- catatan kecil buat Gumam ASA
Judul buku : Bungkam Mata Gergaji
Penulis : Ali Syamsudin Arsi
Penerbit : Frame Publishing, Yogyakarta
Cetakan pertama, 2011
Tebal : 145 + xiv halaman
Sebuah alternatif penulisan sastra ditawarkan Ali Syamsudin Arsy (ASA). Sang penulis menyebutnya Gumam asa. Tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dalam sebuah buku yang diberi judul Bungkam Mata Gergaji. Istilah ‘gumam asa’ ditawarkan karena tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini tidak ingin digolongkan sebagai prosa, puisi, apalagi disebut sebagai essay.
Benar. Kumpulan tulisan dalam gumam asa tidak bisa digolongkan dalam jenis sajak atau puisi. Prosa pun bukan. Apalagi untuk bisa disebut essay. Tulisan-tulisan yang dibukukan dalam buku “Bungkam Mata Gergaji” cenderung absurd, terlalu gelap, sangat rumit, terkesan ‘arogan’, dan sulit untuk dicerna pembaca awam. Saya katakan ‘arogan’ karena tidak mengikuti aturan baku yang berlaku dalam aturan penulisan.
Meskipun demikian, gumam asa mampu mengabadikan dan ‘memotret’ sebuah peristiwa dengan sudut angle yang berbeda dengan penulisan pada umumnya, selama ini. Karena saya tak menangkap guman asa hanya sekedar ingin menyampaikan kegelisahan sang penulis. Hal ini dapat kita baca dari setiap judul yang ada, dengan catatan apabila kita tak sekedar membaca. Melainkan berusaha melakukan kontemplasi atas setiap huruf yang tersusun dalam kata.
Sayangnya, barangkali, Ali Syamsudin Arsi tidak menyadari bahwa masyarakat kita sudah disibukkan dengan masalah ekonomi. Sudah terjerembab dalam hedonisme, materialistik, dan mengalami phobi dalam berbagai aspek. Karena itu, tulisan yang sifatnya rumit, absurd, gelap, dan (dalam pandangan umum) irrasional, belum tentu akan mendapat tempat dalam masyarakat kita yang cenderung pragmatis. Sesuatu yang bersifat kontemplatif akan menjadi terasing dalam masyarakat kita. Padahal, sebetulnya, yang ingin di’potret’ dalam setiap gumam asa adalah ‘peristiwa biasa’. Kejadian-kejadian yang belakangan ini menjadi lumrah. Padahal sudah tak sesuai dengan etika bangsa kita.
Jika tidak dilakukan perenungan, kita akan menganggap tulisan gumam asa jadi ‘arogan’ lantaran menyimpang dari kelaziman kaidah bersastra, apalagi mengacu kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk membaca gumam asa, kita ‘dipaksa’ mengerutkan kening terlebih dulu agar dapat menangkap maknanya. Ya, estetika yang ditawarkan Ali Syamsudin Arsi membuat kita harus ber-tafakur untuk memahaminya.
Simaklah tulisan gumam asa yang berjudul “Semakin Terbuka”
Bersuaralah tanpa ada batas-batas, menulislah tanpa ada titik-titik. Jangan biarkan tekanan demi tekanan menyelimuti sampai akhirnya tersungkur karena bentangan garis pembatas. Bersuaralah tanpa harus melihat ke kiri dan ke kanan, menulislah sampai tak tampak lagi apa yang seharusnya disampaikan. Mimpi yang terkepung dengan semua hasrat berjalan sendiri-sendiri di kerikil cadas. Semilir angin berhenti dalam. Sunyi kembali. Kalimat terpotong. Sunyi kembali. Wacana tak ada yang dapat diterima. Yang diluar dari kepentingan enyah sajalah sebelum diusir secara kasar. Demo tidak ada ujungnya, protes tak akan didengar juga. (halaman 67).
* * *
Apabila Sutarji Calzoum Bachri ingin membebaskan kata dalam pengertian ide atau beban makna yang telah disepakati masyarakat umum. “Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka. Seperti kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral. Kata yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscence) serta penjajahan gramatika,” demikian SCB dalam kredo puisinya.
