Minggu, 29 April 2012

Terjangkit Korean Wave? Atau Menjaga Eksistensi Lokalitas yang Termarginalkan?



(Sebuah catatan ringan dari Malaysia tentang novel Cinta di Tepi Geumho)


Tajuddin Noor Ganie, M.Pd.

Pemimpin Pusat Pengkajian Masalah Sastra Kalimantan Selatan


Awal April tahun ini—dua hari sebelum saya berangkat ke Kuala Lumpur—saya kedatangan seorang penulis muda. Dia juga pemimpin sebuah penerbitan di Kalimantan Selatan. Jika ditanya soal nama, tentulah namanya sudah tidak asing bagi saya. Karena, bukan hanya bertemu karya, kami juga kerap bertatap muka dan berbincang santai seputar dunia literasi, termasuk penerbitan dan pemasaran buku. Sebuah perbincangan yang menarik dengan disertai canda tawa.

Seperti biasa, penulis muda yang tak mau disebut sastrawan ini dengan senang hati mengantarkan buku-buku saya yang diterbitkannya. Namun, kali ini dia juga mengantarkan beberapa eksempar buku dari dua judul buku karanganya sendiri. Salah satunya ialah Cinta di Tepi Geumho. Sebuah novel terbarunya yang diterbitkan dan disebarkan ke seluruh Indonesia oleh sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. Prestasi yang membanggakan menurut saya. Tapi, dia terlihat jengah mendengar pujian saya itu. “Alhamdulillah.” ucapnya singkat.

Saat melihat novel ini secara sekilas, yang ada dalam otak saya adalah, penulis muda ini sudah terjangkit hallyu atau korean wave yang memang sudah melanda Negeri ini. Benar, bukan hanya musik K-Popnya, tapi juga film layar lebar, drama tv, hingga novel dan produk lainnya semisal mobil dan ponsel. Secara gamblangnya, Negeri Ginseng itu sudah berhasil menyebarkan virus cinta Korea ke seantero Indonesia. Lalu bagaimana dengan budaya kita sendiri, tanya saya dalam hati.

Ya, budaya Indonesia seakan menjadi pilihan yang tak menarik dan tenggelam. Bahkan bisa jadi sudah menempati nomor yang ke sekian ratus di bawah tumpukan budaya asing termasuk budaya Korea ini.

Walau begitu, sebagai pemerhati dunia tulis baca, saya tak mau mengabaikan novel yang sudah berada di tangan saya ini. Saya baca bagian pertamanya. Waw! Korea abis. Saya hampir tak percaya. Seorang Mahmud Jauhari Ali yang begitu getol terhadap kelangsungan hidup budaya lokal bisa sebegitu besarnya mengangkat kebudayaan Korea dalam novel ini.

Saya masih ingat tulisan-tulisannya yang sering nangkring di media-media cetak tentang kecintaannya terhadap budaya lokal dan juga nasional. Sampai-sampai, dia pernah mendapatkan ancaman keras dari pihak yang tak bertanggung jawab karena menulis sebuah artikel di salah satu media cetak dengan judul Berkomunikasi di Negara Sendiri Tanpa Bahasa Asing. Begitu pun dengan buku-buku karangannya semisal Lingkar Kata dan Selia. Keduanya mengumbar kecintaannya pada warna lokal Borneo. Bahkan, tiga novelnya, yakni Lelaki Lebah, Sepasang Matahari, dan 93 Hari di Samudera Cinta sangat kental dengan unsur lokalitas di negeri ini.

Namun, mulai paragaraf pertama hingga beberapa paragraf yang ke sekian dari Cinta di Tepi Geumho, semuanya berbau korea. Nama-nama tokoh, jenis makanan dan minuman, sampai pada tata cara makan. Semua Korea. Sudah berubah sikapkah penulis muda ini dalam hal budaya, tanya saya dalam hati. Jujur, saat itu saya kecewa. Sangat kecewa.

Tapi secara jujur saya katakan, penulis muda yang juga pandai menulis banyak puisi dan cerpen ini benar-benar menguasai dunia dari Negeri Ginseng itu. Tak bisa saya pungkiri juga, saya salut dengannya dalam hal ini. Ya, tepatnya dalam hal pengetahuan. Tak banyak penulis dari Kalimantan Selatan yang menuliskan seluk-beluk budaya luar seperti itu dalam bentuk buku dan lainnya.

Namun, tiba-tiba saya terkejut. Mendadak pikiran saya berubah. Dari kecewa menjadi suka. Tokoh bernama Son Chae Hyang—peneliti muda dari Seoul—akan berangkat ke Indonesia. Begitu inti bagian dari novel itu yang saya baca. Ya, Indonesia Raya. Hati saya langsung sumringah.

