Sabtu, 10 September 2011

Mengapa tak Kaudengarkan Doktrinku

Oleh Daian (Diyan Kurniawati, dicomot dari Kalimantan dalam Prosa Indonesia yang dieditori Korrie Layun Rampan)



Tak terasa sampai juga waktu di terik mentari. Panas menyengat membuat otak kita seakan-akan memuai. Kuedarkan waktu berulang-ulang menembus hamparan terik ini. Aku kembali terduduk di meja kerja. Bercengkerama dengan segala “prosedur” proyek, pengajuan proposal, tarik ulur penawaran barang, dan semacamnya. Terik di hari itu tak ikut membantu menyejukkan otak, meski kunyalakan AC dengan suhu terendah, tetap saja otak ini ikut terik. Ketika kuperiksa satu lembar draf penawaran, hatiku terganjal oleh harga barang yang sangat rendah, yang ditawarkan di situ. Kupanggil stafku untuk menanyakannya. Biasanya perusahaan tak pernah mematok harga serendah itu untuk konsumen. Ada mark-up dua kali lipat yang biasa dilakukan. Memang sih, dengan harga rendah yang ditawarkan, kami sudah meraup untung yang lumayan. Tapi, toh proyek yang dilaksanakan harganya pasti masih dinego, jadi tak masalah bila kami mematok harga yang tinggi, setinggi-tingginya. Prinsip ekonomi Adam Smith harus terus dilanggengkan bukan? Jadi, apa-apaan ini, stafku memasang harga rendah itu. Staf bagian penawaran ini memang staf baru. Dia masih harus banyak “belajar”, bisikku sendirian.

“Saya sudah menghitung seluruh beban operasional, Pak,” katanya ketika aku menanyakan mengapa ia menuliskan penawaran barang yang sangat rendah.

“Lalu ….,” pancingku ingin mengetahui jawaban selanjutnya.

“Dengan harga yang Bapak katakan rendah itu, kita sudah mendapatkan untung yang banyak,” lanjutan jawabannya membuatku agak terkejut. Staf baru yang pemberani. Bibit-bibit sok pintar dan pembangkang tampak mulai kulihat di wajahnya.

“Anda lumayan pintar, tapi masih belum cerdas dalam bidang perbisnisan,” doktrinku mulai kulontarkan, supaya dia tahu, ini bisnis, bukan ajang idealis. Kulihat ia mulai bersungut.

“Maksud Bapak?” komentarnya.

“Maksud saya, kita harus memasang harga yang setinggi-tingginya. Konsumen proyek pasti masih akan menawar dengan harga lebih rendah dari yang kita ajukan. Toh kalau kita punya untung banyak, perusahaan termasuk Anda yang akan menikmatinya,” lanjutku panjang lebar.

“Tapi, Pak. Jangan-jangan konsumen proyek tak melirik kita karena harga yang kita tawarkan terlalu tinggi. Kita harus melihat harga pesaing juga, Pak. Kita tak bisa memasang harga yang terlalu tinggi,” rupanya anak baru ini ingin tak segera mengalah. Akhirnya, …

“Anda harus banyak belajar. Jadi, ganti seluruh harga di berkas penawaran ini,” aku ingin menyudahi perdebatan ini. Segera kubalikkan badan ke laptop. Artinya, aku tak ingin “diganggu” lagi.

Dia terduduk membisu sambil memandang seluruh berkas yang baru diserahkan padaku. Sepertinya dia hendak berkata-kata lagi, tapi melihatku bergeming dari laptop, dia lekas keluar sambil membawa berkas penawaran itu.

Siang terik semakin terik setelah perdebatan itu. Sungguh, virus baru perusahaan, bisikku dalam hati.

***

Esok harinya, kulihat belum ada berkas harga yang kemarin kukembalikan pada staf baru itu. Di mejaku hanya ada daftar proposal penawaran tanpa disertai daftar harga. Aku hanya geleng-geleng kepala mendapati staf baru yang ternyata tidak dapat segera memenuhi perintahku! Lalu kuminta sekretarisku memanggilnya.

“Saya masih belum dapat memark-up harga ini begitu besar, Pak,” katanya ketika kutanya mengapa ia belum juga menyerahkan revisi daftar harga kemarin.

“Anda sarjana ekonomi, bukan. Soal hitung menghitung tentu tidak ada masalah. Kita harus bertindak sesegera mungkin. Tidak hanya memikirkan suatu hal terlalu lama!” kataku lagi. Ia hanya terdiam tanpa berkata apa-apa.

“Konsep perusahaan ini terlalu berbeda dengan saya, Pak. Jadi, saya masih harus berpikir ulang apakah akan mengerjakan tugas yang Bapak perintahkan pada saya atau tidak,” ia berkata-kata seolah-olah aku bukanlah pimpinan yang menggajinya.

“Jadi, Anda siap hengkang dari perusahaan ini dengan pengalaman bekerja yang hanya sebulan?” kataku tanpa berbasa-basi lagi.

Ekspresinya tidak terlalu terkejut. Mungkin ia sudah mengira bahwa akhirnya bosnya: aku, berkeinginan untuk memecatnya. Ia kembali sibuk menghitung daftar harga yang aku sodorkan kemarin. Entah apa benar ia me mark-up seperti yang aku sarankan kemarin atau tidak.

***

Hari sudah kembali terik, seperti kemarin. Staf baruku itu kembali masuk. Ia lalu duduk dan menyerahkan sebuah amplop surat.

