Oleh Hardiansyah Kurdi
Hape Wita bergetar, disusul dering tanda pesan masuk. Dengan mata yang masih tertutup dua irisan mentimun, gadis itu meraba-raba meja kecil di sisi kursi goyang yang didudukinya, untuk meraih hape. Beberapa kantong snack berjatuhan saat tangannya grasa-grusu, lalu disusul pekikan `oh tidak` yang terdengar manja. Aneka camilan yang serba crispy itu, yang sebagian keluar dari kemasannya dan berhamburan di lantai, membuat Wita melupakan hape-nya.
“Belum lima menit, pungut, ah,” Wita mengangkat dua irisan mentimun di matanya, lalu meraba-raba kantong matanya sebentar. Setelah yakin kantong matanya sudah mengecil, dengan santai ia mencaplok dua irisan mentimun itu. Lalu, sambil mengunyah riang, ia memunguti camilannya. Sebagian di taruh di kemasannya lagi, sebagian masuk ke mulutnya dan dikunyah bersama mentimun tadi. Entah bagaimana rasanya.
Usai menyelamatkan camilannya, Wita meraih hanphone. SMS dari Windy, sahabatnya.
Pasti ngasih tau hasil rapat Geng Jenny. Tahun baruan scuba diving, Valentine apa, ya? Wita menebak-nebak ide kreatif yang akan dilakukan oleh gengnya.
Namun beberapa detik kemudian, setelah membaca sms Windy, mulut Wita kontan mengatup. Wajahnya menegang. Napasnya terdengar sedikit mendesing, lantaran pilek yang nyaris sembuh itu, kini kembali menyumbat hidungnya.
Harus bawa pacar di pesta Valentine? Ide Gila! Tubuh Wita terempas di kursi goyang.
[]
“Basi tau ga ngikutin film 30 Hari Mencari Cinta! Ini 2010, ga zaman taruhan harus punya pacar di hari Valentine!” protes Wita , begitu kumpul dengan gengnya, di tribun lapangan basket sekolah, esok harinya.
“Hormati keputusan rapat, dong. Waktu laporan sakit, kamu bilang ikut suara terbanyak aja,” sahut Widi, ketua Geng Jenny.
“Iya, tapi cari pacar ga bisa dikebut kayak mobil? Jelas ini cuma nguntungin yang udah punya pacar.”
“Yang udah punya pacar, belum tentu jadi pasangan terbaik di pesta Valentine,” timpal Windy.
“Maksudnya?”
“Gini, nanti kita akan ngadain semacam reality show untuk ngebuktiin siapa pasangan terbaik yang paling kompak. Kita juga punya juri yang bisa ngebongkar rahasia masing-masing pasangan. Yang pura-pura romantis, yang di ambang putus, pasti ketahuan!” Widi menjentikan jemarinya.
“Tapi pacaran ga bisa dipaksain!”
“Siapa yang maksa? Kalau ga mo ikutan, ya no problem!” tukas Widi dengan melotot.
Wita semakin tersudut. Kalau Widi sudah bersikap begitu, berarti ia harus memutuskan satu di antara dua pilihan ; ikut suara terbanyak atau keluar dari geng.
Keluar dari Geng Jenny? Itu tak mungkin Wita lakukan. Jenny adalah geng paling bergengsi di SMU Purnama. Hanya siswi yang nilai ratarata raportnya di atas 8 saja, yang bisa masuk geng itu. Jenny sendiri, adalah istilah keren dari cewek jenius yang gaul abis. Sudah tak zaman gadis jenius diidentikan dengan kacamata setebal lube, bibir pecahpecah, dan anti pesta. Jenny adalah geng siswi berprestasi yang tak sekadar gaul, tapi juga modis dan punya kecerdasan emosional tinggi, sehingga berani ngagul tak akan terpengaruh hal-hal negatif, seperti narkoba atau pacaran di luar batas. Sejauh ini, dengan keterbukaan dan kepedulian sesama anggota, memang belum pernah ada anggota Jenny yang prestasi belajarnya anjlok, hanya karena efek kasmaran. Lalu, kenapa Wita ngeper menerima tantangan mencari pacar?
Ah, pacar. Kata itu membuat Wita bete. Dengan tinggi 170 sentimeter dan berat 82 kilogram, Wita yakin sosoknya bukan pemandangan yang indah bagi cowok-cowok, meski dibalut busana trendy sekalipun. Tak ada suitsuit, apalagi teriakan `uhui` bila Wita melenggang di depan mereka. Namun, kekurangan fisik itu bukan alasan utama. Yang jadi persoalan, hingga saat ini, Wita merasa belum butuh pacar!
