Karya Nailiya Noor Azizah
“Bah[1],
bulan ini ulun handak tulak[2]
umroh.”
ucap seorang lelaki pada saat hujan rintik-rintik menghiasi senja hari itu.
Lelaki sepuh yang diajaknya berbicara hanya diam, seperti seorang bayi
dalam usia mingguan ketika diajak berkomunikasi oleh ibunya. Ia hanya menatap
tajam ke arah lelaki itu. Tanpa reaksi apa-apa. Lelaki itu pun kemudian
berlalu dari kamar kayu yang dipenuhi coretan-coretan tangan. Hatinya diliputi
pertanyaan. Mengapa keheningan tak bisa lepas dari dirinya dan lelaki sepuh
itu?
***
Dari balik kaca bening ruang keluarga, terlihat dua orang lelaki tengah
terperangkap dalam diam. Ini bukanlah kali pertama keheningan menerpa mereka.
Yang satu asyik dengan cerutunya, yang satu lagi tampak membolak-balik koran di
hadapannya. Selalu begitu.
Pertemuan mereka hanya sedikit diselingi dengan dialog-dialog pendek, lalu
berakhir dengan kepulangan sang lelaki yang tampak telah sepuh. Sepanjang
perjalanan pulang ia terus saja mengeluhkan keheningan yang selalu menerpanya.
Meski tekad untuk mengganti keheningan itu terpatri kuat dalam kehendaknya,
namun ia terus saja memiliki dan mengulang keheningan yang sama seperti
pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Andai bisa mengulang kehidupan, ia ingin memutar waktu agar dapat mencegah
keheningan ini menghinggapi dirinya. Ia akan mengubahnya kembali ke-57 tahun
yang lalu, ketika ia memutuskan memisahkan dirinya dengan anak lelaki
pertamanya.
Pernikahan dini yang dilakoninya bersama istrinya yang baru tamat sekolah
dasar menjadi penyebab utama keheningan ini setia membersamainya. Ia telah
kehilangan keakraban antara seorang ayah dengan anak lelakinya. Ia lebih
memilih mematangkan perekonomian dengan merantau ke Banjarmasin dan membiarkan
bayi kecilnya di asuh oleh keluarga jauh mereka. Ia bahkan tidak pernah tahu
bahwa sang bayi diasuh dalam deru angin di sebuah lanting[3]
yang amat sederhana di sebuah sungai di Negara.
Tiga belas tahun kemudian, bayi kecil itu telah menjelma menjadi anak yang
asing dengan keramaian anak-anaknya yang lain yang berjumlah delapan orang. Ia
tak bisa menularkan keramaian itu dengan anak sulungnya yang telah dibesarkan
oleh orang lain. Ia baru menyadari sulungnya itu lebih sering tenggelam bersama
buku-buku tebal di kamarnya yang selalu bersih dan rapi.
Ia tak bisa menghancurkan keheningan di antara dirinya dengan anak
sulungnya. Hingga anak sulungnya yang pendiam itu akhirnya menikah dan telah di
karunia dua orang anak dalam rumah mereka yang kini berjauhan. Ia kian jarang
mendapatkan kesempatan untuk mengubah
keheningan itu. Sesekali ia datang mengunjungi anak sulungnya dan keluarganya.
Namun, mereka selalu terperangkap dalam keheningan dan bertemu dalam diam.
***
Sementara lelaki yang lebih muda selalu menatap kepulangan lelaki sepuh itu
dalam kesedihan. Ia selalu disergap oleh rasa bersalah atas keheningan yang tak
mampu diusirnya. Tiga belas tahun telah membuatnya tak bisa tertawa lepas
bersama lelaki sepuh itu, seperti ketika ia bersama anak, isteri maupun
teman-temannya. Bukan karena ia tak memiliki rasa cinta atau pun hormat,
tetapi ia merasa asing hingga keheningan selalu menjadi pemenang dalam
pertemuan mereka berdua.
Ia hanya bisa menatap cangkir bekas kopi yang telah kosong yang telah
disuguhkan sang istri untuk mertuanya itu. Lalu, ia akan mencucinya sendiri
sambil mengaliri papiringan[4]
bekas abu rokok lelaki sepuh itu dengan air. Cangkir dan papiringan itu kemudian diletakkan di sudut lemari kaca.
