Rabu, 05 Juni 2013

Penyair Indonesia Asal Kalimantan Selatan dalam Buku “Puisi Menolak Korupsi”


Oleh: Ali Syamsudin Arsi


Ada sejumlah nama pengarang, katakan saja penyair, mereka tergerak menuliskan puisi-puisi untuk sebuah buku kumpulan yang diberi judul “Puisi Menolak Korupsi”.

Penyair Indonesia yang kini bermukim di tanah Banjar, Tanah Banua, mereka adalah:  Abdurrahman El Husaini, Ali Syamsudin Arsi, Arsyad Indradi, dan Sumasno Hadi.

Buku yang hadir dengan cara lain dari yang lain, sebab dengan Sosiawan Leak sebagai coordinator gerakan Puisi Menolak Korupsi menawarkan wadah pengumpulan puisi bertema sentral anti korupsi dan memberikan jalan keluar masalah pendanaan dengan cara setiap pengarang yang mengirimkan puisi-puisi tersebut bersuka-rela memberikan saweran sejumlah dana – yang nilai nominalnya minimal Rp. 250.000,- - namun ternyata ada saja beberapa di antara rekan pengirim naskah puisi yang memberikan donasi lebih dari batas minimal tersebut. Alhasil, buku tercetak dengan apik dan kepada masing-masing penyumbang akan mendapatkan sejumlah buku kumpulan dimaksud dengan sesuai jumlah sawerannya.

Pragmen kecil di sekitar pot bunga:

“Oh, maaf Pak, saya sedang mengerjakan yang lain,” berlalu begitu saja.
“Ini ada titipan dari rekan-rekan sekantor, mereka mengucapkan salam kepada Ibu,” amplop putih itu bergerak pelan dan sudah sangat biasa terjadi.
“Oh, begitu ya. Oke, berkas Bapak di mana tadi,” ada senyum terlihat tulus dan manis.
Bapak Utusan dan Ibu Bendahara, mereka berdua sama-sama duduk pada posisi masing-masing.
“Kami mohon untuk urusan yang akan datang menjadi lancar, dan kami sudah biasa dengan hal begini.”
“Ahk, sudah budaya Pak, kami juga sangat paham,” terbayang di bola matanya beberapa nomor rekening tabungan yang akan bertambah saldo. Semakin menampak Ibu Bendahara itu ceria dan percaya diri, tenang dalam diam. “Tapi ini bukan untuk saya saja, masih ada banyak rekan saya di sini Pak,” semakin minggu semakin melebar saja ukuran paritnya, pot bunga selalu bertambah, sebentar lagi rampung kolam ikan di ruang tamu, sepeda motor sudah empat, mobil baru tiga, lemari baju anak-anak kian sesak dan mutu kain kemeja sang suami yang kian menaik, pembantu sudah ada dua orang, tiga buah kulkas selalu penuh isinya, hp di tas kerja ada tiga, anak-anak punya hp juga tiga, suaminya tentu tak mau kalah bersaing, urusan makan juga berpindah-pindah, sarapan di sana, makan siang lebih jauh lagi dan makan malam di tempat perkumpulan yang bahkan lebih jauh lagi.

Benarkah dengan alasan ‘karena sudah budaya’?
Atau budaya itu yang menjadikan alasan selalu diterima?

Bila tidak mengikuti arus dan aturan tak tertulis itu maka kita selalu saja diacuhkan, tidak diterima dengan nyaman, disepelekan, padahal mereka sudah mendapatkan gaji yang semestinya. Ketulusan senyum itu sangat dipaksakan.

Dan bunga-bunga di atas meja memberikan pesonanya, warna-warna: (Ada kentut serta anjing yang setia)

“Begini saja, Anda bisa berapa persen, sebab yang lain sudah berani sepuluh persen. Saya kan berteman dengan Anda, lebih rendah juga tidak mengapa. Bila tidak ada jawaban maka akan saya berikan kepada rekan lain.”

Adakah penekanan yang sangat mengerikan dalam hal begini bila sebuah proyek datang dan ‘serpihan-serpihan kaca-luka’ pun berserak tanpa tanggung-tanggung, terbuka dan langsung. Atau akan berdampak kepada proyek yang berikutnya. Kalau tidak diterima maka tidak akan dapat, padahal kami memerlukan bantuan itu. Sebuah tawaran yang sudah biasa. Sebuah penerimaan yang juga menjadi biasa. Padahal intinya adalah ‘yang penting mendapatkan”.

