oleh Mulia Jaya
Lihatlah kupukupu itu ibu. Terbang di laut debu. Menggunting harapan terbelah. Tubuh lembutnya dibalut beludru kemayu. Menyetubuhi angin hingga berbau. Ah sayapnya bak ragam pelangi. Tapi ibu, matanya tertutup Kristal nuansa merah.
Lihatlah kupukupu itu ibu. Terbang di laut debu. Menggunting harapan terbelah. Tubuh lembutnya dibalut beludru kemayu. Menyetubuhi angin hingga berbau. Ah sayapnya bak ragam pelangi. Tapi ibu, matanya tertutup Kristal nuansa merah.
“Bukan Kristal nuansa merah anakku. Melainkan airmata telah mengeras menjadi batu. Ibu mengira ada yang menyayat hatinya. Terluka menderaskan airmata. Namun tiadalah sanggup tertumpah hingga menggantung di sudut mata. Kemana engkau terbang wahai kupukupu sayang? Tidakkah engkau senang mengkitar padang ilalang yang dirimbuni cakar bunga madu? Apa yang engkau lakukan di lautan hampa?”
Ibu. Kupukupu pelangi kita terhempas. Kristal airmata berderai. Sayap pelangi patah. Kepalanya mengucur darah. Mungkinkah ia akan mati ibu?
“Anakku. Kupukupu pelangi seindah ini. Terbang di laut debu. Pasti bukan sematamata menjemput kematian. Ibu menyangka ia menjalani takdirnya sebagai kupukupu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!