coordinator gerakan Puisi Menolak Korupsi menawarkan wadah pengumpulan puisi
bertema sentral anti korupsi dan memberikan jalan keluar masalah pendanaan
dengan cara setiap pengarang yang mengirimkan puisi-puisi tersebut bersuka-rela
memberikan saweran sejumlah dana – yang nilai nominalnya minimal Rp. 250.000,-
- namun ternyata ada saja beberapa di antara rekan pengirim naskah puisi yang
memberikan donasi lebih dari batas minimal tersebut. Alhasil, buku tercetak
dengan apik dan kepada masing-masing penyumbang akan mendapatkan sejumlah buku
kumpulan dimaksud dengan sesuai jumlah sawerannya.
Pragmen
kecil di sekitar pot bunga:
“Oh,
maaf Pak, saya sedang mengerjakan yang lain,” berlalu begitu saja.
“Ini
ada titipan dari rekan-rekan sekantor, mereka mengucapkan salam kepada Ibu,”
amplop putih itu bergerak pelan dan sudah sangat biasa terjadi.
“Oh,
begitu ya. Oke, berkas Bapak di mana tadi,” ada senyum terlihat tulus dan
manis.
Bapak
Utusan dan Ibu Bendahara, mereka berdua sama-sama duduk pada posisi masing-masing.
“Kami
mohon untuk urusan yang akan datang menjadi lancar, dan kami sudah biasa dengan
hal begini.”
“Ahk,
sudah budaya Pak, kami juga sangat paham,” terbayang di bola matanya beberapa
nomor rekening tabungan yang akan bertambah saldo. Semakin menampak Ibu
Bendahara itu ceria dan percaya diri, tenang dalam diam. “Tapi ini bukan untuk
saya saja, masih ada banyak rekan saya di sini Pak,” semakin minggu semakin
melebar saja ukuran paritnya, pot bunga selalu bertambah, sebentar lagi rampung
kolam ikan di ruang tamu, sepeda motor sudah empat, mobil baru tiga, lemari
baju anak-anak kian sesak dan mutu kain kemeja sang suami yang kian menaik,
pembantu sudah ada dua orang, tiga buah kulkas selalu penuh isinya, hp di tas
kerja ada tiga, anak-anak punya hp juga tiga, suaminya tentu tak mau kalah
bersaing, urusan makan juga berpindah-pindah, sarapan di sana, makan siang
lebih jauh lagi dan makan malam di tempat perkumpulan yang bahkan lebih jauh
lagi.
Benarkah
dengan alasan ‘karena sudah budaya’?
Atau
budaya itu yang menjadikan alasan selalu diterima?
Bila
tidak mengikuti arus dan aturan tak tertulis itu maka kita selalu saja
diacuhkan, tidak diterima dengan nyaman, disepelekan, padahal mereka sudah
mendapatkan gaji yang semestinya. Ketulusan senyum itu sangat dipaksakan.
Dan
bunga-bunga di atas meja memberikan pesonanya, warna-warna: (Ada kentut serta
anjing yang setia)
“Begini
saja, Anda bisa berapa persen, sebab yang lain sudah berani sepuluh persen.
Saya kan berteman dengan Anda, lebih rendah juga tidak mengapa. Bila tidak ada
jawaban maka akan saya berikan kepada rekan lain.”
Adakah
penekanan yang sangat mengerikan dalam hal begini bila sebuah proyek datang dan
‘serpihan-serpihan kaca-luka’ pun berserak tanpa tanggung-tanggung, terbuka dan
langsung. Atau akan berdampak kepada proyek yang berikutnya. Kalau tidak
diterima maka tidak akan dapat, padahal kami memerlukan bantuan itu. Sebuah
tawaran yang sudah biasa. Sebuah penerimaan yang juga menjadi biasa. Padahal
intinya adalah ‘yang penting mendapatkan”.
“Nah,
karena rasa syukur ini kita rasakan bersama, maka dengan suka-rela pula kita
kumpulkan sejumlah dana dari hasil pencairannya untuk memberi kepada mereka,
mereka telah membantu, dan begitu pula dengan rekan di pihak lain, kita jangan
sampai ketinggalan juga masalah jumlah, bila yang lain berani memberi lima
ratus ribu maka kita memberinya tujuh ratus lima puluh ribu, ini kita maksudkan
agar urusan yang akan datang kita didahulukan dan dilayani dengan baik, ini
sudah budayanya, bila tidak maka kita akan terbengkalai,” nah itulah kentut yang keluar dari mulut seorang
pengumpul dana serta ia akan mengambil keuntungan karena namanya akan dicatut pula
sebagai penyumbang yang setia. Anjing.