“Nah, karena rasa syukur ini kita rasakan bersama, maka dengan suka-rela pula kita kumpulkan sejumlah dana dari hasil pencairannya untuk memberi kepada mereka, mereka telah membantu, dan begitu pula dengan rekan di pihak lain, kita jangan sampai ketinggalan juga masalah jumlah, bila yang lain berani memberi lima ratus ribu maka kita memberinya tujuh ratus lima puluh ribu, ini kita maksudkan agar urusan yang akan datang kita didahulukan dan dilayani dengan baik, ini sudah budayanya, bila tidak maka kita akan terbengkalai,” nah itulah kentut yang keluar dari mulut seorang pengumpul dana serta ia akan mengambil keuntungan karena namanya akan dicatut pula sebagai penyumbang yang setia. Anjing.

Dalam buku tersebut (Puisi Menolak Korupsi) terdapat puisi-puisi Abdurrahman El Husaini, pada halaman 1 sampai 5, sebagai berikut:

Abdurrahman El Husaini
KUTBAH AIR MATA

Jika kesempatan ini masih ada
Akan terus kusampaikan kutbah itu
Di pantai-pantai
Lidah tsunami akan selalu menjilati tubuh kota
Bila dosa-dosa koruptor
Semakin mendarah daging

Jika masih ada waktu
Akan terus kuteriakkan kutbah itu
Di gunung-gunung
Mulut gempa akan selalu melumat bibir kotamu
Bila praktik korupsi
Semakin menggurita

Jika masih tersisa suaraku
Akan terus kubacakan isi kutbah itu
Di sungai-sungai
Tangan banjir akan menggulung tikar kotamu
Bila rumput liar KKN semakin tumbuh subur

Mengapa masih ada korupsi?
Sedang tsunami sudah berkali-kali terjadi

Mengapa masih ada korupsi?
Sedang gempa bumi sudah berkali-kali terjadi

Mengapa masih ada korupsi?
Sedang banjir besar sudah berkali-kali terjadi

Mengapa masih ada korupsi?
Sedang presiden sudah enam kali berganti

Martapura, 30/03/13


Ali Syamsudin Arsi
MEREKA TELAH

Mereka telah menelan pahit, sebagai bentuk cerita dari tahun ke tahun, dari segala macam buah ditawarkan. Tidak. Itu hanya mimpi seorang penghayal dan kosong di matanya.

Lawan

Tetapi bila tak mampu maka lepaskan saja semua kepungan yang diarahkan kepada tubuhmu. Tubuh mereka pun semakin melayang di awang-awang. Tubuh yang terbengkalai dan melayang di udara lepas.

Rama-rama bersayap kepak menuju bulan, padahal masih siang waktu, malam masih meniti di bawah jarak, kita duduk seperti beberapa hari yang lalu.

Lawan

Semenjak orang-orang itu melepaskan tangkap jemari di telapak tanganmu padahal banyak kepal yang meringkuk di jeruji besi.

“Sejak itu pula kami berharap kalian berangkat lebih jauh dari sisi pembaringan kami, tentang apa yang mereka temukan di dasar laut, sampaikan salam mereka agar semua orang bersedia menguliti tubuhnya masing-masing.”

Lawan

Suara itu melesap di semak-semak penuh duri, tersekat di antara daun-daun ilalang dan rebahan ranting di gemeretak lepasan jangkar

Mereka telah menghisap sampai ke tulang-tulang

/banjarbaru, 2013


Arsyad Indradi
Pohon Para

Kau hanya tahu ia adalah pohon para
Yang selalu disadap tubuhnya sampai tak terhitung lagi lukanya
Luka tubuhnya
Pernahkan kau dengar jerit perihnya setiap pisau yang kau torehkan
Pernahkah kau dengar aduh keluhnya setiap darah yang mengalir dari
nganga luka
Kau cuma tahu kepuasan tempurung penuh darahnya

Sebab ia adalah cuma pohon
Maka tak perlu iba tak perlua terima kasih karena kau manusia?
Jika tubuhnya tak berdarah lagi
Lalu ditebang dan dipotongpotong dijadikan kayu bakar

Di majelis ini tempatnya gerombolan manusia yang berlidah pisau
Dan setiap saat kita disadap dan darah kita kepuasan hidup mereka
Kita bukan pohon para

Banjarbaru, 2012


Sumasno Hadi
Sajak Rumusan Korupsi

Korupsi adalah sebuah teori
Rumusannya terus berkembang
Metodenya selalu menyesuaikan
Dari fakta-fakta sama yang statis
Tindak pencurian

