Ali Syamsudin Arsi
kita
duduk di teras malam, malam dengan kerudung lengkung
bintang-bintang
berkelip kuning-kuning jauh dari tatap
tangan
kananku di tanjung bahu kananmu
tangan
kirimu melekat di rusuk kiriku
jemari
tangan kiriku sudah lama bersandar di atas telapak tangan kananmu
adikku
yang kumanja, aroma apa yang engkau suka di malam ini
aku
ingin sekali menikmati suaramu, bukan hanya halusnya jemari kananmu
lihatlah,
dan rasakanlah bila telapak tangan kita membenturkan getar-getar
aku
dapat rasakan ujung rambutmu melayang-melecut syahdu di sebagian wajahku;
lecut-lecut kecil menusuk dan aku nikmati senikmat bintang bersanding di
lengkung bulan, adikku, sudahkah engkau pikirkan tentang aroma apa yang paling
engkau suka di saat kini kita berdua, adikku
sebelum
engkau berkata mencurahkan segala rasa yang ada, adikku
aku
dapat resapkan cengkeram jari-jemari lentik di kirimu, ada di dekat tulang
surukku, bukan sekedar wangi lembut rambutmu bukan hanya genggam tangan telapak
kananmu bukan hanya rekat duduk rapat pinggulmu, adikku
malam
ini pasti engkau merasakan kehadiran aroma rindu itu, aroma yang kian hari kian
berkecambah di persemaian jumpa kita, mungkin kita akan saling bercerita dari
kisah-kisah dalam cinta di jejak sejarah, engkau tentu telah membaca tuntas Romeo dan Juliet, aku sangat tahu itu
karena di saat engkau pernah menawarkan sebuah buku, ketika itu aku ingin
engkau membaca kisah Pengakuan Pariyem, kita
tentu tak akan mampu melupakan itu semua, itu catatan sejarah rindu yang
menjadi awal kita jumpa awal kita cinta awal kita asmara
lihatlah
sekeliling kita ketika orang katakan ini adalah malam, kuatkan genggam telapak
tanganmu di seluruh bagian tangan kiriku, kita nikmati kebersamaan ini malam
ini lengkung cuaca ini awan yang samar-samar di atas sana, adikku
tuntas
aku baca buku pemberian pertamamu itu dan engkau pun dengan lancarnya
menceritakan kembali isi buku yang aku serahkan sebagai bentuk pertukaran kasih
dan pertukaran sayang, kita saling bercerita, adikku, coba engkau resapkan dalam-dalam telapak
tangan kananku di bahu kananmu, aku akan menguatkan tekanannya, adikku semakin
kuat dan semakin engkau berpejam seraya engkau katupkan kedua bibir mungil
tipismu, adikku biarkan aku turut melekatkan kulit pipi kananku ke ujung kulit
hidung bagian kirimu
adikku,
angin yang meliuk berirama lagu-lagu, pertama engkau tanya tentang lagu-lagu
kesukaanku, dan saat yang sama engkau juga cerita tentang lagu-lagu engkau-suka
Ebiet, jawabku singkat, dan Gelas-gelas Kaca, katamu merdu
itu
dahulu dan sampai kini ternyata aku masih suka senandungkan beberapa rangkai
kata yang sangat aku suka, juga Iwan tentang
tokoh “Bung Hatta” Iwan Fals engkau turut senang dengan makna lagu itu dan aku suka
bahkan bertambah suka karena engkau masih jernih menghapal kata-kata sakti dari
sejarah negeri ini, proklamasi, kami atas
nama bangsa Indonesia …, adikku, saat itu engkau sedikit mencoba hadirkan
getar-getar semangat yang terpampang dalam pengucapan, engkau katakan bahwa
engkau sangat ikut merasakan betapa suara gelegar yang terdengar belum seberapa
bila mengetahui bagian dalam dada bangsa kita, bagian dalam dada kedua pemimpin
atas nama bangsa kita, tentu gelegarnya bila ia diledakkan dalam kawah gunung
berapi maka letusnya tentu membawa debu ke seluruh bumi sampai pada
wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh kecanggihan ilmu pengetahuan saat
ini, gelegar deru di bagian dalam dada-dada anak-anak bangsa ini tentu
mengalahkan dahsyatnya kedua bom, di
Nagasaki atau pun Hirosima, ledakan bom itu benar sebagai bagian dari rangkaian
kebebasan kita, tetapi perjuangan bangsa kita sudah berkelindan sejak
ketidak-adilan itu sendiri menghadirkan cakarnya, adikku yang paling aku suka