“Saya menyerahkan surat pengunduran diri, Pak,” katanya lagi.
Aku terkejut mendengarnya. Tak kusangka secepat itu ia memutuskan hengkang dari perusahaanku yang cukup bonafid. Setiap pendaftaran pegawai dibuka, berbondong-bondong orang antri untuk mendaftar. Hanya sekian persen yang kuterima dan ia salah satunya. Kerja keras yang setiap beberapa tahun harus kulakukan untuk “peremajaan manajemen” perusahaan. Ternyata aku memilih orang yang salah, bisikku dalam hati lagi. Siang terik menjadi semakin terik. …

“Kenapa Anda tidak mau belajar lebih lama lagi di sini. Satu bulan belum cukup untuk belajar. Saudara belum mengetahui seluruh seluk beluk kantor ini,” aku mencoba mempertahankannya. Bagaimanapun waktu dan tenagaku sudah tersita banyak untuk memilihnya sebagai salah satu pegawaiku. Doktrin-doktrinku yang selama ini diikuti banyak pegawai, mengapa kali ini gagal? Aku mulai penasaran, dan kembali menggencarkan doktrin-doktrinku. Permainan yang mengasyikkan!

“Tapi, Pak. Konsep perusahaan ini sepertinya sudah sangat berbeda dengan saya,” ia masih saja mengelak dari doktrinku.

“Mengapa Anda tidak menyesuaikan dengan perusahaan. Seharusnya Anda mati-matian berjuang demi kemajuan perusahaan,” doktrinku lagi.

“Tidak bisa, Pak. Kita harus punya ide dalam berpikir, tidak mesti sama dengan mayoritas. Demikian pula saya. Ada ide yang tidak se-ide dengan saya di perusahaan ini” kenapa ia yang justru gantian mendoktrinku. Hah!!!

“Baik, saya berhentikan Anda dengan hormat. Terima kasih telah sekian hari bekerja sama dengan saya,” kataku tanpa basa-basi lagi. Doktrinku kali ini gagal. Sungguh memalukan!!!

***

Beberapa hari kemudian sudah berdiri di depanku seorang pegawai baru, pengganti stafku yang dulu. Semoga cukup layak, batinku sesaat. Aku berharap banyak pada staf terbaruku ini. Kusodorkan konsep perusahaan tentang proposal penawaran tentu saja beserta daftar harga yang tentu saja harus di mark-up sedemikian tinggi.

Ia tampak manggut-manggut ketika mendengarkan doktrinku. Tapi kenapa ia tidak berkomentar? Ia diam saja. Mungkinkah ia sedang berpikir untuk melawan doktrinku???? Semoga tidak, bisikku sendirian.

Esoknya, ia kembali dengan berkas penawaran yang aku minta. Semua berkas lengkap, lalu kucek …daftar harga yang ada di dalam berkas itu. Dan, ia membuat persis seperti stafku terdahulu, cukup rendah menurutku.

“Mengapa seperti ini?” kataku sambil menunjuk daftar harga itu.

“Itu sudah saya hitung, Pak. Dengan harga itu kita sudah mendapat untung, Pak,” jawabannya persis seperti stafku yang dulu. Aku pusing. … Kuulang semua doktrin yang pernah kuucapkan pada stafku yang dulu. Tapi, ternyata ia menjawab dengan nada membangkang.

“Bapak harus percaya. Perhitungan saya matang dan cermat sesuai dengan rumus yang ada di ekonomi. Jadi tidak mungkin kita rugi. Saya jamin,” katanya membuatku agak kaget.
Aku lalu agak membuang muka. Agak malas mendengarkan ocehan anak kemarin sore tentang bisnis yang tiba-tiba sangat sombong. Lalu hanya ada beberapa kata yang kukeluarkan padanya.

“Lakukan apa yang saya perintahkan!!” aku sendiri agak kaget mendengar suaraku begitu keras.

Staf baru itu agak kaget mendengarnya. Ia segera keluar sambil membawa berkas penawaran itu. Aku puas! Ternyata ia hanyalah anak kemarin sore yang tidak tahan dengan bentakan. Esoknya ia tidak muncul di depanku. Hanya di sore harinya, ia berdiri mematung sambil menyerahkan surat pengunduran diri. Doktrinku lagi-lagi tak didengarkan!!

***

Untuk ketiga kalinya, ada staf baru yang muncul menggantikannya. Pengalaman buruk dengan dua kali ditinggalkan oleh stafku, untuk yang ke tiga ini aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Kucoba sehalus mungkin menasihatinya, tanpa emosi. Perlahan tapi pasti sajalah.

“Tapi sangat susah menyelaraskan konsep pemikiran saya dengan dengan Bapak,” perkataan staf yang paling baru itu sungguh mengejutkanku. Baru sekali kunasehati. Tapi sepertinya ia enggan mendengarkan aku lebih lanjut. Dan …. aku memutuskan, ia tidak cocok berada di perusahaanku!!!

Siang kembali terik…. Aku heran kenapa akhir-akhir ini doktrinku tak berhasil memengaruhi orang lain. Padahal berbagai cara kulakukan untuk menajamkan aura beserta perantara-perantara untuk memuluskan jalan itu, supaya orang lain cepat terpengaruh perkataanku. Kupandang cincin yang melingkar di jari manis sebelah kiri: itu adalah salah satunya. Apakah cincin ini sudah tidak berfungsi lagi?

***

Suatu siang yang sangat terik, kuterima kabar bahwa Ki Setyo, pemberi cincin itu, telah meninggal beberapa waktu yang lalu. Pantas, doktrin-doktrinku akhir-akhir ini selalu gagal. Dan …. berarti …. cincin itu tak akan berguna lagi. …. Tapi… tenanglah karena … AHAA, AKU MASIH PUNYA GELANG PEMBERIAN KI SAPTO! DOKTRIN-DOKTRINKU PASTI AKAN KEMBALI AMPUH!!!


Samarinda, Selasa, 21 Oktober 2008, 15.00 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!