Sewaktu-waktu jika kerinduan pada lelaki sepuh itu menyergapnya, ia akan
membuat secangkir kopi dan menaruh papiringan
itu persis di sebelahnya. Ia lantas meminum kopi itu dan hanya membiarkan papiringan
itu kosong, tanpa dipenuhi abu rokok seperti halnya lelaki sepuh
itu.
***
Lelaki sepuh itu mulai merasakan
bahwa usia tak dapat ia ajak kompromi. Ia sering terbatuk-batuk bersama cerutu
yang menjadi sahabat setianya. Bahkan, kerentaan kini membuatnya hanya bisa
berbaring tak berdaya dalam sebuah rumah sederhana yang ia bangun bersama istri
dan anak-anaknya.
Ia mulai gelisah membayangkan keheningan yang terus mengusiknya. Ia kian
gelisah ketika menyadari ia mulai kehilangan kesempatan untuk mengusir
keheningan dari dirinya. Jangankan untuk mengubah keheningan ini menjadi jutaan
kata yang sebenarnya selalu memenuhi batinnya, bangkit saja ia tak mampu.
Ia kini seperti bayi yang harus dilayani oleh orang dewasa. Mulutnya
terpasung dalam kebisuan yang menghinggapi orang yang telah sepuh seperti
dirinya. Ia hanya bisa membahasakan segalanya dengan tatapan yang dapat
diartikan bermacam-macam oleh istri dan anak-anaknya. Ia hanya bisa berdoa
kini. Bahkan, ketika senja itu Tuhan memberinya kesempatan untuk bersama dalam riak
bahagia, seluruh tubuhnya justru berada dalam kebekuan dan kekakuan.
“Bah, bulan ini ulun handak tulak umroh.” Kata-kata
anak sulungnya bagai desiran angin yang sangat menyejukkan hatinya. Saat sangat
berjaya dalam bisnis kamasan[5]
ia sempat mengajak anak-anaknya ke tanah suci, kecuali anak sulungnya. Anak
sulungnya lebih memilih menyibukkan diri dengan belajar dan belajar hingga
merantau ke pulau Jawa. Bisnis emasnya kian merosot. Akibatnya, cita-cita untuk
memberangkatkan anak sulungnya ke tanah suci tidak pernah kesampaian. Dan kini,
anak sulungnya itu berkesempatan ke tanah suci. Bukankah ini sebuah berita
gembira?
Ia ingin sekali mengungkapkan kebahagian dan kebanggaannya atas hal itu.
Namun, sayang bibirnya terkatup rapat. Bahkan, isyarat bahagia pun tak bisa ia berikan. Ia hanya bisa menatap anak
sulungnya itu ketika ia berpamitan sambil mencium punggung tangannya kemudian
berlalu dari kamar kayunya yang dipenuhi coretan cucu-cucunya dari anak-anaknya
yang lain. Ia ingin menggenggam tangan itu lebih lama dari biasanya. Ia ingin
mengatakan banyak hal yang tertunda selama ini. Ah ... keinginan yang kini
menjadi kian sulit ia wujudkan.
Dari dalam kamar ia hanya bisa mendengar penuturan bahwa anak sulungnya
akan mendoakan kesembuhannya di tanah suci nanti. Air mata mengalir dari
pipinya yang dipenuhi guratan usia.
***
Angin bertiup aneh pagi itu. Desirannya seolah membawanya pada sebuah lanting yang mengenalkannya pada
keheningan. Ia mencoba menepisnya, hingga kemudian ponselnya berbunyi. Sebuah
nama tertera di sana. Rahmad, adik kelimanya.
Ia menyimak baik-baik berita yang disampaikan oleh adiknya itu. Ia ingin
sekali tak mempercayai dan memarahi adiknya atas berita yang ia sampaikan.
Namun, desiran angin itu bagai menampar wajahnya. Ia bergegas menuju rumah
lelaki sepuh yang tengah dipenuhi orang-orang yang bertakziah
Sembilan bersaudara itu tengah sibuk menyelenggarakan jenazah. Mereka
mencium kening lelaki sepuh itu bergantian. Mereka semua menangis, kecuali yang
sulung. Ia lebih memilih mengambil mushaf Alquran lalu membacanya dengan tenang di samping mayat sang
lelaki sepuh.
