Sebelum menulis ini, ada ruh-ruh menawarkanku untuk melewati gelombangnya, sedenyar cahaya bertumpuk-tumpuk pelbagai warna fajar atau senjakala bertuah. Ruh suara itu kadang mengambang, menelisiki ceruk bumi rahasia, dikala naik setinggi derap selat Sunda. Berhamburan sumringah mengabarkan gugusan kilau tak terkira.
Aku mereka-reka di antara ombak yang berkejaran, berpelukan dalam hangat penciuman maut. Kehakikian kasih melingkupi jangkauan, serupa malam disepuh purnama, dikala siang dicahayai kemabukan kerja. Lantas bertubi-tubi datang sinyal tak kukenal bagai lukisan-lukisan asing namun teramat dekat dengan kepastian; sayatan pilu, keluhan tak luruh mengabadikan tembang-tembang kalimah pujian.
Sedikit kugeser letak bersila, ada sebentuk paku mencincang tubuh menancapi gunung Krakatau dengan nyala selalu menghamburkan kilatan api. Disusul rintikan gerimis turun membekukan ingatan, menggigilkan kekhusyukan, diruapi yang tak kekal bermutiara kesucian, melewati jari-jemari air langit membiru nan membentang.
***
Dalam cerpen-cerpennya, ada keyakinan meleburkan jiwa-raga. Perasaan semesta kepatuhan kepada nilai-nilai moyang menjaga dalam sikap menafaskan kata, dibumbuinya helahan nafas. Dan tiap titik ditekankan kausalitas tak terbantah; bayu lembut kadang bening padat, dibagi-bagikan seluruh tarikan nafas pembaca, realitas hari-hari diperas, dimasa membetot akar-akar jantung pemuda.
Tidakkah gelombang jiwa mengamuk, menumpaskan segenap tanjung karang kebisuan, dipukuli wewaktu syahdu. Pada gilirannya menempeli pohon kesejatian, menjelma getah yang kelak merekatkan ingatan. Pepundi lama dipunggah, tangis pantai jeritan batu bergema, di dalam relung-relung hati yang dahaga; kesunyian sujud melekat panjang di lantai marmer pendapa.
Aku tatap potongan untaian rambut kalimahnya bersimpan air mata yang pada bagian-bagiannya membuai makna. Ujaran hidup untuk bersungguh menempuh tapak langkah menuju gubuk pertapaan.
Kupandang dedaunan kehidupan penyapa, peputik kembang memberi kecupan, yang diantar angin pagi memerah. Batuan terinjak betapa santun menerima pengertian, kala mengupas lelapisan cangkang usia.
Hampir setiap mata menyapa, ada kedip takdim, bibir terkatup berdecak kagum. Entah, ia telah meloloskan berapa takdir hingga jiwanya merdeka. Setidaknya itu hukum kebebasan mencipta dari pengurbanan; yakni kalbu teduh akan tentram, kegusaran sebab dinaungi bayang-bayang buram kejahiliaan.
***
Bagi penyimak tak kenal lelah dipenuhi ubun-ubunya pelbagai titah, bagi pembaca pemalas cukup tersedia kilatan dentingan besi bertubi-tubi melelahkan. Antara itu, keterjagaan kantuk-kesadaran memilih kata.
Seperti seorang empu memilah bahan apa saja guna melengkapi mantranya. Karyanya seonggokan kayu jati sekokoh balada, hingga hikayat dilantunkan berabadi ke tepi-tepi cakrawala, di setiap ruang-waktu menujum berkah.
Entah berapa kali meyakinkan kata, ditempatkan di posisi semestinya, yang hampir ke derajat takdirnya. Umpama pahatan wirid memancar sekeliling pelosok sejati rasa; kebeningan tekad seagung memaklumati persendian karya.
Ketabahan telisik membuatnya mampu bertahan atas apa yang dibangun di setiap cerpennya mempunyai ruh menggumpal keras; udara tersusun nafas-nafas ketelatenan mengudar tanpa pamrih, hanya teruntuk sikap menundukkan jiwa angkuh.
Tepatnya menyantunkan para pembaca seperti tak disengaja. Lantaran kepastian bola matanya tertuju ruang hampa, yang disuguhkan tidak terdesir nalar sebelumnya, tak terfikirkan sketsa yang sudah-sudah.
Memang gagasannya tak selalu baru, tapi murni daya penceritaannya mengundang penasaran. Rupa takdir dinanti banyak orang di suatu negeri akan hari-hari besar, yang digapai ikhtiar menderas dari belakang.
***
Ia belum banyak dikenal, tetapi meski begitu ada harapan besar melebihi gelombang di pantai ujung pulau Sumatera. Jikalau sikap kewaspadaan dirawat, ingatannya tetap menujah bumi pertiwi, dan semangatnya serentetan ke pepulauan di Nusantara.
Syarat-syaraf cerpennya sangat lain dengan yang bertebaran di media massa. Entah keyakinan sekesumat bagaimana, dirinya menetapkan keteguhan demikian purna. Keinsyafanya seperti petapa di belantara kota, bebuah lampu bergelantung, kabel-kabel bergelayut setangkai kembang malam. Ia memasuki lorong sunyi, keadaban silam-semilam sedengungan purba, ditarik sepanjatan doa ibunda bagi anak-anaknya, di bencah perantauan akal budhi manusia.
Pancakan nafas karyanya merasuki takdir abadi. Mungkin mereka tak mengelak jikalau ia kusebut tengah disusupi auranya May Ziadah yang menanti Gibran diselumuti kabut misteri, atau ayunan langkah seanggun Rabi'ah Al Adawiyah. Atau pemberontakkan sepedas Nawal El Saadawi? Ahai, hanya takdir dirinya menjawab. Kelak di atas pancaran sekarang, yang lalu pondasinya mengencangkan setiap tekat, seulet tali-temali tambang pelabuhan.
Sebagian karyanya mengingatkan aku pada cerpen-cerpen karangan Mustofa Bisri, dan almarhum Zainal Arifin Thoha. Yang berangkat dari realitas hikmah oleh sumur abadi, pada ujaran-ujaran pekerti yang diyakini. Maka barangsiapa meneguknya memperoleh pengetahuan, sejumlah cidukan dari kisaran digeluti sehari-hari.
Seperti para ulama’ sufi mengudar hikayat sahabat-sahabatnya, atas pantulan cermin kebertemuan cahaya. Atau perasan intisari di bawah pengendapan bertumpuk memendarkan tafsir, yang berbenang merah halus tetapi besar gulungannya, sehingga tak melenceng sedari tahap tingkatan waktu, dan nilai yang dibangun.
Seakan tak dapat disangkal, ia menulis tak bertujuan menjadi pengarang, namun hasratnya menggerakkan kalbu pembaca semisal bayu menerbangkan dedaunan menggoyang lekat di pohonnya; bebatang, reranting, kekulit berpori-pori mencecap kehalusan budi bahasa. Umpama sap-sap gelombang nan halus tingkatannya, kekhusyukan pembaca menjadi penentu kepenuhan yang disimaknya.
La-Lamp-Lam Juni 2011
http://sastra-indonesia.com/tag/sw-teofani/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!