Desi Dian Yustisia
Dia purnama namun
sepertinya tertutup kabut tebal. Di sana yang
terlihat hanya kemuraman, kelam yang megah terpancar dari wajahnya yang bulat
telur. Seperti apa isi kepala dan hatinya tiada yang bisa meraba. Ia memutuskan
bisu beberapa tahun belakangan ini. Suara merdu yang selalu membacakan
sajak-sajak indah di kepingan malam sepertinya hanyalah kenangan manis yang
tersisa darinya.
Pucuk-pucuk dedaunan
akasia menarikan senyapnya malam di gelungan angin. Menebar aroma pekat,
menyesak dada yang kian pengap berkurung di kamar bisu ini. Sejak setahun lalu
hanya ada aku dan dia di sini. Sejak dia datang dan memilih untuk tetap duduk
di hadapan bingkai jendela itu, tak ada kata yang dia pecahkan untuk kami
jadikan canda atau gelak mengisi waktu kosong. Dia sungguh ingin bisu saja.
Malam ini purnama jatuh
lagi di wajahnya, dari bibir jendela ada pendar yang bias menerangi kamar yang
telah terbiasa dibuat tetap tak berpenerangan. Satu-satunya cahaya hanya dari
wajah bulat telur yang setia tak beranjak dari singgasana bisunya itu.
Entah sudah berapa kali
aku menghela nafas, mengusir kejenuhan sambil berdoa ada sebait kata yang
akhirnya dia ucapkan.
“Purnama,
sampai kapan?”
Tanyaku hanya terjawab
dengan pantulan suaraku sendiri.
“31 Desember 1982, hampir
genap 29 tahun kita bersama, tak ingatkah kau? bagaimana kita melewati
waktu-waktu yang mengkristal jadi kenangan? Apa kau tak ingat saat kita tak
sejalan untuk pertama kalinya? Saat itu kau memutuskan untuk memasukkan lelaki
itu ke hatimu, kau tak pernah sedikit pun mendengarkan kecemasanku tentang
sakitmu kelak ketika dia mematahkan hatimu yang sangat kutahu rapuh seperti
reranting kering”
Lagi seperti malam-malam
lalu, dia membuatku bercerita panjang lebar tanpa respon sedikit pun. Dia tetap
anggun dan angkuh dalam bisunya.
“Desember kita hampir
tiba. Tak inginkah kau merayakan hari lahir kita dengan semerbak bunga mawar
merahmu? Walau sesungguhnya aku lebih suka mawar putih. Tapi tak apalah, aku
juga telah terbiasa mengalah darimu sejak dulu. Kita berdua ibarat lilin. Kau
cahaya dan aku lelehannya.”
Aku dan dia adalah satu,
namun dari kisah panjang aku hanyalah pelengkap saja. Aku hanyalah serupa
bayangan yang sering terabaikan. Puncaknya saat cinta membutakan matanya. Saat
matanya hanya terisi bayangan semu lelaki yang kurasa tak lebih dari
penggombal.
“Hei, ke mana lelaki itu? Bukankah dia pernah bersumpah tak akan
pernah jauh darimu? Lantas mengapa kau di sini hanya bergaul sepi? Bukankah
katanya kau nyawanya? Atau mungkinkah dia telah mati dan mengajak serta jiwamu
untuk mati?”
Dia tetap bisu, tapi nafas
yang mengalir di dadanya terlihat jelas berubah iramanya.
“Atau benarkah firasatku?
Dia yang mencampakkanmu dalam kubang bisu ini? Benarkah? Jawablah aku. Kau tak
perlu malu jika terbukti kata-kataku saat itu benar tentangnya, jujurlah,
keluarkan saja kesakitan itu dari dalam sana”
Beberapa bulir bening
jatuh dari sudut matanya. Mungkin aku terlalu kasar padanya. Tapi, biarlah.
Setidaknya aku senang malam ini bisa melihatnya menangis. Itu menyakinkan aku
bahwa dia masih hidup.
Bulir-bulir
bening itu berpendar seperti bintang di wajahnya. Wajah yang dulu selalu penuh
senyum. Aku ingat, itulah yang membuat banyak yang menyukainya. Banyak lelaki
yang terpikat dengan senyumnya yang manis. Namun, sayang dia memilih untuk
jatuh pada lelaki yang salah.
“Dia selalu bisa membuatku
menjadi perempuan beruntung bila di dekatnya.” itu katanya dulu. Ketika aku
bertanya apa kelebihan lelaki itu ketimbang yang lainnya.
“Ahhh! Menurutku dia hanya
menggombalimu.”
“Tidak seperti itu, dia
sungguh mencintaiku.”
“Benarkah?
Tapi mengapa aku menyangsikan itu? Berhati-hatilah dengan hatimu.”