Korupsi adalah sebuah dialektika
Tesisnya adalah kejahatan
Antesisnya suatu kebutuhan
Sintesisnya bentuk kehancuran
Martabat melorot

Korupsi adalah sebuah pengetahuan
Segala bidang ilmu menjadi terpakai
Ilmu retirika untuk persembunyian
Ilmu bahasa sebagai alat kebohongan
: pengetahuan kita jelas

Korupsi adalah kebudayaan
Kebudayaan yang tersesat
Kebudayaan yang sekarat
Kebudayaan yang laknat
: kontra kebudayaan

Korupsi adalah teori dan pengetahuan
Yang berdialektika dengan kebudayaan
Dan kita akan membangun martabat
Tidak dengan budaya pencurian
Supaya semuanya menjadi sia-sia

Banjarmasin, Februari 2013


Tentu saja puisi-puisi tersebut bersanding erat dengan puisi-puisi yang ditulis oleh penyair lain, sebutlah di sana ada Radhar Panca Dahana, ada Beni Setia, juga ada Sosiawan Leak. Mari kita lihat puisi-puisi mereka sebagai bahan pembanding.

Radhar Panca Dahana
KAMAR 608, HOTEL M

Lima kepala
Duabelas mata
Satu telinga

Meja kecil, kopi tubruk, niat kerdil,
Hidup terkutuk. Katakata melingkar
Udara, rahasia mencetak bahasa, dan
Lihat…rekam kamera:
Satu menghitung dolar
Di keranjang basah, satu mengaudit
Tipudaya, memori pengkhianatan,
Database para presiden, celana dalam
Ratusan menteri, dan deposito jutaan suara.

Ahh..denting anggur memecah merdu
Melon Kristina. Tubuh mengilap tanpa kain
Tanpa sungkan berenang di ranjang:
“pagi ini, kita tentukan kepala keuangan,
Malam nanti kita ketuk palu presiden,
Mitnait, haus music dan janda sinetron.”

Dan besok pagi, upacara agama
‘hahaha…”

Tak ada tawa

Lima kepala
Tiga belas mata
nol telinga

menjelma botol champagne,
tujuh dengkur, tiga belas kontrak
tanpa cap dan signa

“hahaha….”
Televise tertawa
Lima kepala berita
Menjuta pesona
Emas tinta di pena
Sejarah sebuah bangsa.

14/06/09


Beni Setia
SARTRE’S DOOR

rumah mewah sang koruptor mempunyai banyak kamar, di mana istri, anak-anak, pembantu, sopir, dan tamu – yang mungkin tidak pernah ada datang untuk menginap itu – punya kamar sendiri, bahkan anjing, mobil, beras + mi + minyak goring, buku, kursi tamu. Tv + dvd, sabun, dan taik punya kamar sendiri, sekaligus membaca, menulis, mendengar berita, bercakap, berteriak, dan kencing pun harus di dalam kamar, kamar khusus di mana pintunya – meski tak pernah dikunci -  memisahkan penghuni kamar dari penghuni kamar lainnya dalam rentang jarak tidak terukur, pintu yang terus berkelebat ke mana pun penghuni kamar pergi, pintu yang selalu tertutup meskipun sedang satu kamar dengan istri, anak-anak, sopir, pembantu, bos, bawahan, tetamu, dan selingkuhan – yang Cuma membukakan secelah pintu, dan mati itu pasti mesti ikut aturan; tinggal di dalam kamar sendiri, ditempatkan dalam kamar yang tak dihubungkan dengan kamar di mana pun – kamar yang pintu-pintunya melulu dikunci (mati)

11/04/2010


Sosiawan Leak
KAMI MENOLAK

kami menolak miskin
tapi kemiskinan selalu datang seperti kejam binatang,
buas dan haus darah!
taring runcing, cakar belukar dan ludahnya yang api
senantiasa mengintip nasib kami
; memamah para tanah
membakar ladang sawah
serta mencabik-cabik pakaian
di wc umum dan kumuh kamar kontrakan

kami menolak bodoh
tapi kebodohan selalu menghadang bagai mata pedang
merajang-rajang ke dalam pikiran
bersama tikaman dendam dan kekerasan
lolos dari sarungnya
kelosotan di para kulit, daging dan urat ajal
demi kehidupan dangkal
; harta, kedudukan dan berahi purba
juga buta keyakinan atas nama tuhan.
mereka malih rupa kurikulum uji jajal,
ongkos sekolah mahal,
buku-buku tak bermutu
juga gaji menjulang para guru.

