Sabtu, 23 Februari 2013

BULU MATA GALUH CEMPAKA



 Ali Syamsudin Arsi


( bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku  hanya melahirkan duka lara  
maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah  gumpalan sakit  berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau berduyun datang  
di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

ternyata harum bau tanah  ternyata subur lapisan bawah tanah
tak jua menghilangkan rasa percuma
gegap-gempita,  hanya untuk sorak-sorai  orang-orang yang datang
dari kejauhan
melangkah pasti
sampai ke batas-batas kepunahan
di sini  tetap sebagai rumpun-rumpun ilalang yang mati

( bila kemilau dan  f u a h  - rahasia itu  tak mampu menuntunku  
ke wilayah-wilayah capaian  maka amarah pun membara sampai ke bulu-bulu mata,
akulah si Galuh Cempaka,  lahir dari mitos-mitos perkampungan  
di tanah-tanah lubang pendulangan;  akulah yang melagukan derap di keheningan hutan-hutan,  akulah yang melagukan pikuk di gamang-gamang harapan,  akulah yang melagukan riwayat-riwayat perjalanan,  akulah yang melagukan kematian raja-raja  
sampai berlapis-lapis turunan,  akulah;  laguku lagu kemilau  
di lingkaran mahkota raja-raja,  laguku lagu cahaya di anggunnya suri-suri penguasa,
laguku lagu darah yang membasah di anak tangga  setiap istana;
akulah yang melagukan,  akulah,  akulah itu  sebagai lagu  si Galuh Cempaka )

ternyata  kemilau itu  tak jua sampai kepada harapan, orang-orang di lingkaran  
lubang-lubang galian
ternyata  f u a h  - rahasia itu telah ditangkap sebelum harapan,  orang-orang
dengan peluh setajam tirak  tetap saja berdiri kaku  diam tak bergerak
ternyata  riwayat dari mitos itu  selalu saja  menggelinding menjauhi,
orang-orang  dengan kepal mengeras  di linggangan   waktu pun tak pernah berpihak
ternyata  banyak riwayat perjalanan  tak pernah menuntaskan, orang-orang
terjebak di dalam  sulung-sulung bertingkat
ternyata  perjalanan darah itu  adalah sejarah,  orang-orang
saling menatap  di bibir  lubang surut – lubang dalam
 jebak lumpur kepunahan

( bila garis lurus ditarik dari  Ampar Tikar  Riam Kanan  Mandikapau  Tiwingan
Rantau Bujur  Rantau Alayung  sampai kepada  Gompong  Sungai Besar  
dan bertemu titik di  Awang Bangkal  maka  adakah geriap di setiap ucap  
zikir mereka,  padahal ada geliat Trisakti, melewati batas benua, ada Galuh Cempaka,
sebagai wujud dari beragam legenda,  ada Galuh Bulan, bermuasal mimpi kapala lubang  ada Galuh Badu, selain bermimpi di arus bening  tanah Bati-bati,
ada yang kini terkesima dengan  si Putri Malu mimpi yang terputus
dalam igau tidurmu,  wahai para pendulang  yang duduk termangu,  dari dahulu
sampai sejarah berulang kini,  tetap duduk termangu  bila musim hujan datang
menerjang sepi  lingkaran linggang-linggang  melepas goyang goyang di riak
pemisah batu lumpur dan kemilau  sampai berharap  sampai berangan
menjauh tangkap di lunas kaki berpijak; sampai desauku di pelepah dahan  
sampai risauku di rimbun daun,  sampai galauku di rimbun tulang;  akulah
si Galuh Cempaka  asal pungkala  sebab darahku meriap sampai di bulu-bulu mata )

lagu hujan  di lubang-lubang galian
lagu sampai para pendulang
sejarah batu melepas mimpi
berangan-harap  sampai  di gigil tulang
lubang-lubang merekah  lubang-lubang  luas menganga
sulung-sulung waktu itu  melinggis darahku,  darah si Galuh Cempaka
nasib yang bertali beban
pundak dan langkah terseret dirunduk ngilu
pusara pusara pusara,  tak mampu  menepis enyah
pusaka pusaka pusaka,  tak mampu menipis resah
lagu-lagu di turunan hujan itu selalu saja
melempar lambai  anak-anak gemulai
lagu-lagu di tikungan hujan itu  sama saja
menolak lambai  wanita-wanita penunggu belai
lagu-lagu hujan itu,  sebagai penanda
riwayat sedih datang berulang
lagu-lagu hujan itu


( bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku  hanya melahirkan duka lara
maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah  gumpalan sakit  berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau berduyun datang  
di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )

bulu mataku  bulu si Galuh Cempaka
tiris atap rumahku
tak sebanding kilau  melepaskan cahaya

( bila harum dan subur bunga-bunga sekelilingku  hanya melahirkan duka lara  
maka  engkau datang percuma saja;  bertahun sudah  gumpalan sakit  berpuluh sakit
sampai ke anak-pinak,  tetaplah meredam sakit,  engkau berduyun datang  
di penghujung waktu  aku tetap saja terkepung )


/asa, banjarbaru, 21 desember 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!