Oleh : Esti Ismawati
Kurniawan Junaedhie (KJ), siapa yang tidak mengenalnya? Tahun 2014 lalu praktis disebut tahunnya karena ‘heboh’ Sang Peneroka. 106 Penyair nasional bicara tentang dia dalam puisi-puisinya. Jauh sebelum itu, Penyair Umbu menyebutnya sebagai penyair muda papan atas yang berbakat. Dan tentang fiksi mini, seorang maha guru dari UNY Yogyakarta Prof.Dr. Suminto A. Sayuti mengatakan begini : ‘fiksi mini bukan barang baru, tahun 1975 Kurniawan Junaedhie sudah memperkenalkannya’. Nah, kali ini saya ajak pembaca untuk memasuki dunia ‘kehebohan’ berikutnya di awal tahun 2015, mengenai gebrakan atau hentakan berikutnya, yakni “NEW HAIKU” yang dalam sekejap saja telah memenuhi ruang face book kita. Dan konsep ‘sastra yang mencerahkan’ masih terus dipertahankan oleh KJ dalam karya-karyanya hingga saat ini, sehingga di judul tulisan ini saya katakan : dari yang bersifat renungan, yang menimbulkan tuing-tuing, sampai yang menimbulkan ketawa hahaha.
Haiku adalah puisi asli Jepang (kita punya puisi asli Indonesia, namanya Pantun, yakni puisi empat baris per bait, terdiri atas 8 sampai 12 suku kata, dua baris pertama sampiran dan dua baris kedua merupakan isi). Haiku, yang dalam bahasa Jepangnya berarti ‘ syair ringan’ ini secara luas memang dipahami sebagai sajak pendek yang terdiri dari tiga baris, dengan isian yang setiap barisnya terdiri dari 5, 7, 5 suku kata. Namun definisi seperti ini tergolong definisi haiku yang paling populer, yakni setelah berkembang dengan bentuk haiku berbahasa Inggris di AS misalnya. Haiku tradisional di Jepang sendiri diitulis dalam huruf Kanji, dalam satu baris tegak lurus memanjang. Dalam hitungan 17 mora ( semacam suku kata dalam bahasa Jepang ). Walau begitu apa yang disebut sebagai mora ini tak mutlak sama dengan suku kata dalam bahasa Inggris atau suku kata dalam bahasa Indonesia, karena struktur gramatika asa yang berbeda (Heru Emka, diposting ulang 16 Januari 2015. Oleh KJ).
Penjelasan lainnya menurut Heru Emka bisa begini. Jumlah baris dan jumlah suku kata yang terdapat pada haiku Jepang adalah persoalan bentuk. Sedangkan kata-kata kalimat di dalamnya adalah persoalan isi. Tradisi penulisan haiku di kalangan para pendeta Zen di Jepang berkaitan erat dengan musim sebagai referensi, karena itu sebagian besar haiku yang mereka tulis pun bertemakan alam. Penulis haiku yang pendeta Zen ini, sesuai kebiasaan tradisi penulisan mereka, menggunakan apa yang disebut sebagai “ saijiki” istilah yang mengacu pada wacana penanggalan musim, itulah sebabnya haiku juga disebut sebagai ‘syair musim’, di mana setiap kalimat mencerminkan alam di musim tertentu. Kalimat pendek seperti ‘daun gugur’ dengan jelas berkaitan dengan musim gugur. Dan di dalam tradisi penulisan haiku, kata “ kigo “ atau musim, juga mencerminkan karakter tertentu, misalnya ‘ angin dingin musim gugur’, jelas melambangkan ‘kesepian’, atau awal datangnya musim dingin yang membekukan, pertanda keprihatinan, dan sebagainya… (Heru Emka, diposting ulang 16 Januari 2015).
Marilah kita nikmati Haiku karya Kurniawan Junaedhie yang berisi renungan (terminologi pertama berikut ini) :
PENYAIR TUA
Telaga tua
Para penyair
Sibuk mengingat luka
MAKAN MALAM
Di meja makan
Lauk dan nasi
Menyalakan rohani
SUJUD
Masuk malam
Hati semakin merunduk
Mohon ampunan
SUBUH (1)
Jelang pagi
Asupan rohani
Menakar perbuatan
SUBUH (2)
di saat zikir,
air mata mengalir
sampai ke hilir
SUBUH (3)
Di balik pintu
Ada bunyi nafas
dan tawa tertahan
PUJANGGA
Di gelap malam
Sebuah metafor
Memangsa pujangga
TAQWA
Di saat sunyi
Nafsu nafsi
Dibenamkan oleh taqwa
DI KEDAI KOPI
Di dalam cangkir kopi
kita bertengkar
menghalau resah.