Dari bagian pertama itu, saya terus menelusuri rimba kata sang penulisnya. Selama menelusuri itu, hati saya berbunga-bunga. Kini selesailah saya membaca semuanya. Tak ada yang tertinggal sedikit pun. Tak saya sangka sebelumnya, ternyata ini sebuah karya yang apik dan romantis. Pantas saja Korrie Layun Rampan—sastrawan besar Indonesia—mengomentari novel ini sebagai novel yang membuat kita senang dan bahagia. Awalnya saya sempat heran dengan apa yang dikatakan sastrawan besar Indonesia itu. Tapi, sekarang saya mengerti maksudnya.

Dan, tibalah saya pada sebuah pemahaman. Bahwa penulisnya yang pernah menetap di Kalimantan Tengah ini memanfaatkan momen Korea yang sudah menjadi trend, terutama di kalangan anak muda Indonesia, sebagai satu cara memperkenalkan dan melestarikan budaya lokal di negeri ini. Tepatnya budaya Dayak Ngaju yang dalam novel ini mengkhususkan pada daerah perbatasan antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah ke mata dunia secara luas.

Penulisnya dengan piawai membuat pembaca mengetahui budaya Dayak Ngaju tanpa harus ada pemaksaan. Apalagi harus dirugikan. Di sinilah kehebatan penulis muda ini menurut saya. Dia tak segan-segan menggunakan kata “narai” misalnya, dalam novelnya ini. Padahal kata itu kurang menjual dari sisi pemasaran. Begitu pun dengan tempat-tempat di Kalimantan, digambarkannya secara jelas keeksotisannya. Tentunya, dia tak lupa pula menggambarkan keramahtamahan penduduk asli Kalimantan terhadap orang asing. Sehingga pembaca seakan berada di Bumi Kalimantan yang asli. Yang sesungguhnya.

Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Maksud saya, sebelum ini belum ada karya yang memadukan budaya lokal Kalimantan dengan budaya luar seperti itu. Sekali lagi, ini sebuah karya yang apik dan berkontribusi terhadap pelestarian budaya di Indonesia. Jadi, tak salah jika Mahmud Jauhari Ali sering berkata bahwa hubungan yang baik itu ialah hubungan yang saling menguntungkan atau bersimbiosis mutualisme. Dalam novel ini pun jelas adanya hubungan itu dalam alur ceritanya terhadap budaya Indonesia sendiri dan budaya Korea.

Penulisnya juga menggambarkan begitu besarnya animo masyarakat Korea Selatan yang ingin mengetahui seluk beluk Indonesia. Ini sebenarnya menyadarakan kepada pembaca bahwa Indonesia pun digemari oleh masyarakat dari negeri yang digemari sebagian besar masyarakat Indonesia ini. Tak pelak lagi saya mengangguk-ngangguk sembari tersenyum atas isi novel ini.

Selain yang saya paparkan di atas, saya menangkap adanya keinginan penulis untuk lebih merekatkan hubungan baik antara Indonesia dan Korea Selatan yang sudah terbina sejak 1974 silam melalu novel ini. Secara jujur saya katakan, jika apa yang saya tangkap itu benar, maka novel ini merupakan kerja mulia dari seorang Mahmud Jauhari Ali untuk pelestaraian budaya lokal dan kemajuan bangsa Indonesia. Inilah yang dinamakan karya dengan dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat.

Nah! Khusus dari sisi romantisnya, novel ini menyajikan pergumulan cinta para tokoh yang memiliki latar budaya berbeda dengan karakter yang kuat dan intrik yang menarik hingga membuat pembaca larut di dalamnya. Ada perasaan marah, kecewa, sedih, dan senang yang saya rasakan saat membaca Cinta di Tepi Geumho ini. Artinya, Mahmud Jauhari Ali telah berhasil menarik jiwa saya ke dalam alur cerita yang dibuatnya. Alur cerita yang menurut saya pribadi sangat menggoda, layak dibaca, dan layak pula mendapatkan tempat di ranah sastra Kalimantan Selatan dan sastra Indonesia.

Akhirnya, saya sampaikan selamat kepada Mahmud Jauhari Ali atas terbitnya novel Cinta di Tepi Geumho. Teruslah berkarya selama nyawa masih dikandung badan. Saya berharap, masyarakat Kalimantan Selatan pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya membaca novel ini. Salam sastra dan budaya.

5—6 April 2012

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!