“Kau tak akan pernah
mengerti sebab cinta itu tak datang untukmu.”
“Tapi, aku tahu membedakan
mana yang tulus atau sekedar pura-pura tulus.”
“Ahh! Sudahlah, yang
penting saat ini akulah perempuan paling bahagia karenanya.”
Dia tak pernah mau
mendengarkan kekhawatiranku. Telinganya hanya mau mendengar kata-kata manis
penuh racun dari lelaki itu. Dia membiarkan benih-benih kesakitan tumbuh di
sana. Seperti jamur yang subur di atas ranting-ranting kering hatinya.
“Purnama, coba ceritakan
padaku? Ayo berceritalah. Ceritakan semua yang kau anggap manis itu, ketika
tiba pada cerita pahitnya aku yang akan menelannya untukmu. Kau tahu, kan jika
aku selalu ada untuk itu?”
Air mata itu kini kian
ruah. Aku bahagia sekali. Tak apa hujan malam ini basah dan menjadi sungai di
wajahnya. Mungkin itulah sedikit bahasa yang bisa aku tangkap dari bisunya.
Sungguh aku bahagia melihatnya menangis.
“Tak
inginkah kau sekali saja menghargai keberadaan dan perhatianku padamu? Tak ada
yang lebih mencintaimu dibanding aku di jagad ini. Bahkan, kau sendiri tak bisa
mengalahkanku tentang itu.”
***
Pucuk-pucuk akasia masih
menari bersama angin yang kian dingin. Tembang gemintang pun melagukan notasi
malam yang damai. Riak-riak nafas pada pelakon malam terasa merdu
menyeimbangkan nadanya dengan isakan purnama. Dia telah mulai hidup lagi.
“Purnama, masih ada denyut
kasih yang mengalir di dadamu. Bangunlah dan mari kita bercengkerama seperti
ketika kita masih kanak-kanak. Seperti ketika kita berburu kunang-kunang dan
menjadikannya lentera tidur kita. Tahukah kau, aku merindukan sajak-sajakmu.
Bukankah dulu kita selalu mendentingkan malam dengan larik-larik indah yang
berisi manis kata-katamu. Kita dulu punya rumpum-rumpun puisi yang bermekaran,
tapi kau membuatnya kini tak semerbak lagi, Bangunlah! Mari menyemai lagi, aku
merindukanmu!”
Tiada henti nyaliku untuk
menyalakan lagi gairah yang beku di jasad purnama. Tapi isaknya kini telah
terhenti, kembali pada bisu. Air matanya mulai pupus dan mengering di sana.
Wajah itu tenang lagi. Seperti semula. Namun, aku tahu dia mendengarkan setiap
ucapku. Tak peduli jika tiada berbalas yang jelas dia paham bahasa yang aku
utarakan.
Tiada pula masa untukku
berhenti sebab aku pun akan ikut mati jika membiarkannya tetap mati. Sedikit
nyawa yang kupunya, adalah karena berbagi dengannya sekian masa yang telah
lewat.
Adalah kenangan yang
menjadi energi ketika tuas-tuas kata sudah tak ingin dia gerakkan lagi.
Sejumput? Bukan, tak sesederhana itu yang telah aku kumpulkan. Dia boleh saja
lupa atau sengaja melupa. Namun, cerita yang aku punya cukup untuk membuat masa
berputar lebih lama lagi. Aku tiada akan lelah.
“Sampai kapan? Tak
bosankah kau mengunci kata? Sedikit saja, tak usah sebait, selarik saja
berikanlah ujaranmu. Tak jenuhkah kau mengabaikan aku?”
Serat-serat kenangan masih
utuh menjuntai, mengakarkan rasa yang hangat. Dan ketika sulur-sulur emosi
dalam jiwa matinya telah tumbuh lagi, aku tahu dia pasti bersuara lagi.
Sekian
jarak yang membentang antara kataku dan pemahamannya. Sekian lama itu pula yang
kuhitung tentang rasa yang terlerai. Kalau saja ranting-rantingnya tak
kubiarkan rapuh sejak awal. Mungkin akan lebih mudah menumbuhkan tunas-tunas
baru di ketegarannya.
“Tahukah kau, saat
tersakit yang pernah kurasa? Saat lelaki itu merebutmu dariku. Saat kau ikhlas
mengucap selamat tinggal padaku. Saat kau mengabaikan keberadaanku seperti saat
ini, tapi seperti yang kau tahu aku tak pernah bisa benar-benar hilang dari
hidupmu. Karena aku adalah kalbumu.”
Malam
semakin hitam, jari-jari cahaya bulan telah tertelungkup di bagian gelap bumi.
Sementara aku dan dia masih sibuk dengan pergulatan bisu. Sambil menghitung
purnama yang berlalu.
***
Bumi Borneo di tengah purnama, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!