kami menolak sakit
tapi virus dan hama selalu menikam
merupa kilau tombak dan belati tajam
juga sekrup dan paku
di bom-bom liar yang sengaja diledakkan
di antara desing peluru dan popor senapan
membiakkan obat-obatan kadaluarsa
melahirkan petugas kesehatan bermata buram
jelmaan monster tanpa rupa
yang mengguritakan sekarat di setiap kehidupan sia-sia

13 Oktober 2012

Dalam buku Puisi Menolak Korupsi ada juga memuat puisi-puisi karya dari pengarang yang lain, yaitu: Acep Syahril, Agus R. Sarjono, Agus Sri Danardana, Ahmad Daladi, Ahmadun Yosi Herfanda, Akaha Taufan Aminudin, Aloysius Slamet Widodo,  Aming Aminoedhin, Andreas Kristoko,  Andrias Edison,  Andrik Purwasita, Anggoro Suprapto, Ardi Susanti, Asyari Muhammad,  Ayu Cipta, Bagus Putu Parto, Bambang Eka Prasetya, Bambang Supranoto, Bambang Widiatmoko, Bontot Sukandar, Brigita Neny Anggraeni, Budhi Setyawan, Dedet Setiadi, Denni Meilizon, Dharmadi, Didit Endro, Dimas Arika Mihardja, Dona Anovita, Dwi Ery Santoso, Dyah Setyawati, Eka Pradhaning, Eko Widianto, Ekohm Abiyasa, Endang Setiyaningsih, Endang Supriadi, Gunawan Tri Atmodjo, Handry TM, Hardho Sayoko SPB, Heru Mugiarso, Hilda Rumambi, Irma Yuliana, Isbedy Stiawan ZS, Jamal D. Rahman, Jhon F.S. Pane, Jumari HS, Kidung Purnama, Kuncahyono PS, Kusprihyanto Namma, Lailatul Kiftiyah, Lennon Machali, Lukni Maulana, M. Enthieh Mudakir, Mubaqi Abdullah, Najibul Mahbub, Nurngudiono, Oscar Amran, Puiji Pistols, Puput Amiranti, Puspita Ann, Ribut Achwandi, Ribut Basuki, Rahmat Djoko Prakosa, Saiful Bahri, Sudarmono, Sulis Bambang, Suryahardi, Sus S Hardjono, Suyitno Ethex, Syam Chandra Manthiek, Syarifuddin Arifin, Thomas Budi Santoso, Thomas Haryanto Soekiran, Trilara Prasetya Rina, Udik Agus Dhewe, W Haryanto, Wardjito Soeharso, Yudhie Yarcho, dan Zainul Wahid.

Dengan berbagai alas an dan beragam kepentingan maka benalu bernama korupsi it uterus saja merambah ke semua sudut hidup dan kehidupan, jalur syaraf dan pembuluh darah di semua lapisan. Proses pembodohan terus saja berkecamuk, proses pemiskinan selalu saja terpampang, proses pembiaran semakin tak terbendung, proses akal-akalan anggaran sudah bukan lagi barang simpanan, dan gerakan menolak korupsi adalah sebuah jalan yang menuju sangat terjal serta jalan untuk melawan, melawan di ruang-ruang pembacaan; karena dengan ruang pembacaan inilah mencoba membuka cakrawala pemikiran, walau sungguh sangatlah berliku dan terjal. Sekarang cakar korupsi bukan dari orang-orang pinggiran tetapi ternyata lebih terkuak dari orang-orang cerdas dan berkecukupan; orang-orang di atas rata-rata tarap kehidupan secara materi, dan memang sungguh keterlaluan. Alasan perut boleh jadi bukan yang utama, alasan gengsi boleh jadi bukan pertama, alasan ‘menghormati’ dan rasa sungkan boleh jadi sebagai tameng karena semuanya adalah sekarat-karatnya penyakit yang bersemayam di bagian dalam. Penerima dan Pemberi ternyata sama-sama kejam.

Panggung Bundar Mingguraya Banjarbaru akan melaksanakan acara pembacaan puisi-puisi menolak korupsi sejenis ini pada tanggal 28 Juni, tepatnya malam Sabtu. Nah, kepada sesiapa saja yang ingin berpartisipasi sangat diperkenan hadir; sebagai penonton atau pula sebagai pembaca puisi, dan panitia tentu saja sangat berkenan mempersilakan. Tak perlu ragu untuk naik ke atas pentas dan bersuara bersama dalam ruang pembacaan.

Akademi Bangku Panjang Mingguraya Banjarbaru
/asa, 5 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!