(Melengkapi tulisan Tarman Effendi Tarsyad, “Publikasi Kesusastraan Kalimantan Selatan 2000 – 2011 )
Oleh : Ali Syamsudin Arsi
Tulisan panjang dari Saudara Tarman Effendi Tarsyad berjudul ‘Publikasi Kesusastraan Kalimantan Selatan 2000 – 2011’ yang dimuat bersambung oleh Koran Media Kalimantan pada hari Minggu 4 Maret juga pada Minggu 11 Maret 2012 merupakan catatan penting sebagai dokumentasi sastra.
Sebagai dokumentasi sastra maka tulisan itu sangat berdampak kepada sejarah perjalanan sastra di Kalimantan Selatan.
Selain Tarman Effendi Tarsyad biasanya ada Tajuddin Noor Ganie dan Jamal T Suryanata bertindak sebagai ‘pencatat sastra’ pun sebagai ‘pengulas karya sastra’. Untuk urusan ‘pendokumentasian’ kita lebih mengenal Tajuddin Noor Ganie, Maman S Tawie serta YS Agus Suseno.
Apa yang mereka lakukan dalam kerja pendokumentasian itu tentu sebuah kerja yang sangat menguras tenaga dan bahkan biaya, kalau mau dikatakan sebagai ‘tempat dokumentasi yang lengkap, selengkap-lengkapnya’.
Begitu pula dengan kerja yang telah dilakukan oleh Tarman Effendi Tarsyad, yang bukan saja melakukan ‘pendokumentasian’ tetapi juga telah ‘mempublikasikan’ data-data dokumentasinya.
Ada kekhawatiran kita bila dokumentasi sebagai data itu kemudian dipublikasikan tetapi tidak ditelaah secara mendalam kelengkapannya, sehingga dapat menjadikan data itu asal tulis dan asal publikasikan saja. Kalau hanya sekedar data pribadi maka boleh jadi ia tidak lengkap, tetapi bila dipublikasikan maka alangkah eloknya bila melalui tahap-tahap ketelitian agar tidak ada data yang ‘tercecer’ atau memang sengaja ‘dicecerkan’.
Bagaimana pun juga kita harus berterima kasih kepada Saudara Tarman Effendi Tarsyad yang telah menghimpun data, memperhatikan dengan seksama, kemudian berupaya menyusun serapi-rapinya pada fokus publikasi kesusastraan yang ada di Kalimantan Selatan dalam kurun waktu 2000 sampai tahun 2011. Sebuah upaya yang luar biasa dan perlu menjadi perhatian bersama. Data ini tentu saja akan mempengaruhi catatan dalam perjalanan sejarah sastra di banua kita tercinta ini. Sayangnya.
Selesai membaca tulisan panjang itu, tentu saja kita menjadi bertanya-tanya mengapa tidak ada satu pun buku “Gumam Asa” di dalam daftar tersebut. Padahal buku gumam tersebut sudah dipublikasikan dan sudah pula dibicarakan serta sudah pula dimuat berkali-kali dalam beberapa penerbitan, cetak maupun elektronik. Apakah ada upaya untuk ‘menghapus data’ yang kemudian ‘melupakan’ bahwa dari tanah banua ini, dari Kalimantan Selatan telah diterbitkan 4 buah buku sastra yang berjenis ‘gumam’. Kalau memang ada upaya ke arah itu maka pertanyaan mendasarnya adalah: Apa alasan kuat yang mendasari pemikiran untuk ‘melupakan’ kehadiran buku gumam tersebut. Kita tentu saja akan dapat menerima bila ada alasan yang sangat kuat dan pundamental dalam cara pandang masing-masing.
Kenyataannya adalah bahwa buku gumam itu telah ada, dan ia telah nyata bahwa hadir dari wahana kesastraan yang kini berkembang di Kalimantan Selatan. Sebagai catatan maka buku gumam tersebut ‘wajib’ mendapat tempat dalam daftar panjang sejarah sastra di Kalimantan Selatan. Persoalan ‘menerima atau tidak menerima’ itu persoalan lain dan masih terbuka untuk kita bicarakan, tetapi kenyataan buku itu telah ada dan hadir ke tengah-tengah kesusastraan Kalimantan Selatan adalah jelas adanya.
Harus diingat bahwa kita tidak dapat melupakan begitu saja paparan yang ditulis oleh DR. Sudaryono, M.Pd, tulisan elok-menggugah yang dilakukan oleh Sainul Hermawan, paparan unik-menarik oleh Hudan Nur, tafsiran empuk oleh HE. Benyamine, bahkan senggolan halus-merangkul oleh Harie Insani Putra, ada kritik-menantang oleh Nasrullah, bahkan tanggapan ‘bingung’ oleh Hajriansyah dalam percakapan singkat di blog Siti Fatimah Ahmad, atau betapa gencarnya tayangan yang dilakukan dalam blog ‘catatan sawali’, media Bali Post telah dua kali menayangkan tulisan gumam itu, bahkan terakhir menampilkan resensi buku keempat yang berjudul “Bungkam Mata Gergaji”, sama halnya media Koran Tempo menampilkan resensi buku keempat ini. Termasuk paparan panjang oleh Humam S. Chudori. Semua paparan itu bicara banyak tentang buku Gumam Asa yang telah berjumlah 4 buah, terbit dari awal tahun 2009 sampai yang ke pertengahan tahun 2011. Adakah alasan kuat untuk menolak kehadirannya.
