Ali
Syamsudin Arsi
( bila harum dan subur
bunga-bunga sekelilingku hanya
melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit, engkau berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
ternyata harum bau tanah ternyata subur lapisan bawah tanah
tak jua menghilangkan rasa
percuma
gegap-gempita, hanya untuk sorak-sorai orang-orang yang datang
dari kejauhan
melangkah pasti
sampai ke batas-batas
kepunahan
di sini tetap sebagai rumpun-rumpun ilalang yang mati
( bila kemilau dan f u a h
- rahasia itu tak mampu
menuntunku
ke wilayah-wilayah capaian maka amarah pun membara sampai ke bulu-bulu
mata,
akulah si Galuh Cempaka, lahir dari mitos-mitos perkampungan
di tanah-tanah lubang
pendulangan; akulah yang melagukan derap
di keheningan hutan-hutan, akulah yang
melagukan pikuk di gamang-gamang harapan, akulah yang melagukan riwayat-riwayat
perjalanan, akulah yang melagukan
kematian raja-raja
sampai berlapis-lapis
turunan, akulah; laguku lagu kemilau
di lingkaran mahkota
raja-raja, laguku lagu cahaya di
anggunnya suri-suri penguasa,
laguku lagu darah yang
membasah di anak tangga setiap istana;
akulah yang melagukan, akulah,
akulah itu sebagai lagu si Galuh Cempaka )
ternyata kemilau itu tak jua sampai kepada harapan, orang-orang di
lingkaran
lubang-lubang galian
ternyata f u a h
- rahasia itu telah ditangkap sebelum harapan, orang-orang
dengan peluh setajam tirak tetap saja berdiri kaku diam tak bergerak
ternyata riwayat dari mitos itu selalu saja
menggelinding menjauhi,
orang-orang dengan kepal mengeras di linggangan
waktu pun tak pernah berpihak
ternyata banyak riwayat perjalanan tak pernah menuntaskan, orang-orang
terjebak di dalam sulung-sulung
bertingkat
ternyata perjalanan darah itu adalah sejarah, orang-orang
saling menatap di bibir lubang
surut – lubang dalam
jebak lumpur kepunahan
( bila garis lurus ditarik
dari Ampar Tikar Riam Kanan
Mandikapau Tiwingan
Rantau Bujur Rantau Alayung sampai kepada
Gompong Sungai Besar
dan bertemu titik di Awang Bangkal
maka adakah geriap di setiap ucap
zikir mereka, padahal ada geliat Trisakti, melewati batas
benua, ada Galuh Cempaka,
sebagai wujud dari beragam
legenda, ada Galuh Bulan, bermuasal
mimpi kapala lubang ada Galuh Badu, selain bermimpi di arus
bening tanah Bati-bati,
ada yang kini terkesima
dengan si Putri Malu mimpi yang terputus
dalam igau tidurmu, wahai para pendulang yang duduk termangu, dari dahulu
sampai sejarah berulang kini, tetap duduk termangu bila musim hujan datang
menerjang sepi lingkaran linggang-linggang
melepas goyang goyang di riak
pemisah batu lumpur dan
kemilau sampai berharap sampai berangan
menjauh tangkap di lunas kaki
berpijak; sampai desauku di pelepah dahan
sampai risauku di rimbun daun,
sampai galauku di rimbun tulang; akulah
si Galuh Cempaka asal pungkala
sebab darahku meriap sampai di
bulu-bulu mata )
lagu hujan di lubang-lubang galian
lagu sampai para pendulang
sejarah batu melepas mimpi
berangan-harap sampai di gigil tulang
lubang-lubang merekah lubang-lubang luas menganga
sulung-sulung waktu itu melinggis darahku, darah si Galuh Cempaka
nasib yang bertali beban
pundak dan langkah terseret
dirunduk ngilu
pusara pusara pusara, tak mampu
menepis enyah
pusaka pusaka pusaka, tak mampu menipis resah
lagu-lagu di turunan hujan itu
selalu saja
melempar lambai anak-anak gemulai
lagu-lagu di tikungan hujan
itu sama saja
menolak lambai wanita-wanita penunggu belai
lagu-lagu hujan itu, sebagai penanda
riwayat sedih datang berulang
lagu-lagu hujan itu
( bila harum dan subur bunga-bunga
sekelilingku hanya melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit, engkau berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
bulu mataku bulu si Galuh Cempaka
tiris atap rumahku
tak sebanding kilau melepaskan cahaya
( bila harum dan subur
bunga-bunga sekelilingku hanya
melahirkan duka lara
maka engkau datang percuma saja; bertahun sudah gumpalan sakit berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak, tetaplah meredam sakit, engkau berduyun datang
di penghujung waktu aku tetap saja terkepung )
/asa, banjarbaru, 21 desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!