Dalam
buku tersebut (Puisi Menolak Korupsi) terdapat puisi-puisi Abdurrahman El
Husaini, pada halaman 1 sampai 5, sebagai berikut:
Abdurrahman El Husaini
KUTBAH AIR MATA
Jika
kesempatan ini masih ada
Akan
terus kusampaikan kutbah itu
Di
pantai-pantai
Lidah
tsunami akan selalu menjilati tubuh kota
Bila
dosa-dosa koruptor
Semakin
mendarah daging
Jika
masih ada waktu
Akan
terus kuteriakkan kutbah itu
Di
gunung-gunung
Mulut
gempa akan selalu melumat bibir kotamu
Bila
praktik korupsi
Semakin
menggurita
Jika
masih tersisa suaraku
Akan
terus kubacakan isi kutbah itu
Di
sungai-sungai
Tangan
banjir akan menggulung tikar kotamu
Bila
rumput liar KKN semakin tumbuh subur
Mengapa
masih ada korupsi?
Sedang
tsunami sudah berkali-kali terjadi
Mengapa
masih ada korupsi?
Sedang
gempa bumi sudah berkali-kali terjadi
Mengapa
masih ada korupsi?
Sedang
banjir besar sudah berkali-kali terjadi
Mengapa
masih ada korupsi?
Sedang
presiden sudah enam kali berganti
Martapura,
30/03/13
Ali Syamsudin Arsi
MEREKA TELAH
Mereka
telah menelan pahit, sebagai bentuk cerita dari tahun ke tahun, dari segala
macam buah ditawarkan. Tidak. Itu hanya mimpi seorang penghayal dan kosong di
matanya.
Lawan
Tetapi
bila tak mampu maka lepaskan saja semua kepungan yang diarahkan kepada tubuhmu.
Tubuh mereka pun semakin melayang di awang-awang. Tubuh yang terbengkalai dan
melayang di udara lepas.
Rama-rama
bersayap kepak menuju bulan, padahal masih siang waktu, malam masih meniti di
bawah jarak, kita duduk seperti beberapa hari yang lalu.
Lawan
Semenjak
orang-orang itu melepaskan tangkap jemari di telapak tanganmu padahal banyak
kepal yang meringkuk di jeruji besi.
“Sejak
itu pula kami berharap kalian berangkat lebih jauh dari sisi pembaringan kami,
tentang apa yang mereka temukan di dasar laut, sampaikan salam mereka agar
semua orang bersedia menguliti tubuhnya masing-masing.”
Lawan
Suara
itu melesap di semak-semak penuh duri, tersekat di antara daun-daun ilalang dan
rebahan ranting di gemeretak lepasan jangkar
Mereka
telah menghisap sampai ke tulang-tulang
/banjarbaru, 2013
Arsyad Indradi
Pohon Para
Kau
hanya tahu ia adalah pohon para
Yang
selalu disadap tubuhnya sampai tak terhitung lagi lukanya
Luka
tubuhnya
Pernahkan
kau dengar jerit perihnya setiap pisau yang kau torehkan
Pernahkah
kau dengar aduh keluhnya setiap darah yang mengalir dari
nganga
luka
Kau
cuma tahu kepuasan tempurung penuh darahnya
Sebab
ia adalah cuma pohon
Maka
tak perlu iba tak perlua terima kasih karena kau manusia?
Jika
tubuhnya tak berdarah lagi
Lalu
ditebang dan dipotongpotong dijadikan kayu bakar
Di
majelis ini tempatnya gerombolan manusia yang berlidah pisau
Dan
setiap saat kita disadap dan darah kita kepuasan hidup mereka
Kita
bukan pohon para
Banjarbaru,
2012
Sumasno Hadi
Sajak Rumusan Korupsi
Korupsi
adalah sebuah teori
Rumusannya
terus berkembang
Metodenya
selalu menyesuaikan
Dari
fakta-fakta sama yang statis
Tindak
pencurian
Korupsi
adalah sebuah dialektika
Tesisnya
adalah kejahatan
Antesisnya
suatu kebutuhan
Sintesisnya
bentuk kehancuran
Martabat
melorot
Korupsi
adalah sebuah pengetahuan
Segala
bidang ilmu menjadi terpakai
Ilmu
retirika untuk persembunyian
Ilmu
bahasa sebagai alat kebohongan
:
pengetahuan kita jelas
Korupsi
adalah kebudayaan
Kebudayaan
yang tersesat
Kebudayaan
yang sekarat
Kebudayaan
yang laknat
:
kontra kebudayaan
Korupsi
adalah teori dan pengetahuan
Yang
berdialektika dengan kebudayaan
Dan
kita akan membangun martabat
Tidak
dengan budaya pencurian
Supaya
semuanya menjadi sia-sia
Banjarmasin,
Februari 2013
Tentu
saja puisi-puisi tersebut bersanding erat dengan puisi-puisi yang ditulis oleh
penyair lain, sebutlah di sana ada Radhar Panca Dahana, ada Beni Setia, juga
ada Sosiawan Leak. Mari kita lihat puisi-puisi mereka sebagai bahan pembanding.
