Sabtu, 01 Oktober 2011

Secangkir Kopi (FF 400 Kata)


oleh Shabrina ws


Impianku setiap berjalan di desa Serenity adalah, bertemu dengan seorang kesatria, berkenalan dengannya dan kami saling jatuh cinta. Ah, ini bukan dongeng. Tapi mimpi yang menjadi nyata.


Aku bertemu dengannya di suatu senja. Dia tergeletak pingsan di pinggir Sungai Tanpa Lumut.

“Siapa namamu?” tanya ayahku.

“Nama?”


Kesatria yang malang. Dia tak pernah mengingat siapa dirinya dan dari mana asalnya. Dan persis di dongeng-dongeng ketika pada akhirnya kami saling jatuh hati.

Tak ada yang lebih membahagiakan selain menikah dengan orang yang kita cintai bukan? Ya, ayah menikahkan kami. Mungkin ayah bisa membaca perasaanku. Tidak ada pesta besar, tapi kami sangat bahagia. Seluruh masyarakat desa Serenity berkumpul menjadi saksi.


Lalu kami membangun rumah sederhana di pinggir sungai Bening Tanpa Lumut. Menghadap ke arah matahari terbit. Kami memenuhi pekarangan dengan sayuran dan tanaman obat-obatan. Khas desa Serenity.


“Kau tahu, Wedelia? hal yang membahagiakan dalam hidupku adalah, ketika kita duduk berdua di senja seperti ini, menikmati secangkir kopi yang kau racik dengan sempurna dan mendengarmu bercerita tentang apa saja.” Begitu selalu ucap Hanjuang.

Dan jika purnama tiba, kami akan duduk di beranda. Menatap bulan bulat, berdua.

“Tidak ada tempat untuk orang lain di beranda ini, Wedelia. Hanya kita.”

“Anak-anak kita kelak?” protesku.

“Aku belum selesai bicara, Sayang, tentu saja anak-anak kita.” Ucap Hanjuang dengan tatapan purnama.

***

Namun aku seperti bangun dari mimpi ketika suatu pagi yang gerimis Hanjuang terpaku di beranda. Matanya merah, tak kutemui senyum matahari yang selalu menghangatkan pagi kami.

“Ada apa Hanjuang?” tanyaku setelah menaruh secangkir kopi.

“Maafkan aku Wedelia. Aku telah mengingat semuanya. Aku harus pulang.”

“Pulang?!”

“Aku mencintaimu Wedelia. Sangat. Tapi aku punya istri selain kamu. Aku pergi pagi itu untuk mencari obat buat istriku yang sakit. Dan aku terbawa arus yang sangat deras.”

“Jadi?”

“Aku akan pulang ke Hutan Dua Musim. Aku janji, kelak akan kembali. Kuharap kamu mau mengerti ya?” Hanya itu, lalu Hanjuang pergi.


Dan sejak pagi itu aku selalu menaruh secangkir kopi di meja dan membiarkannya dingin hingga senja. Bagiku tiap menatap cangkir itu, aku merasa Hanjuang tetap bersamaku.

***

Senja telah datang berkali-kali, dan bulan telah berubah berulang-ulang.

“Wedelia,”

Cangkir kopi itu baru keletakkan di meja dan masih mengepulkan asapnya, ketika sosok beruban itu memanggil namaku.

“Hanjuang?!”

“Kopi untuk siapa?”

“Tidak ada tempat untuk orang lain di beranda ini, Hanjuang. Hanya kita.”

Tak sia-sia 35 tahun menantinya, mungkin senja telah berbeda, tapi kami kembali menikmati secangkir kopi dengan rasa yang sama.


Gadingkirana,6411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!