Maka, Ali Syamsudin Arsi justru mengatakan sebaliknya. Bahwa kata-kata tidak mungkin bebas berdiri sendiri tanpa ada kata lain yang mendampinginya. Seperti yang ditulisnya dalam catatan kreatif yang terdapat dalam buku “Bungkam Mata Gergaji” yang diterbitkan oleh Frame Publishing, Yogyakarta. Ali Syamsudin Arsy (ASA) mengatakan “Setiap kata memiliki garis edar dan rotasinya sendiri-sendiri. Tapi setiap kata sangatlah sulit bila ia bersikukuh untuk berdiri sendiri tanpa ada kata-kata dan kata serta kata-kata selain kata itu sebagai kata. Dari kata-kata di luar kata dirinya sendiri adalah bagian dari perjalanan secara menyeluruh. Walau, memiliki takdir masing-masing. Dan kata harus menyadari makna dalam dirinya. Perjalanan gumam adalah perjalanan kata dengan segala kekerasan kepalanya. Gumam memang keras kepala. Keras kepala dengan segala vitalitas, motivasi, semangat dan intensitas. Berjalan pada jalur yang tetap ditata, dijaga dan konsisten.”
Padahal, kalau mau jujur, kredo yang diusung SCB hanyalah pembelaan diri agar sang ‘presiden penyair’ (tapi nggak ada menteri penyair, wakil menteri penyair, apalagi rakyat penyair) bebas menggunakan kata-kata kotor seenaknya sendiri. Dengan kredonya, SCB merasa ‘merdeka’ untuk menggunakan kata jembut atau zakar, misalnya, dalam sejumlah puisi yang ditulisnya. (kendati sudah beberapa tahun belakangan ini sang ‘presiden’ memilih penulisan puisi sufistik)
Hanya saja, sang ‘presiden’ mendapat dukungan dari berbagai pihak. Lantaran kredonya termuat di majalah Horison – majalah yang dianggap punya otoritas untuk membaptis seseorang menyandang gelar sastrawan. Maka, kredo SCB seakan-akan menjadi sesuatu yang inovatif. Apalagi kemudian SCB menghubungkan penulisan puisinya dengan mantra.
Membandingkan ASA dengan SCB, barangkali, kurang bijak. Tetapi, apabila dibandingkan dengan kredo SCB, gumam asa – menurut saya – lebih kreatif, inovatif, dan menawarkan hal-hal yang bersifat kontemplatif dalam setiap guratan katanya. Yang menjadi masalah sekarang, apakah gumam asa akan dikritisi sebagaimana Kredo SCB. Apa ia hanya akan menguap begitu saja ditelan waktu. Bukan hanya tidak diperhatikan atau ditengok. Bahkan, mungkin, dilirik pun tidak oleh para sastrawan senior.
Bila boleh diibaratkan manusia, gumam asa adalah bayi. Masih telanjang. Bugil. Polos. Lugu. Belum tersentuh aroma bedak. Belum bisa memakai baju sendiri. Hanya bisa menangis dan menangis. Perlu ditangani orang lain. Belum bisa makan sendiri. Belum bisa memakai baju sendiri. Masih bau ompol. Memang. Bayi terkesan arogan. Tak tahu aturan. Dimana ia mesti buang air. Di mana tempat yang tepat memaksa ibunya untuk menyusuinya. Ia tak peduli. Yang pasti, bayi masih penuh kejujuran. Kejujurannya tidak dibuat-buat. Ia tak pernah mengeluhkan sesuatu yang tidak sepatutnya dikeluhkan. Tidak pernah menuntut macam-macam. Apa adanya. Boleh jadi bayi jadi punya maqom setingkat wali. Karena ia belum berdosa. Keperluannya datang sendiri. Tetapi, meskipun demikian yang namanya orok belum tentu semua orang akan menyukainya. Bahkan tak tertutup kemungkinannya orok bisa tak dipedulikan orangtua sendiri. Ya, ketika hati nurani tak lagi menjadi pertimbangan. Tatkala rasa sudah tak lagi punya rasa.