HIU
Di tengah gelombang
Dua ekor hiu
Membentur karang
BURUNG
Sekawanan burung
Meletupkan sunyi
ke dalam mimpi
Apa yang terekam dalam haiku-haiku di atas tidaklah sederhana sesederhana bahasanya. Di dalam haiku-haiku di atas terkandung makna yang sangat dalam, yang menyangkut seluruh aspek kehidupan dan eksistensi manusia sebagai makhluk hidup yang berbudaya, yang tidak sama dengan hewan. Berulang kali pikiran-pikiran itu muncul dan menyinari haiku-haiku tadi dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kita membutuhkan manusia lain (gak bisa egois dong), kita membutuhkan Tuhan untuk bersandar dari segala persoalan hidup yang tidak bisa diselesaikan pada tataran manusia, dan kita memerlukan tantangan (sesekali nafsu, mungkin) untuk menjadikan hidup kita ini bergairah, tidak statis, tidak beku. Kita hidup dan untuk itu kita perlu gairah hidup. Namun kita juga makhluk Tuhan, sehingga dalam menjalani gairah hidup itu tentu saja ada rambu-rambu antara yang boleh dan yang tidak boleh, yang absolut dan yang tidak absolut, dan yang kita upayakan seideal-idealnya agar Tuhan tersenyum.
Terminologi yang kedua, yang menimbulkan tuing-tuing, dan ini memang yang spesial KJ. Kita nikmati haiku-haikunya :
ASMARADHANA
tubuhmu sumbu
tubuhku bara
sunyi menyalakannya
KANGEN
Di percik ombak
rinduku terayun
di alun gelombang
NASIB JANTUNG
Jarak makin dekat
Tubuh tak berjarak
Jantung menandak
NASIB KEPALA
Di balik selimut
Kepala terantuk
Hati berpagut
NASIB KAKI
Di dalam selimut
ada suara kaki
berkelahi.
NASIB LEHER
Leher jenjang
Sebentuk merjan
Kuterakan dua cupang
NASIB TELINGA
Di dekat telinga
Aku membaca
Sunyimu menyala
NASIB BURUNG
Burung balam
melintas cakrawala
Mencicil ciuman
NASIB KEPITING
seekor kepiting
menanting sunyi
dalam gigitan waktu
NASIB BADAK
Seekor badak
Memekik tertusuk onak
Gedubrak!
NASIB SABUN
Di kamar mandi
bau sabun menyesap
ke dalam jantung
NASIB AWAN
di bawah rembulan
semburat awan
asyik bergelayutan
NASIB TUBUH
tubuh harum
disimpan di mata
dikulum di peraduan
Sudah pasti, bahwa yang tuing-tuing pun jika dinikmati secara mendalam akan ada renungan juga, namun di sini eksplorasi imajinasi KJ dalam menikmati ‘cinta yang menggairahkan’ itu benar-benar tidak ada tandingannya. Kita pun pasti merasakan dan mengalami masa-masa indah ini, tetapi bagi KJ masa itu tidak berhenti, masa itu terus hidup di dalam imaji-imajinya, sehingga meskipun usia sudah bisa dikatakn senja, semangat sajak-sajaknya masih tetap muda dan menggairahkan. Ambil contoh misalnya pada haiku pertama :
ASMARADHANA
tubuhmu sumbu
tubuhku bara
sunyi menyalakannya
Membaca haiku ini mau tak mau kita pun merasakan kehangatan bercinta, bukan hanya karena di sini ada ‘bara’, tetapi keseluruhan makna haiku ini memang sangat substil tentang kehangatan bercinta. Tubuhmu sumbu yang bertemu dengan tubuhku bara, dan dinyalakan oleh korek api yang bernama sunyi, akan melahirkan harmoni yang indah dalam bercinta.
Kita ambil haiku yang lain, misalnya :
NASIB TUBUH
tubuh harum
disimpan di mata
dikulum di peraduan
Jarak antara tubuh yang harum dengan peraduan begitu erat, dan itu mampu disimpan demikian lama dalam ingatan (mata) sehingga imaji dari hangatnya cinta itu mampu dihadirkan kapan saja dia mau, meski terkadang hanya sampai dikulum di peraduan, artinya tidak ada realisasi (hehehe). Masih banyak uraian seperti ini jika dilanjutkan, namun waktu dan tempat membatasi (disimpan buat cerita esok).
Terminologi ketiga adalah haiku yang berupa humor atau sesuatu yang yang memberi kejutan unik, yang disebut Senryu.
SENRYU
Selain Haiku, ada yang sebetulnya disebut Senryu (dalam Bahasa Jepang ditulis: Senryuu). Senryu dan Haiku sama-sama puisi Jepang yg disusun tiga baris dgn pola 5-7-5. Bedanya,. jika Haiku adalah puisi yang lebih mengutamakan kualitas kata dan kedalaman makna, (juga terikat dengan kigo, atawa kata yang menunjukkan musim), maka Senryu adalah jenis puisi yang lebih ringan dan santai, bisa berupa humor atau sesuatu yang memberi kejutan unik. Disebut Senryu karena puisi jenis ini dipelopori oleh penyair Jepang bernama Karai Senryuu (Kurniawan Junaedhie, 2015).