Ya, Wita merasa hidupnya sudah sempurna. Ia juga tak kenal istilah malam Minggu kelabu, karena tanpa pacar pun, malam Minggunya sudah penuh warna dengan seabreg aktivitas dan koleksi film Korea-nya. Setelah bergabung di Geng Jenny, Wita malah tak peduli lagi apakah dirinya mampu mendapatkan pacar, atau tidak.
Dan sekarang, benarkah aku sudah butuh pacar? Hati Wita gamang.
“Jelas butuh. Jangan cobacoba datang sendiri di Pesta Valentine, deh,” Windy seperti bisa menebak pikiran Wita.
“Masalahnya, apa ada cowok yang bisa aku gaet dalam 29 hari? Trus kalo gagal, apa aku dikeluarkan dari Jenny? ”
“Kalo kamu gagal, ada despensasilah. Cuma, harus ada laporan rinci siapasiapa cowok yang udah kamu deketin, berapa cowok yang nolak, apa alasan mereka. Kita punya tim investigasi khusus kok, untuk menyelidiki bener gaknya laporan kamu!” intonasi suara Widi terdengar lebay.
Ah, selebay apapun, tapi Wita tak bisa marah pada Widi, juga pada anggota Geng Jenny yang lain. Biar mereka usil, namun Wita percaya teman-temannya telah memberikan banyak energi positif kepadanya.
[]
Dalam dua minggu, bobot tubuh Wita menyusut 7 kilogram. Mamanya girang setengah mati, lantaran mengira putrinya sukses menjalani diet ketat. Mama tak pernah tahu kalau Wita nyaris tak menyentuh makan malam, tak selera pula mengunyah camilan. Semua itu karena pikirannya stres memikirkan nasibnya, yang selalu dikecewakan cowok.
Ya, dalam dua minggu, sudah lima cowok yang Wita pepet. Sayang empat dari lima cowok itu, tak bisa menangkap sinyal di matanya. Mereka bahkan memperlakukan Wita seperti teman cowok saja, yang bisa ditinju pundaknya saat gaya Wita mulai lebay, yang bisa dimaki `anjrit` bila guyonannya terdengar garing.
Sedangkan Donny, teman kursus bahasa Prancisnya, yang lebih sensitif pada bahasa tubuh Wita, tega-teganya memojokkannya dengan pertanyaan, “Maksud lo apa sih, deketin gue? Mo ngancurin pasaran gue di mata cewek sekursusan?”
Minggu berikutnya, Nita sudah woroworo bakal menghadiri pesta Valentine bersama Ruby. Sementara Windy, meski belum jadian sama Jody, namun saat jam istirahat sekolah, mereka bagaikan matapelajaran eksata dengan rumus-rumusnya. Tak terpisahkan.
Cuma aku yang ga lakulaku! Wita merutuk dirinya sendiri. Bobot tubuhnya kembali menyusut, entah berapa kilogram.
“Coba kau dekati Yoli. Waktu SMP kan dia naksir kamu?” usul Windy lewat telepon.
“Itu tiga tahun lalu, Apa dia masih naksir pas liat aku bengkak gini?”
“Kamu kurusan kok. Lumayan kempeslah. Gini aja, aku atur ketemuan di Citos, nanti aku purapura ada keperluan biar kalian bisa ngobrol. Ga tau napa, aku ngerasa kamu cinta pertamanya Yoli. Cinta pertama kan sulit dilupain, bow!” seloroh Windy sok tahu.
Usul Windy, membuat angan Wita melambung cepat. Ah, seperti apa Yoli sekarang, ya?
[]
Yoli sudah berubah drastis. Tiga tahun lalu, tingginya tak melebihi kuping Wita. Sekarang terbalik, Witalah yang tingginya sekuping Yoli. Dulu Yoli ceking, sekarang tubuhnya kekar berisi. Wajahnya yang dulu mulus, kini ditaburi tiga-empat jerawat batu.
“Dari dulu ga ilangilang. Padahal dah diobatin. Mungkin jerawat kangen. Hm, kangen sama kamu…”
Hah? Mata Wita mengerjab. Belum lima menit say hello, Yoli sudah membuat wajahnya meranum.
“Kok bengong? Mana Wita yang dulu pecicilan?”
“Lho, dulu kan kita jarang ngobrol. Sok tau, ah.”
“Kan diemdiem aku merhatiin. Gaya kamu tuh, udah kerekam di sini,” Yoli menunjuk jidatnya. Tatapan matanya membuat Wita mati gaya. Kemarin, Wita berharap ada cowok yang bisa membaca isyarat di matanya, tapi sekarang, saat beradu pandang dengan Yoli, ia malah ingin menyembunyikan isyarat itu. Ah….
“Lancar ni, yeee,” canda Windy, saat Wita curhat lewat telepon, beberapa menit setelah Yoli mengantarnya pulang.
“Dia jayus gitu, Win. Kayaknya kurang sreg, deh.” Wita purapura jaim.
