(Catatan Kelahiran sebuah puisi hasil perkawinan Dimas Arika Mihardja & Yessika Susastra)
Dimas Arika Mihardja
DUDUK DI BERANDA RUMAH CINTA saat senja, Yessika Susastra menyandarkan kedpalanya ke bahu. Kata Yessika, nyaris berdesah, “Mas....”, begitu lirih suaranya, tetapi nafasnya begitu tegas melafazkan sesuatu yang dirindukan. Mata Yessika menatap sebuah medali perak sebagai penanda prestasi anak kedua meraih pemenang kedua lomba menyanyi tingkat propinsi .
Arlojii di pergelangan tangan masih bertik-tok beraturan. Kataku, “kenapa memandangi medali perak itu?” Yessikia tak menjawab, melainkan melangkah mengambil laptop lalu mulai menulis sebuah judul 24 KARAT NIKAH ILALANG SAAT BERJALAN KE BARAT. Kebiasaan Yessika yang kuhafal, selalu menulis judul puisi yang panjang, yang lalu ingin diurai dalam satu tubuh puisi. Aku segera memahami apa yang diinginkan dan dirindukan oleh Yessika, kali ini Ia mengajak menulis puisi kolaborasi. Setelah menulis judul panjang itu lalu kutulis [Kolaborasi Yessika Susastra dan Dimas Arika Mihardja] di bawah judul dan menulis bait pertama. Bait pertama yang kutulis itu seperti ini:
senyummu 24 karat, dinda, mengambang di muka pintu
saat geriap sore meronce bunga belimbing
di halaman rumahmu, dan burung-burung kecil
lincah saling berkejaran
Dengan bait itu saya hendak mengatakan bahwa sejak mula bertemu, senyum Yessika Susastra mampu membiusku, saat pertama bersua 25 tahun lalu di sebuah desa Sidodadi di Metro, Lampung Tengah. Sebuah perjumpaan yang mengesankan. Saat itu, aku sengaja bertamu setelah kedua orang tua di Jogja memberi tahu dan berpesan agar aku mampir ke tempat “saudara” (tetangga) yang kini bermukim di Metro Lampung Tengah. Sebagai tamu, saat itu aku duduk di teras rumahnya sebelum senja menjadi lengkap, alias sore. Di depan rumah Yessika, tempaat aku bertamu ada pohon belimbing, burung-burung kecil yang bercanda membangun sarang.
Saat santai di teras rumah sebagai tamu, aku melihat dua gadis (Yessika Susastra dan kawannya) bercanda sepulang sekolah di sebuah SMA Muhammadiyah di Metro, Lampung Tengah. Aku terpikat oleh senyum yang rekah, dan kian terpikat pada senyum itu setelah tahu, itu milik Yessika yang hari itu pertama kali kukenal. Bait yang kutulis itu alih-alih menyumbulkan kenangan lama saat bersua pertamaa kali yang menumbuhkan rasa simpati dana getar-getar aneh—jatuh hati mungkin begitulah istilahnya. Setelah bait 1 selesai kutulis, laptop kuserahkan pada Yessika, sementara kutinggalkan Yessika menulis dan merampungkan bait lanjutannya, lantaran pada bait 1 aku memasang pertanyaan/pernyataan, maka selanjutnya Yessika Susastra menulis bait 2 berikut ini:
begitulah kanda, aku pun melihat semut hitam berbaris
di atas bibirmu; manakah aku melupakannya?
dalam pikiranku saat itu, semut aja berbaris
mungkin tutur katamu begitu manis
Setelah menghabiskan sebatang 234 Super Premium, aku kembali mendekati Yessika Susastra dan membaca bait 2 yang dirampungkannya. Aku senyam-senyum sendiri saat Yessika mulai mengusili kumisku. Ah, rupanya ada juga kumis yang manis yua? Hehehehehehe lalu aku menulis sebuah larik untuk bait 3, disusul baris Yessika, dan kami berdua sepakat mengunci puisi bersubjudul 24 Karat itu dengan bait 3 seperti ini:
kau dan aku lalu duduk di teras
memandang luas rumpun bambu dan semak perdu
seluas itulah dada cinta kita
Lalu Yessika kembali menulis subjusul puisi [NIKAH ILALANG] yang diikuti baris bertama dan kedua, lalu aku melanjutkan baris yang ditulisnya jadinya seperti ini:
[NIKAH ILALANG]
ilalang tak pernah melupa sembahyang
tumbuh di taman depan rumah
tengadah di belakang dan samping rumah amanah
telah kuterima akad nikahmu saat langit warna beludru
dengan mas kawin senyum ketulusan
dan janji seia sekata
selembar sajadah
dan desah pasrah
Untuk subjudul [NIKAH ILALANG] kami sepakat untuk mengisinya satu bait saja. Kenapa? Bait (bahasa Arab) bermakna rumah. Kami sepakat membangun rumah (ibadah) dengan mahligai perkaewinan dalam satu bait saja. Ya, kami sepakat membubuhkan nuansa dan muatan religius di dalam sartu bait ini. Religiusitas itulah yang kami sepakati untuk mewadahi puisi yang dimaksudkan sebagai kado ulang tahun perkawinan perak (25 tahun, pada 10 Juni tahun ini).
Lalu, sebagai penanda bahwa kami telah berjalan ke barat, memasuki senja dan menetapkan arah kiblat, pada subjudul terakhir dengan jemari seakan menari Yessika menuliskan judul [BERJALAN KE BARAT] dan aku sebagai lelaki mengindentifikasi diri sebagai matahari dan menulis satu bait setelah judul yang ditulis oleh Yessika, sehingga terbacalah puisi itu seperti ini:
[SAAT BERJALAN KE BARAT]
kini matahari telah condong ke barat
semburat bianglala mewarna
di dada kita, dinda
ini telaga kita, kanda
enyahkan jelaga
ya
2012
Kata “ya” di larik terakhir selain sebentuk ungkapan persetujuan, alih-alih aku ingin mengatakan bahwa kami berdua di ruang sholat sedang gandrung membaca Yassin, tetapi untuk kepentingan puitik hanya saya tulis “ya” saja. Begitulah riwayat kelahairan puisi hasil perkawinan sepanjang siang hingga sore. Intinya, saat itu kami berdua kembali pacaran di beranda rumah cinta, sembari mengenang genangan kenangan masa lalu. Kolaborasi ini sengaja kami pilih untuk merayakan perasan perasaan cinta yang setiap saat menetes dan meruah di dalam rumah. Ya, Yessika adalah sosok yang penuh cinta. Tak hanya mencintai suami dan anak-anak, orang tua dan saudara, termasuk tetangga, melainkan cintanya meruah pada sejumlah ayam yang dipelihara, kepada kucing-kucing yang dibuang orang lain lalu dirawaat di rumah dengan kasih sayang, dan cintanya pun dibadi pada ikan-ikan di kolam depan rumah atau ikan-ikan di aquarium, tak pula lupa selalu menyirami Gelombang Cinta—sebuah bunga berdaun lebar dan bergelombang.
Jambi, 14 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!