Radhar Panca Dahana
KAMAR 608, HOTEL M
Lima
kepala
Duabelas
mata
Satu
telinga
Meja
kecil, kopi tubruk, niat kerdil,
Hidup
terkutuk. Katakata melingkar
Udara,
rahasia mencetak bahasa, dan
Lihat…rekam
kamera:
Satu
menghitung dolar
Di
keranjang basah, satu mengaudit
Tipudaya,
memori pengkhianatan,
Database
para presiden, celana dalam
Ratusan
menteri, dan deposito jutaan suara.
Ahh..denting
anggur memecah merdu
Melon
Kristina. Tubuh mengilap tanpa kain
Tanpa
sungkan berenang di ranjang:
“pagi
ini, kita tentukan kepala keuangan,
Malam
nanti kita ketuk palu presiden,
Mitnait,
haus music dan janda sinetron.”
Dan
besok pagi, upacara agama
‘hahaha…”
Tak
ada tawa
Lima
kepala
Tiga
belas mata
nol
telinga
menjelma
botol champagne,
tujuh
dengkur, tiga belas kontrak
tanpa
cap dan signa
“hahaha….”
Televise
tertawa
Lima
kepala berita
Menjuta
pesona
Emas
tinta di pena
Sejarah
sebuah bangsa.
14/06/09
Beni Setia
SARTRE’S DOOR
rumah
mewah sang koruptor mempunyai banyak kamar, di mana istri, anak-anak, pembantu,
sopir, dan tamu – yang mungkin tidak pernah ada datang untuk menginap itu –
punya kamar sendiri, bahkan anjing, mobil, beras + mi + minyak goring, buku,
kursi tamu. Tv + dvd, sabun, dan taik punya
kamar sendiri, sekaligus membaca, menulis, mendengar berita, bercakap,
berteriak, dan kencing pun harus di dalam kamar, kamar khusus di mana pintunya
– meski tak pernah dikunci - memisahkan
penghuni kamar dari penghuni kamar lainnya dalam rentang jarak tidak terukur,
pintu yang terus berkelebat ke mana pun penghuni kamar pergi, pintu yang selalu
tertutup meskipun sedang satu kamar dengan istri, anak-anak, sopir, pembantu,
bos, bawahan, tetamu, dan selingkuhan – yang Cuma membukakan secelah pintu, dan
mati itu pasti mesti ikut aturan; tinggal di dalam kamar sendiri, ditempatkan
dalam kamar yang tak dihubungkan dengan kamar di mana pun – kamar yang pintu-pintunya
melulu dikunci (mati)
11/04/2010
Sosiawan Leak
KAMI MENOLAK
kami
menolak miskin
tapi
kemiskinan selalu datang seperti kejam binatang,
buas
dan haus darah!
taring
runcing, cakar belukar dan ludahnya yang api
senantiasa
mengintip nasib kami
;
memamah para tanah
membakar
ladang sawah
serta
mencabik-cabik pakaian
di
wc umum dan kumuh kamar kontrakan
kami
menolak bodoh
tapi
kebodohan selalu menghadang bagai mata pedang
merajang-rajang
ke dalam pikiran
bersama
tikaman dendam dan kekerasan
lolos
dari sarungnya
kelosotan
di para kulit, daging dan urat ajal
demi
kehidupan dangkal
;
harta, kedudukan dan berahi purba
juga
buta keyakinan atas nama tuhan.
mereka
malih rupa kurikulum uji jajal,
ongkos
sekolah mahal,
buku-buku
tak bermutu
juga
gaji menjulang para guru.