“Ari gini jual mahal? Gigit jari aja loh! Mendingan pepet terus tuh si Yale yale, eh Yoliyoli itu. Pancing dia biar cepet nembak.”
“Caranya?”
“Hadoh, kalo aku tau caranya, udah aku terapin ama Jody. Kamu pikir aku udah jadian ama dia? Yo wis kita samasama berjuang aja. Goodluck, ya! Bye…,” Windy menutup telepon.
Beberapa menit kemudian, hape Wita bergetar.
Dari Yoli? Wita terkesiap. Sambil menahan napas, dibacanya pesan itu.
Ta,ada fstival film Indie di Goethe. Klo bsk siang ga ada acr,nonton yuk? Aq jemput jam brp nih? He3. Pede bgt km mo kuajak. C u honey!
Mulut Wita tenganga. Diakah cowok yang menemaniku di Pesta Valentine nanti? Yup! Wita menjentikkan jemarinya. Satu ide jitu telah dipilihnya. Dengan napas memburu, dibalasnya sms Yoli.
Thanks da ngajak nonton.Tp sorry bgt,aq pnya pnglmn buruk yg ga bs diceritain.Yg jls Aq cuma mau nonton b2 ma cowok yg dah jd pacar aq.
Selesai mengirim sms itu, Wita melompat ke ranjang. Menelungkup di kasur seperti orang kedinginan, gemetar menunggu sms balasan.
Beberapa jenak kemudian, hape-nya bergetar lagi. Wita langsung menyambarnya. Namun wajahnya mendadak panik saat tahu itu telepon langsung dari Yoli, bukan sms.
Kenapa dia ga sms aja, sih? Wita bangkit dari ranjangnya. Mondar-mandir serba salah. Tapi… klik, diterima juga telepon Yoli.
“Ta…,” suara Yoli terdengar lembut.
“Ehm…,” Wita mengatur napasnya.
“Sms tadi, artinya kamu belum punya pacar, kan?”
“Ya… gitu deh.”
“Sebenarnya aku mo nembak kamu saat nonton, atau di tempat lain, ga lewat telepon gini,” Suara Yoli terputus. Embusan napasnya mulai tak beraturan. Napas Wita lebih tak beraturan. “Ta…,” sambungnya.
“Ya.”
“Mau ga kamu jadi pacarku?”
Masih memegang telepon dan mendengarkan napas Yoli, Wita menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Oh, tibatiba ia merasa lapar sekali.
[]
Hari pink telah tiba. Sebuah kafé out door di pantai utara Jakarta, malam itu nampak semarak dengan bebungaan, balon, coklat hiasan, dan ornamen pesta yang serba pink, hasil kreasi persembahan dari alumni Geng Jenny yang kini sudah kuliah.
Duabelas siswi berprestasi yang tergabung dalam Geng Jenny, datang bersama pasangan mereka masingmasing.
Wita mengenakan silk dress warna biru yang dipadupadankan dengan jaket boxy, plus asesoris balero dan kalung mutiara berbandul hati. Serasi dengan tubuh jangkung Yoli yang dibalut pinstripes biru yang menyembul dari blazer berpalet pasir, plus draw string pants berwarna senada.
Seperti sudah diduga, acara yang paling seru adalah reality show. Dibuka dengan session yang menampilkan cuplikan paling lucu versi juri yang melakukan investigasi, tentang pengalaman peserta dalam mencari pacar. Bulu roma Wita menegak saat alumni Geng Jenny yang bertubuh besar seperti dirinya, muncul di panggung terbuka, untuk tebar pesona pada seorang cowok ganteng.
“Maksud lo apa sih, deketin gue? Mo ngancurin pasaran gue di mata cewek sekursusan?”
Gila! Kenapa adegan itu yang dimainkan? Pasti Windy yang ngasih info ke tim investigasi! Wajah Wita memerah saat Yoli terpingkal-pingkal melihat adegan itu. Jika Yoli tak menggamit tangannya, Wita sudah mengungsi ke toilet, lantaran tak sanggup melihat reka adegannya bersama Donny dua minggu lalu, yang dimainkan secara parodi.
“Sst, ga ada kisah yang sempurna, kenapa malu? Kalo kamu denger pengalaman temen yang lain, pasti terpingkal juga,” bisik Yoli.
Yoli benar, ternyata perjuangan Nita dan Windy dalam mencari pacar, juga penuh romansa. Baru terungkap kalau Windylah yang nembak Jody lebih dulu, itupun baru semalam!
“Mendingan aku dong?” Wita berbisik, menggoda Windy yang duduk di depannya.
“Lihat aja nanti di session selanjutnya!” tantang Windy sewot, sebelum ke ruang ganti.
Usai selingan musik, masingmasing peserta memang harus melakukan tantangan rada ekstrem, sehingga harus mengganti baju pesta mereka dengan pakaian sport.
