Bau
busuk mengolok-ngolokku. Mereka yang bertutup hidung berkata; "bau busuk itu
berasal dari diri kau dan juga teman-teman kau. Bau busuk itu telah
membunuh anak-anak kami! membunuh keluarga kami!’’. Aku
mengendus-ngendus, menciumi ketekku. Menciumi selangkanganku. Tak ada.
Aku sudah mandi uap, ber spa, luluran sekalian massage menggosok daki, sekalian
ho-oh seharian di salon simpananku. Lalu aku berendam di bathtub sebuah hotel
mewah. Tapi kalian masih menuduh sumber
bau busuk adalah diriku. Bau busuk darimana? Kalau bau busuk dari tahi
di perut ku yang belum dikeluarkan, kalian pun punya pula. Ini fitnah.
Ini pembunuhan karakter.
II
Aku
sudah membantah. Tapi kalian malah beramai-ramai mendatangiku dan
teman-temanku. Membawa poster, bertuliskan tuntutan mundur; jangan cemari
negeri kami. Kami asik saja duduk-duduk. Membaca koran, yang bertumpuk di meja
di sebuah gedung yang sama nilainya dengan 1000 rumah sangatsangat
sederhana sekali. Padahal kami baru jalanjalan dari luar kota. Padahal kami
habis ho-oh di sebuah hotel yang mewah di Jakarta. Kalian yang datang dengan
tutup hidung masih tak percaya. Aku dan teman-temanku saling mencium. Saling
mencium ketek dan selangkangan. Tapi tak terdeteksi bau busuk. Apakah
hidung kami telah mati dan hanya tajam
menciumi bau uang? ‘’ Bau busuk yang membunuh itu terkumpul di gedung ini!’’
teriak kalian hingga urat di leher putus.
III
Kami
guyur badan kami dengan farfum super wangi. Seluruh bagian gedung
parlemen kami semprot pula dengan minyak harum. Termasuk telinga-telinga
kami yang telah di gantung di mikropon dalam ruangan rapat paripurna.
Bahkan tempat sampah yang tertampung berisi aspirasi di belakang gedung
dewan perwakilan rakyat kami seprot
pula. Tapi besoknya kalian datang lagi. Lebih banyak lagi. Ribuan. Jutaan.
Terus berdatangan pakai masker, seakan-akan takut terkena virus dari bau
busuk yang memabukkan. Kalian mengepung. Menaiki. Meludahi. Mengencingi.
Memberaki. Sambil berteriak hingga urat leher putus dan muntah-muntah;
‘’kalian memang busuk!’’ . Tapi tentu saja kami tidak mendengar. Karena telinga
kami telah digantung di mikropon di ruang rapat paripurna di gedung
parlemen yang berbau busuk.
by Akhmad Zailani
Mei, 1998
(Diambil dari Suara 5 Negara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!