tusuk-tusuk kecil ujung rambutmu, angin terus saja merayakan kebersamaan kita
berdua, di teras sebuah taman pusat kota yang kian menerima, menerima
kehangatan dan kedamaian, bangku-bangku kecil hilir mudik orang-orang dalam
jarak yang cukup jauh dan tak merasa terganggu, kita damai kita menempati ruang
terbuka di malam-malam pada sebuah taman sedang tangan kita semakin kuat-
menguatkan
kita
duduk di teras malam, malam dengan kerudung lengkung
bintang-bintang
berkelip kuning-kuning jauh dari tatap
semakin
tangan kananku di tanjung bahu kananmu
bertambah
tangan kirimu melekat di rusuk kiriku
air
mancur di tengah taman perciknya sempat saja mampir di wajah kita
sesekali
engkau tepis dan aku tersenyum ada rasa sejuk menerpa; bila engkau berharap
mengembangkan senyummu maka renyahkanlah senyum itu untukku malam ini aku berharap
ada senyum khusus yang engkau persembahkan untukku seorang dan senyum itu tentu
saja akan mampu mengalirkan derai rindu sampai ke puncak cabang-cabang, sebab
aku tahu dan bahkan sangat memahaminya bahwa engkau menikmati dekapku di
seluruh sendi-sendi kebersamaan kita; bahasa gerak tubuhmu adalah bagian dari
cerita yang bergelora
engkau
pernah bercerita dengan butir-butir air yang memercik, engkau sangat menyuka
air yang tercurah dari sebuah peristiwa, oh,
hujan itu ternyata bagian dari kenangan yang engkau lekatkan erat-erat
di hamparan dinding peristiwa demi peristiwa dari semua perjalanan hidupmu,
hujan itu yang telah membuat engkau berjalan dengan langkah penuh-seluruh
kecerahan seakan di depan apa pun segala halang rintang tak akan mampu mematahkan
jejakmu karena dengan guyuran hujan selalu menggairahkan, gairah hidup dan
terus menatap penuh segala bangga, hujan yang telah membuka layar lebar masa
depan
engkau
memperlakukan hujan sebagai kobaran api di dalam pikir dan hatimu adalah engkau
dan hujan sebagai satu bagian, percayalah, aku akan menangkap makna hujan dan
memahami dengan penuh pengertian, kita akan saling menerima, karena bagiku
bukan hujan yang menjadi-jadi pada dirimu, tetapi suara lembut dari bahasa
ucapmu, sungguh itulah sebabnya aku tak dapat menjauh dari embun lembut
suaramu, aku tak akan mampu bila terlalu jauh dari rentang jarak betapa sejuk
tutur aksara yang selalu saja mampu meredam gemuruh perasaanku walau engkau
lebih suka tak banyak bicara dan aku pun sangat mengetahui tentang itu
sepuluh
kata dariku belum tentu engkau membuka suara, seratus rangkai aksara dariku
engkau hanya balas dengan sekilas senyum dan aku lunglai tiba-tiba senyummu
yang tak aku dapatkan pada sesiapa karena senyum itu hanya ada pada dirimu,
seribu wacana dalam tata bahasa lepas dariku dan setidaknya engkau satu kalimat
saja sudah mampu membuat aku tak bisa berlari dari renyah suara lembut embunmu,
suaramu bukan dalam lagu-lagu, tetapi melebihi berjuta lagu yang pernah singgah
di gendang telingaku, engkau telah memasung rindu, engkau telah memagut syahdu
dengan suaramu, oh kadang resahku engkau tepiskan secepat kedip matamu,
terlebih lentiknya bulu matamu dengan lengkung yang alami
kini
jemari telapak tangan kananmu bertambah erat menggenggam telapak tangan kiriku,
dan tentu, tentu aku tak mau membuat engkau lepaskan
kita
masih saja duduk di teras malam, malam dengan kerudung lengkung
bintang-bintang
semakin berkelip kuning-kuning jauh dari
tatap
semakin
tangan kananku erat di tanjung bahu kananmu
bertambah
tangan kirimu selekat-lekatnya melekat di rusuk kiriku
engkau
pernah katakan bahwa bila nanti telah menjadi seorang ibu maka engkau akan
sangat berharap untuk menjadi seorang ibu layaknya ibu kita bersama
ibu
yang benar-benar menjadi damai dalam gaduhnya suasana ibu yang menyediakan
telapak tangannya untuk semua anggota keluarga tanpa ada perbedaan tetapi