kami
menolak sakit
tapi
virus dan hama selalu menikam
merupa
kilau tombak dan belati tajam
juga
sekrup dan paku
di
bom-bom liar yang sengaja diledakkan
di
antara desing peluru dan popor senapan
membiakkan
obat-obatan kadaluarsa
melahirkan
petugas kesehatan bermata buram
jelmaan
monster tanpa rupa
yang
mengguritakan sekarat di setiap kehidupan sia-sia
13
Oktober 2012
Dalam
buku Puisi Menolak Korupsi ada juga memuat puisi-puisi karya dari pengarang
yang lain, yaitu: Acep Syahril, Agus R. Sarjono, Agus Sri Danardana, Ahmad
Daladi, Ahmadun Yosi Herfanda, Akaha Taufan Aminudin, Aloysius Slamet
Widodo, Aming Aminoedhin, Andreas
Kristoko, Andrias Edison, Andrik Purwasita, Anggoro Suprapto, Ardi
Susanti, Asyari Muhammad, Ayu Cipta,
Bagus Putu Parto, Bambang Eka Prasetya, Bambang Supranoto, Bambang Widiatmoko,
Bontot Sukandar, Brigita Neny Anggraeni, Budhi Setyawan, Dedet Setiadi, Denni
Meilizon, Dharmadi, Didit Endro, Dimas Arika Mihardja, Dona Anovita, Dwi Ery
Santoso, Dyah Setyawati, Eka Pradhaning, Eko Widianto, Ekohm Abiyasa, Endang
Setiyaningsih, Endang Supriadi, Gunawan Tri Atmodjo, Handry TM, Hardho Sayoko
SPB, Heru Mugiarso, Hilda Rumambi, Irma Yuliana, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D.
Rahman, Jhon F.S. Pane, Jumari HS, Kidung Purnama, Kuncahyono PS, Kusprihyanto
Namma, Lailatul Kiftiyah, Lennon Machali, Lukni Maulana, M. Enthieh Mudakir,
Mubaqi Abdullah, Najibul Mahbub, Nurngudiono, Oscar Amran, Puiji Pistols, Puput
Amiranti, Puspita Ann, Ribut Achwandi, Ribut Basuki, Rahmat Djoko Prakosa, Saiful
Bahri, Sudarmono, Sulis Bambang, Suryahardi, Sus S Hardjono, Suyitno Ethex,
Syam Chandra Manthiek, Syarifuddin Arifin, Thomas Budi Santoso, Thomas Haryanto
Soekiran, Trilara Prasetya Rina, Udik Agus Dhewe, W Haryanto, Wardjito
Soeharso, Yudhie Yarcho, dan Zainul Wahid.
Dengan
berbagai alas an dan beragam kepentingan maka benalu bernama korupsi it uterus
saja merambah ke semua sudut hidup dan kehidupan, jalur syaraf dan pembuluh
darah di semua lapisan. Proses pembodohan terus saja berkecamuk, proses
pemiskinan selalu saja terpampang, proses pembiaran semakin tak terbendung,
proses akal-akalan anggaran sudah bukan lagi barang simpanan, dan gerakan
menolak korupsi adalah sebuah jalan yang menuju sangat terjal serta jalan untuk
melawan, melawan di ruang-ruang pembacaan; karena dengan ruang pembacaan inilah
mencoba membuka cakrawala pemikiran, walau sungguh sangatlah berliku dan
terjal. Sekarang cakar korupsi bukan dari orang-orang pinggiran tetapi ternyata
lebih terkuak dari orang-orang cerdas dan berkecukupan; orang-orang di atas
rata-rata tarap kehidupan secara materi, dan memang sungguh keterlaluan. Alasan
perut boleh jadi bukan yang utama, alasan gengsi boleh jadi bukan pertama,
alasan ‘menghormati’ dan rasa sungkan boleh jadi sebagai tameng karena semuanya
adalah sekarat-karatnya penyakit yang bersemayam di bagian dalam. Penerima dan
Pemberi ternyata sama-sama kejam.
Panggung
Bundar Mingguraya Banjarbaru akan melaksanakan acara pembacaan puisi-puisi
menolak korupsi sejenis ini pada tanggal 28 Juni, tepatnya malam Sabtu. Nah,
kepada sesiapa saja yang ingin berpartisipasi sangat diperkenan hadir; sebagai
penonton atau pula sebagai pembaca puisi, dan panitia tentu saja sangat
berkenan mempersilakan. Tak perlu ragu untuk naik ke atas pentas dan bersuara
bersama dalam ruang pembacaan.
Akademi
Bangku Panjang Mingguraya Banjarbaru
/asa,
5 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!