:Kang Arief
Kang, masihkah teringat?
Pongah malam yang mencabik jalan-jalan menuju rumahmu
Kali itulah aku tahu, sebilah bulan terselip
Menerjemahkan yang tiada bisa diingkar
Ada sebab dan niscaya, katamu, dan kita sebagai pemantik
Atasnya inap atau berbenah diri meninggalkan
Bayangan yang tak pernah sudi menatap kita
: tubuh kita
Ya. Aku paham, setiap yang terberiNya
Soal ikhwal kemutakhiran alam
Dan rencana
Kita tak boleh mundur!
Kita pun pantang gentar
mengasuh
Mata dan dada. Biar tiada berat lengan memikul
Biar tiada kantuk membenamkan pelupuk
Kita hidup untuk mengigau, katamu lagi
Kita membangun arah dari mimpi-mimpi yang bersembunyi di jendela
Lantas perahu-perahu kecil berlayar beriringan
Menyanyikan lagu-lagu (debar) sungai atau laut atau
Yang lainnya. Demi yang tiada pernah
disangka, cuma melangkah yang bisa dikejar
biar simpul mematikan dirinya bersama waktu
saat kau pahami apa yang memingitmu, katamu dalam tatap
yang selalu sama ; tatap seorang yang lama menanti kabar dari jauh
masihkah terencana, kang ?
ketika kehilangan yang bukan mustahil akan bertandang, akan kita bawa
Berhimpun kemenangan atasmu, atasku, atas angan-angan
Yang pernah mampir di beranda
Tapi harapku, semoga perpisahan hanya tentang jarak dan pulsa
Sebab, pertemuan yang kerap kita rencakan dan sepakati
Belum sempurna untuk kita tuntaskan
Tahukah, sesungguhnya tiada batas antara guna dan percuma
Kecuali mampu menandai lebih tegas
Di mana menaruh diri dan bayangan lebih pantas
Dan tentang percakapan kita, lebih purnama dari sebilah
bulan di dalam rumah
Dan malam-malam, itu.
by Lina Kelana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!