Sebelum tantangan dimulai, Widi menjelaskan dua tantangan yang harus dilewati masing-masing pasangan. Pasangan yang merasa tak sanggup melakukannya, boleh mengundurkan diri, dengan risiko kehilangan poin.
Wita menyambut tantangan itu tanpa bertanya lebih jauh pada Yoli. Percuma punya cowok kekar kalo takut tantangan, pikirnya.
Pada game pertama, dimana pihak wanita harus menyelamatkan kekasihnya yang diikat di peti kaca penuh ikan sapusapu, Windy berani melakukannya, dan membuat catatan waktu tertinggi. Sedangkan Wita, meski Yoli megapmegap minta tolong agar cepat dilepaskan, tapi ia terlalu jijik pada ikan sapusapu yang bisa berdiri dan selalu mangap itu.
“Ikan sapusapu kan ga gigit? Masa anak IPA takut sama ikan? Gimana kalo praktikum?” Untuk pertama kalinya, Wita mendengar nada kesal dalam suara Yoli.
“Ya maaf, kalo ikan koi sih aku berani,” jawab Wita setengah menunduk, tak berani menatap Yoli.
Selanjutnya, aturan game dibalik. Pihak pria harus menyelamatkan kekasihnya yang dirantai di peti kaca penuh tikus putih. Wita girang karena ia tak takut pada tikus putih. Selain langganan hewan praktikum, Wita juga pernah memelihara sepasang tikus putih di kamarnya. Mereka lucu dan jinak, dan yang terpenting, Wita percaya ketua Geng Jenny dan panitia pesta, telah menyeleksi kesehatan tikus itu dengan ketat.
Tantangan dimulai. Wita terbaring dengan kepala di atas, sementara tubuhnya terbenam di peti, bersama puluhan tikus putih. Yoli harus mengambil kunci gembok rantai yang direkatkan di salah satu perut tikus putih itu. Sekilas, Wita melihat Yoli kebingungan, bibirnya sampai bergemeretak. Wita pikir itu reaksi biasa, mengingat bukan persoalan gampang mencari kunci di antara puluhan tikus yang lincah bergerak.
Peluit dibunyikan. Penonton berteriak menyemangati.
Tangan Yoli mulai turun, berusaha menangkap tikus. Tapi matanya malah terpejam, sementara kepalanya justru mendongak ke atas. Bibirnya melenguh `huhuhu`.
“Jangan sambil merem dong, Yol. Kalo gitu mana keliatan kuncinya? Tikus putih kan ga nyakar!” Spontan Wita memaki.
Yoli tak memedulikan ucapan Wita. Lenguhan `huhuhu`-nya semakin keras. Wajahnya memucat. Keringat dingin berjatuhan dari wajahnya.
Tibatiba saja dua ekor tikus melompat, masuk ke dalam training Yoli. Spontan Yoli melompat mundur, menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Kelojotan sambil berteriak minta tolong. Penonton riuh terpingkal, lucu melihat cowok bertampang Macho, takut sekali sama tikus. Namun tawa mereka berubah panik, ketika tubuh Yoli yang tadi kelojotan, kini diam tak bergerak.
Suasana semakin tegang. Entah siapa yang memulai, beberapa peserta tibatiba saling menyalahkan. Di tengah gaduhnya suasana, Wita teriakteriak minta dilepaskan.
“Yoliii!”
[]
Di ruang darurat, Yoli terbaring di bangku panjang. Bulu matanya bergerak-gerak, menandakan sudah siuman. Wita mempererat genggaman tangan kirinya di tangan Yoli, sementara tangan kanannya mengusap kening cowok itu.
“Syukur kamu udah sadar. Aku ga bisa maafin diriku, kalo kamu sampai kenapa-napa.”
“Aku…,” Yoli menatap sekeliling, mencoba mengingat sesuatu. “Aku minta maaf. Garagara aku trauma sama…”
“Ga Yoli, aku yang salah.”
“Kami juga salah,” Widi tibatiba muncul di ruang darurat. “Wit, maafin aku ya, sebagai ketua aku terlalu sombong. Seharusnya aku tahu kalau tantangan itu hanya boleh dilakukan oleh professional,” raut wajah Widi membiaskan penyesalan.
Ya, reality show yang baru seperempat jalan itu, akhirnya dihentikan. Namun, sekalipun banyak yang menyesali insiden di Pesta Valentine itu, Wita merasa bersyukur, karena berkat pesta itulah, ia bisa berkenalan dengan dunia baru, yang dulu tak pernah terbayangkan keindahannya. Dunia cinta.
* dimuat di Story Februari 2010 (Kavling cerpen valentine romantis sdh penuh, buat yg beda, ya? Oh Erin, knp ga bilang dr kemarin2. kau membuatku kewalahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!