Semoga dengan adanya data di bawah ini akan semakin memperjelas bahwa buku Gumam Asa itu telah benar-benar ada, berikut coba kita sibak daftar isi dari keempat buku tersebut:
1. NEGERI BENANG PADA SEKEPING PAPAN, Tahura Media, Banjarmasin, 2009, 252 halaman, memuat tulisan di bawah judul : - besok saja aku mencintaimu, - tanda baca tanpa titik, - kota tanpa kuasa, - pagi tak bisa mati, - kulit pisang sayur bayam paha ayam, - lantas, siapa menangis, - bisik-bisik anak catur dalam petak hitam dan putih, - anak gabus sisik ikan melompat juga belalang lentik, - kuah sup mawar putih, - menutup malu dengan selembar malu, - budidaya mimpi di pembaringan sepi, = pahlawan, intan batu kulit kayu, telunjuk lurus otak pun membatu, - gumam semakin gumam, - tanpa titik tanpa koma orang-orang mengamuk di jalan raya, - sumpah kulit kacang kata-kata di keranjang, - jantung berdegup kulit kepala berdenyut, - lukisan tanpa bingkai, - ternyata hujan bukan halangan, - catatan di bulan redup, - ranting duri, - jebak-jebak, - perang, - kaf, - negeri benang, - wilayah tanpa nama, - pada sekeping papan, - si kembar hutan dan hujan, - kerucut bunga-bunga bayang, - serat daun tatah wayang, - ketika gumam berucap,”hei ada gumam tercecer di rerumputan !!!”, - bangkai batu, - dengan melayang, - gumam kepada gumam.
2) TUBUH DI HUTAN HUTAN, Tahura Media, Banjarmasin, 2009, 189 halaman, memuat tulisan di bawah judul: - menatap tubuhmu, pasti ada rasa cinta, - monolog-monolog bergelantungan, - gumam selain gumam, - pertengkaran, “orang-orang saling menuding”, - tubuh di hutan hutan, - kabar dari rumah atap ilalang, - menolak kehadiran tubuhmu sebagai patung, - lelaki bulan mei, - tiga manusia pada sebuah pulau, - sihir semakin membukit debu, - berjalan menuju pulang, - perjalanan semakin sempit, “satu-satu melintas sepi”, - pertemuan demi pertemuan, tanah pun basah oleh darah, - sementara orang-orang menghunus belati, engkau masih terpejam, - tubuh, bukan ruang kosong, “hei, adakah gumam itu, wahai tuhanku”, - gumamku dan cerpen ‘abah aluh’, - gumam kepada gumam, - komentar, ulasan dan apresiasi.
3) ISTANA DAUN RETAK, Framepublishing, Yogyakarta, 2010, 130 halaman, memuat tulisan di bawah judul: - alangkah indahnya rindu, - raja-raja menikmati istana, - anak-anak turun gunung, - seorang perempuan danau, - “t” , - gumam selain gumam, - istana daun retak, - hujan tipis-tipis, - menari puisi-puisi, - gumam dalam tafsir rindu, - cempaka, - istana tanpa hati, - dan bencana itu, - gumam kepada gumam.
4) BUNGKAM MATA GERGAJI, Framepublishing, Yogyakarta, 2011, 146 halaman, memuat tulisan di bawah judul : - luka merah, merah apel, - ragam jejak rentak-rentak, - bungkam mata gergaji, - di langit, buku tak terbaca, - selanjutnya kartini, - gumam kepada gumam, - lembar demi lembar, - esai-esai sahabat tentang gumam asa.
Kita pun berharap kepada Saudara Tarman Effendi Tarsyad menelaah ulang tulisan panjangnya dan memberikan tambahan ruang agar ke dalam catatan tentang Publikasi Kesusastraan Kalimantan Selatan tidak menyisakan ‘ceceran data’ karena ini dapat mengaburkan perjalanan sejarah sastra itu sendiri.
Kita pun percaya bahwa itu tidak memiliki tendensius tertentu sehingga kita akan menerima begitu saja, para pembaca pun akan menjadi ‘terjebak’ dalam memahami kesusastraan Kalimantan Selatan bila data itu tidak lengkap.
Semoga kita menjadi lebih arif dan bijaksana dalam memberikan makna terhadap semua peristiwa yang terjadi di sekitar kita, tanpa kecuali atas kehadiran buku gumam asa yang memang benar-benar ada di ranah kesusastraan Kalimantan Selatan, tentu saja ia tidak akan lepas dari segala bentuk kekurangan dan kelebihannya.
Gumam itu ada sebagai sebuah karya sastra.
Catatan dari TOSI (Taman Olah Sastra Indonesia), Banjarbaru, 15 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!