Nah, demikian juga dengan kehadiran gumam asa dalam ranah sastra Indonesia. Belum tentu para seniornya akan dapat menerimanya. Kendati beberapa alternatif estetika ditawarkan. Inovasi-inovasi cerdas digulirkan. Meskipun, sepintas lalu, terlihat irregulatif cara-cara Ali Syamsudin Arsi bertutur.
Kendati demikian, Ali Syamsudin Arsi tidak perlu berkecil hati. Sebab seperti pernah disampaikan Putu Arya Tirtawirya (PAT) dalam wawancara tertulis dengan penulis. PAT menyatakan penyair sejati tak membutuhkan kritikus. Sajaknya dikritisi atau tidak, penyair sejati akan tetap menulis dan terus menulis. Hal yang senada juga pernah disampaikan Eka Budianta dan Sapardi Djoko Damono, beberapa tahun lalu, kepada penulis. Karena itu, andaikata upaya ASA mempertahankan sikapnya dalam menulis yang disebutnya dengan gumam asa tak dilirik para sastrawan senior, gumam asa harus tetap eksis. Suatu ketika, percayalah!, gumam asa akan mendapat tempat di hati penikmat sastra. Karena sesuatu yang baru biasanya mendapat tantangan demikian. Hanya saja, kapan waktunya gumam asa akan diterima sebagai ‘aliran’ baru dalam ranah susastra Indonesia. Entahlah!
* * *
Saya perlu menggaris bawahi di sini bahwa Ali Syamsudin Arsi, dalam gumam asa, sebagai seorang sastrawan ia menawarkan inovasi kreativitas. Namun, sebagai guru (?) justru ASA telah melawan kelaziman berbahasa Indonesia yang ‘baik dan benar’ karena kaidah-kaidah ketatabahasaan benar-benar dienyahkan. Ada pemberontakan etika komunikasi dalam bahasa.
Andaikata tulisan-tulisan yang terkumpul dalam Bungkam Mata Gergaji disajikan dalam bentuk yang tidak gelap. Seperti yang dilakukan Than Youjin – penulis Singapura – dalam bukunya yang berjudul Shang xin de Shui (diterjemahkan Wilson Tjandinegara “Air Ajaib yang Merana”) pasti akan lebih cantik. Ia akan bisa ‘dikunyah’ oleh siapa pun. Message-nya pun akan sampai kepada komunikan. Sebab apa yang hendak disampaikan keduanya hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Meski dengan kacamata yang berbeda. Namun, jika cara penyampaian aneh. Menyimpang. Nyentrik. Eksentrik. Janggal. Tidak lazim. Belum tentu gumam asa akan dijadikan ‘makanan’ masyarakat. Boleh jadi Message-nya pun hanya akan tertulis laksana prasasti. Tetapi, tidak tertutup kemungkinannya, gumam asa baru akan ter’cerna’ pembaca setelah sekian puluh tahun kemudian.
Terlepas dari semua itu, yang pasti sebuah prestasi telah ditelorkan oleh Ali Syamsudin Arsi. Paling tidak, buku ini dapat menambah deretan daftar buku sastra di negeri kita tercinta ini. Namun, semuanya tergantung waktu. Bagaimana pun juga, waktu tetap akan mengadili karya sastra ini.* * * Humam S. Chudori, novelis, tinggal di Jakarta.
Judul: Selia
(Antologi Puisi)
Penulis:Mahmud Jauhari Ali
Tebal: v + 76 halaman
Harga: @Rp 20 ribu
Judul: Lingkar Kata
(Kumpulan Artikel)
Penulis:Mahmud Jauhari Ali
Tebal: iv + 132 halaman
Harga: @Rp 25 ribu
Judul: Lelaki Lebah (Novel)
Penulis: Mahmud Jauhari Ali
Tebal: iv + 308 halaman
Harga: @Rp 40 ribu
Judul: Kupu-Kupu Kuning
(Antologi Puisi)
Penulis:Mahmud Jauhari Ali
Tebal: iv + 72 halaman
Harga: @Rp 20 ribu
Judul: Imanku Tertelungkup di Kakinya
(Kumpulan Cerpen)
Penulis:Mahmud Jauhari Ali
Tebal: 111 halaman
Harga: @Rp 20 ribu
Diterbitkan Araska, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!