sesuai dengan sifat dan ukuran kelima jari di telapak tangan kita engkau sangat
lembut dan memperhatikan sesuai dengan situasi serta kondisi jemari itu ada
sepuluh hitunganya dan terbagi dua lima di kanan dan lima di kiri, bentuk serta
ukuran darinya berbeda pula, jumlah ruas tulang dalam setiap jenis jemari
adalah bagian perhitungan yang sangat memungkinkan kita kepada sesuatu bersifat
ilahi dan sang pencipta tentu sudah merancang betapa tingkat kesempurnaan yang
tanpa batas dan di luar kemampuan mahluk ciptaannya sungguh ini anugerah yang
sangat patut disyukuri oleh siapa saja tanpa harus membedakan warna tanpa harus
menepis keberadaan cara pandang sebab dengan memperhatikan betapa kuat dan
teliti serta sabarnya figur seorang ibu maka akan semakin menambah rasa cinta
yang sebenarnya sebab tentu saja kita tak ingin ia menjadi marah atau bahkan
berpaling muka dari kita, ibu kita bersama, ya merekalah ibu yang dalam
kesehariannya tampak lemah bahkan teramat gemulai tetapi di balik itu ada
kedahsyatan yang terpelihara dengan penuh pertimbangan dan pada saat yang tepat
pada waktu yang sangat menentukan ia akan digunakan dengan sangat bijak ya
sangat bijak oleh sebab itu baru saja aku sadari bahwa menjadi seorang ibu yang
benar-benar ibu kita semua ibu untuk siapa saja bukanlah hal yang mudah dan
sederhana, ia akan mengalami sebuah proses panjang serta merta lingkungan akan
ikut andil menentukan arah itu jalur itu garis itu selayaknya, kelembutan bukan
datang begitu saja secara tiba-tiba, kehalusan tutur kata bukan melimpah ruah
seketika sekejap dan sangat tak di yana-yana ia akan hadir dalam proses yang
begitu rentang, rentang panjang oleh sebabnya bila ingin bangsa kita menjadi
lebih baik dari masa terkini pada masa yang dalam lingkup gelap malam maka
tidak ada alasan yang lain harus diungkapkan kita mesti kembali kepada akar
persoalan, ibu ya sosok ibu yang benar-benar seorang ibu bagi semua orang
adalah bagian nyata dalam persoalan ia menjadi contoh tauladan dan ia adalah
pemimpin dalan setiap langkah meramu merencanakan dan melaksanakan segi-segi
detail sekecil-kecilnya itulah ibu yang memberikan gambaran, baru aku sadari
mengapa engkau inginkan agar dirimu menjadi seorang ibu yang benar-benar dalam
posisi keibuan, ibu yang bermanfaat bagi seluruh sendi kehidupan di sekitarmu,
tentu saja untuk aku tentu saja bagi anak-anakmu
adiku,
tentang aroma yang engkau suka di saat kita berdua seperti ini
di
taman kota ini, apakah masih harus aku pertanyakan,
padahal
engkau telah lama membuat kesadaran terhadap apa yang seharusnya
aku
lakukan, jemari tanganmu adalah bahasa anggota tubuhmu dalam menyatakan
dan
cerita tentang arti serta fungsi dari jari-jemari masing-masing darinya adalah
bagian dari pembelajaran yang sesungguhnya, aku sangat suka aroma tubuhmu
karena
di dalamnya ada terpancar cahaya seorang ibu
ibu
bagi siapa saja, bagiku bagi anak-anak kita
genggam
jemari kita semakin meraja, saat itu, saat yang tepat bintang jatuh
tentu
saja ada harapan dalam setiap keinginan dan ucapmu pelan
engkau
masih memberikan sesuatu bahwa engkau masih ingin menjadi seorang ibu
seorang
ibu yang sadar dan mampu membagi dirinya dalam banyak bagian
karena
memang dirinya untuk banyak orang, ibu sejatinya sebagai ibu
adikku,
taman kota ini air mancur ini, dan satu kata perlahan aku dapatkan dari bibir
mungil tipismu, “bintang jatuh sudah kita dapatkan dan harapan itu akan
meluncur deras ke daerah yang ia tentukan, tidak semua orang akan mampu
menemukan, karena seorang ibu akan merasakan perjalanan panjang dan penuh
rintangan,” hanya itu darimu, lalu kita bersama pulang, dan embun memayung di
setiap derap perjalanan, perjalanan seorang ibu bagi anak-anak bangsanya, salam
/asa, banjarbaru, 17 Juni 2013.
yap mantap
BalasHapus