Ditatapnya lekat lelaki sepuh yang mulai dibalut kain putih itu. Dalam
diamnya, ia menangis tersedu. Bukan kematian ini yang ia sesali, namun
keheningan yang terus saja ada di antara mereka yang membuat hatinya pilu.
Dengan setia ia mengawani lelaki sepuh itu pada setiap prosesi
penyelenggaraan jenazahnya. Mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan hingga
menguburkannya bersama tanah merah yang kian basah oleh gerimis senja itu.
Lelaki itu pulang ke rumahnya. Ia lama berdiri di depan lemari kaca tempat
ia menyimpan cangkir dan papiringan untuk
lelaki sepuh itu.
“Pian kaganangan kai kah, Bah?[6]” ujarku tampak mengagetkan
lelaki itu.
Ia diam saja, bahkan tak menoleh ke arahku.
Aku yakin lelaki itu tak ingin diganggu. Aku pun berlalu,
memberikan ruang
baginya untuk membuang sesal atas keheningan yang hadir diantara ia dan kai. Tak berapa lama, kulihat lelaki itu
tengah khusyuk dalam salatnya.
Kudengar ia melantunkan doa-doa dengan lirih. Ah, abah-ku yang
amat pandai menyimpan sedihnya dalam doa dan keikhlasan yang sederhana.
***
“Bah....,” kusapa lelaki yang
sudah tidak bisa dikatakan muda itu dari arah belakangnya. Ia tengah duduk di
atas sajadahnya usai salat Subuh dan tilawah
panjangnya.
Ia menoleh, lalu tersenyum bijak seperti biasanya.
Diputarnya badannya seolah mempersilakanku membersamainya pagi itu. Aku
menghela nafas, mempersiapkan kalimat yang tepat untuk lelaki yang kini persis
di depanku. Sayang aku gagal. Ia mendahuluiku.
“Ada apa, Addiena?” sapaan yang tiada duanya itu lebih dulu keluar dari
mulut Abah. Orang lain lebih suka
memanggilku Diena saja. Tidak dengan Abah.
“Ini, Bah...anu...,” aku tergagap. Duh,
mengapa lidahku sekelu ini. Bukankah aku telah mempersiapkan hari ini dengan
matang. Akhirnya, kuputuskan untuk menyerahkan saja sesuatu yang dari tadi
kusembunyikan di tanganku. Abah
membuka amplop kumal berwarna putih kecokelatan itu perlahan. Abah tampak tak dapat menyembunyikan
keterkejutannya. Sebuah surat dari Kai!
Ia terus membaca isi amplop itu hingga selesai.
“Kai menyerahkan itu pada Diena
ketika terakhir kali kai datang ke rumah kita, Bah. Kai meminta Diena menyimpan surat itu hingga Allah menjemput kai. Diena tidak menyangka akan secepat ini...” Tanpa diminta
kujelaskan semua pada abah.
***
Menjelang keberangkatannya ke tanah suci, lelaki itu tersenyum dalam
bahagia yang berbeda. Surat itu seolah mengakhiri keheningannya dengan lelaki
sepuh yang kini telah menuntaskan hidupnya. Lelaki sepuh itulah yang telah
memecah keheningan diantara keduanya.
Dalam diam, ia menitip puluhan kata,
melalui suratnya. Lelaki yang akan memenuhi panggilan Tuhannya itu
merasa tak mungkin sanggup membalasnya dengan hal yang serupa. Namun, dalam
jiwanya yang tenang, ia terus saja
melantunan doa demi menjawab kalimat-kalimat bijak lelaki sepuh dalam suratnya.
Kalimat-kalimat yang telah menentramkan hatinya yang gelisah selama 57 tahun ini.
“Allâhummaghfirlahû warhamhu wa ‘âfihi
wa’fu ’anhu ....[7]”
***
Dari balik kamar aku tersenyum. Dua lelaki yang kerap terperangkap dalam
diam semoga telah
menemukan keramaian di hatinya. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!