Menurut hemat saya, menulis Senryu lebih sulit dibandingkan Haiku, karena tidak semua kita memiliki sense of humor, tidak semua kita dapat menciptakan humor, bahkan pengakuan Pelawak TOP S. Bagyo saat ditanggap di lereng Merapi sebelum beliau meninggal dulu masih saya ingat, kurang lebih begini : “pengalaman tampil di lereng Merapi ini membuat bulu kuduk saya berdiri. Di sini saya gagal membuat orang tertawa. Setiap dialog yang saya ciptakan selalu ditanggapi serius oleh penduduk setempat sehingga tidak mampu menciptakan efek humor. Sebagai contoh misalnya ketika pak S. Bagyo berkata : ‘para sederek, kula niki pelawak lho’, dan dijawab kompak oleh penduduk setempat : ‘nggiiihh’ dengan nada serius. S. Bagyo pun berkeringat dingin. Nah, karena itu saya katakan bahwa menulis Senryu ini lebih sulit, karena di samping memerlukan penguasaan Haiku juga perlu penguasaan topik yang luas dan menarik atau bersifat humor, karena efek setelah membaca Senryu ini diharapkan pembaca mampu tersenyum, sokur tertawa terpingkal-pingkal. Namun di tangan Kurniawan Junaedhie, Senryu pun bisa mengalir dengan derasnya. Marilah kita nikmati Senryu karya Kurniawan Junaedhie di bawah ini :
PANDAI
Orang Jepang pandai haiku
Orang kita
serba pandai!
HAIKU
Nakamura San
Saya kurniawan
Lagi sariawan.
CELANA
Di pagi buta
Ada yang bercanda
Di balik celana
NASIB KAMBING
Malam dingin
Nasi goreng kambing
Menerbangkan burung
Indah, bukan ? KJ dengan jenaka menyindir kehidupan kita di sini, bahwa kita serba pandai, tapi pasti serba pandai yang negatif (di bawah Jepang jauh). Kita mengakui jika bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat maju, sangat disiplin, sangat tekun, pekerja keras, malu menadahkan tangan untuk meminta bantuan meski dilanda bencana, dan seterusnya. Jika orang Jepang pergi ke toko di luar Jepang, mereka akan memperhatikan barang-barang itu, dan sontak berkata : “kita bisa membuat barang ini dengan lebih baik dan dengan harga yang lebih murah”. Sedangkan bangsa kita setakat ini memang serba pandai : pandai korupsi, pandai menipu dengan berbagai profesi, pandai bertengkar, pandai menghujat, dan seterusnya.
Pada Senryu yang kedua KJ menertawakan dirinya (dan otomatis kita pun ikut senyum di kulum) dengan mengatakan ‘saya Kurniawan, lagi sariawan’ hehehe... apa urusannya hehe... dan senryu yang ketiga adalah humor khas dewasa, ‘ada yang bercanda di balik celana’, dan kita pun mafhum maknanya. Dan nasi goreng kambing yang bisa menerbangkan burung itu, hahaha setelah makan nasi goreng kambing biasanya para bapak terus kena penyakit mag haha... maksudnya mencari mama hehe... ma.. ma... Inilah yang saya kategorikan hahahaha. Sudah pasti dalam memasukkan haiku-haiku KJ ke dalam tiga terminologi di atas tidaklah bersifat rigit, pasti soal tafsir itu akan beraneka ragam sebanyak penafsirnya, dan itu justru akan mengayakan makna haiku-haiku tersebut, sehingga tidak lah perlu berdebat soal kategori.
WASANA KATA
Di akhir tulisan ini saya ingin sekali lagi menekankan bahwa sastra yang hidup adalah sastra yang dapat dinikmati oleh seluruh komunitasnya, sastra yang tidak personal, sastra yang tidak individualistik, sastra yang memberikan kenikmatan (dan oleh karena itu dapat menjadikan hiburan dalam menghadapi kehidupan yang memang sudah berat ini, dapat melupakan sesaat dari beban hidup, dan seterusnya), sastra yang mencerahkan, sastra yang hepi, dan seterusnya. Karena itulah saya menggarisbawahi pikiran Heru Emka yang mengatakan sebagai berikut :
“mereka yang belajar menulis haiku, dan terpaku pada aturan kaku gramatika haiku Jepang, hanya menghasilkan baris kalimat baku yang kaku, dan kehilangan momen puitik yang justru harus ditangkap dan diekspresikan secara minimalis dalam kalimat singkat, padat dan memikat. Inilah intinya : momen puitik yang harus diungkapkan….bukan aturan kaku tentang jumlah baris, hitungan suku kata, dan sebagainya,…(tradisi penulisan pendeta Zen juga terbentuk (oleh) wacana alam lingkungannya, di biara Budha di pedesaan, pegunungan dan sebagainya). Sedang kita ada di jaman modern, di tengah perkotaan, di mana masalah menangkap ‘keheningan’ menjadi persoalan yang lebih menantang. Situasinya amat berbeda, dan hasilnya pun tak mungkin sama (Heru Emka).
Akhirnya, selamat menulis Haiku. Selamat menikmati hidup yang gembira dan berbahagia.
Klaten, 19 Januari 2015.
Esti Ismawati
(Dosen Pengajaran Sastra Universitas Widya Dharma Klaten).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!