Judul buku
: Gemuruh, Puisi Dari
Kalimantan
Penulis
: Ali Syamsudin Arsy
Apresiator
: Arif Er Rahman
Moderator
: Jo Prasetyo
MC
: Lukman El hakim
Waktu
: Sabtu, 14 Juni 2014
Tempat
: Malam Puisi Balikpapan #13, Café D’Wa- Balikpapan
“Secara sederhana, bisa saya simpulkan bahwa Bung Ali
Syamsudin Arsy berusaha mengangkat realitas sosial di bumi Kalimantan dengan
dominasi bahasa khas Kalimantan, baik gaya bahasa sastranya maupun gaya bahasa
rakyat pada umumnya. Bahwa sajak yang memungut realitas sosial dalam era
kekinian dengan polesan bahasa yang tidak terlalu rumit, tanpa tendensi, adalah
ungkapan sesungguhnya atas suatu ironi sosial yang terjadi di sekitar kita.
Sebab sajak yang demikian murni terlahir dari hati nurani. Menampilkan paparan
kenyataan yang sangat layak untuk di simak dan di nikmati.
Bisa juga saya katakan, Bung Ali Syamsudin Arsy adalah
salah seorang dari sekian penulis di bumi Kalimantan yang peka terhadap realita
sosial sejak surutnya era Korrie Layun Rampaan, yang berusaha memadukan gaya
sastra daerah dengan sastra modern.”
(Jo Prasetyo, Pembina Komunitas Sastra Pelangi
Sukma
Aktivis Balikpapan Art Foundation)
Komentar di atas adalah ungkapan saya terhadap isi
buku Antologi Sajak “Gemuruh, Puisi Dari Kalimantan” karya Ali Arsy Syamsudin
yang di apresiasi dalam acara Malam Puisi Balikpapan ke-13, sekaligus jadi menu
pembuka acara “Apresiasi Karya” MPB. Komentar itu juga di cantumkan pada akhir
halaman buku tersebut oleh penulisnya sebagai ‘Catatan Dari Balikpapan’, tentu
saja setelah naskah di kirimkam oleh penulisnya untuk saya simak dan telaah
sebelum buku tersebut di terbitkan.
Pemaparan kembali komentar saya dalam acara ‘Apresiasi
Karya’, tak lebih sebagai rasa pertanggung jawaban atas sikap saya sebagai
apresiator terhadap terbitnya buku tersebut. Menurut saya adalah suatu
keharusan bagi seorang apresiator untuk menjelaskan alasan-alasan yang
mendasari komentarnya (baca:Endoorsment) terhadap isi suatu karya tulis yang di
terbitkan agar tidak menyesatkan opini para pembaca dan penikmat karya
tersebut, tentunya jika apresiator kebetulan bisa hadir dalam acara
apresiasi/bedah karya tersebut.
Dalam buku “Gemuruh, Puisi Dari Kalimantan”,
penulis mencoba menguraikan kondisi di bumi Kalimantan yang kian porak poranda
oleh maraknya kegiatan eksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampak terhadap
ekologi dan lingkungan hidup. Segala macam ekplorasi pertambangan, mulai dari
minyak, gas bumi, batubara, emas hingga batu permata, baik secara modern maupun
tradisional sudah terbukti sangat berpengaruh dan merusak terhadap keseimbangan
alam di bumi Kalimantan. Belum lagi eksploitasi terhadap hasil hutan atau
ladang-huma dimana tempat masyarakat lokal menggantungkan harapan sebagian
besar sudah di rambah dan menjelma jadi perkebunan sawit yang hasilnya hanya
bisa di nikmati oleh segelintir orang pemodal, hingga menimbulkan
ketimpangan-ketimpangan sosial dan mengabaikan kelangsungan hidup warga
lokal.
Penulis juga memaparkan, gejala-gejala yang sekarang
terjadi dan makin akut di bumi Kalimantan adalah akibat ulah para spekulan dan
pemodal yang berkongsi dengan para pejabat daerah bermental bobrok yang hanya
memikirkan keuntungan bisnis semata tanpa memikirkan keberlangsungan hidup
masyarakat setempat dan lingkungannya. Tapi kenapa menyindir Jakarta di buku
anda, Bung?, tanya salah seorang peserta apresiasi. Lho, bukankah sebagian
besar para spekulan/pemodal yang meng-eksploitasi bumi Kalimantan adalah mereka
yang berasal dan berkantor di Jakarta?. Ya, pertanyaan balik tadi sekaligus
menjawab rasa penasaran segenap hadirin, bahkan menggugah kesadaran bahwa
sebagai belahan timur bumi Kalimantan, Balikpapan juga sedang mengalami masalah
yang sama. Maka mari kita menyuarakannya, ajaknya mantap.
Adalah Bung Arif Er Rahman, apresiator dari Harian
Tribun Kaltim, secara khusus menyikapi nuansa kedaerahan yang juga terkandung
dalam buku ini. Menurutnya, buku ini sangat menarik untuk di baca, selain
berisi keluh, himbauan, dan kritikan terhadap yang sedang terjadi di bumi
Kalimantan (penulis meng-istilahkan dengan Gumam), penulis juga
mengangkat kembali istilah-istilah kedaerahan (local idioms) yang sangat erat
kaitannya dengan budaya daerah Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan dimana
penulis lahir dan berdomisili saat ini. Mengemukakan kembali istilah daerah
yang berakar dari budaya daerah, berarti mengajak para pembaca dan penikmat
buku ini untuk mengenal, mencintai, dan melestarikan kekayaan bangsa yang
hakiki. Tidak ada yang lebih mulia dan berarti selain dari bakti anak negeri
yang sudi berkarya untuk melestarikan budaya asli bangsa sendiri, tandas Bung
Arif Er Rahman mengakhiri. Dan kami semua mengamini.
Lebih jauh tentang apresiasi buku ini adalah pesan
bijak dari seorang staf pengajar di Universitas Lambung Mangkurat-Banjarmasin,
Sainul Hermawan yang mengatakan:
“Saya lebih suka dengan kehadiran buku ini daripada
gumam penulisnya sendiri. Selamat datang di jalan terang, jalan kebaikan dan
jalan kebenaran. Jalan puisi”.
Ya, setuju sekali. Puisi adalah nyanyian hati, tak ada
yang lebih jujur dari nurani. Bahkan, seorang MH. Ainun Najib pernah mengatakan:
“Jika merasa tak ada lagi yang bisa di percaya, maka percayalah pada puisi”.
Salam sastra,
Balikpapan, 14 Juni 2014
(sukma perindu…)
~JO~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAKAN ANDA BERKOMENTAR!